Pengalaman ini sangat mungkin terulang pada 2013 bila Pemerintah kembali mengajukan pemangkasan subsidi harga BBM.
Pada 2013 memang belum bisa dipastikan apakah akan ada kenaikan harga BBM bersubsidi atau tidak. Namun, besaran belanja subsidi energi, termasuk di dalamnya subsidi harga BBM dan tarif listrik, diperkirakan mencapai Rp306 triliun. Besar subsidi ini hampir seperlima atau 20 persen dari rencana pos belanja pada RAPBN 2013 yang mencapai Rp1.529 triliun.
Mengingat tambunnya subsidi tersebut maka mencuat wacana untuk menaikkan harga BBM secara bertahap. Misalnya, setiap caturwulan dinaikkan Rp500/liter sehingga pada bulan ke-10 harga premium dan solar bersubsidi menjadi Rp6.000/liter. Efek berantai atas kenaikan harga BBM bisa berjalan bertahap pula. Setidaknya harapannya seperti itu.
Andai DPR mengamini kenaikan harga BBM, tentu puluhan triliun rupiah uang negara bisa digeser ke pos yang lebih mendesak. Misalnya, mutu infrastruktur yang menjadi salah satu titik lemah, pembangunannya bisa dipacu lebih cepat agar roda perekonomian antarwilayah berputar lebih cepat pula.
Harga BBM memang selalu menjadi isu amat sensitif dalam setiap pemerintahan yang berkuasa, termasuk di rezim otoriter Orde Baru. Yang membedakan, saat ini nuansa populisme atau ingin meraih simpati rakyat (baca: pemilih) oleh sejumlah partai politik terasa lebih kuat. Rakyat di mana pun memang tidak ada yang suka bila harga BBM naik, namun dalam pengambilan keputusan politik tidaklah selalu didasarkan pada pilihan suka atau tidak suka.
Sudah lebih dari enam tahun harga BBM bersubsidi tidak naik. Konon, harga BBM bersubsidi di negeri ini yang termurah di ASEAN. Padahal ditilik dari pendapatan per kapita, Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan Myanmar, Vietnam, Filipina, Timor Timur. Pendapatan per kapita Indonesia pada 2011 tercatat 3.542 dolar AS atau sekitar Rp31,8 juta, sementara negara-negara tersebut di bawahnya.
Harga murah BBM juga memiliki ekses serius, misalnya, menyuburkan praktik penyeludupan premium dan solar bersubsidi ke luar negeri. Perilaku boros energi bangsa ini juga kian menjadi. Ruas-ruas jalan kian disesaki mobil pribadi, menggeser kendaraan umum yang pelayanannya memang buruk. Akhirnya, kuota BBM bersubsidi yang semula dipatok sekitar 40 juta kilo liter (kl) pada 2012, melar menjadi 44 juta kl. Pembengkakan ini tentu saja menambah besar belanja subsidi.
Lantas apakah Pemerintah dan parlemen membiarkan belanja subsidi energi terus menggerogoti APBN di tengah terus merosotnya produksi minyak domestik yang sekarang ini dalam kisaran 800.000 barel per hari? Secara ekonomi, tentu ada keinginan kuat memangkas subsidi harga BBM secepatnya.
Akan tetapi, jika isu harga BBM dikaitkan dengan kepentingan politik praktis jangka pendek, tampaknya dalam dua tahun mendatang tidak akan terjadi kenaikan. Tidak ada partai politik yang ingin babak belur pada Pemilu 2014 gara-gara mereka mendukung kenaikan harga BBM.
Harga bensin dan solar memang selalu menjadi komoditas politik.