HNSI Cilacap minta aturan PNBP direvisi karena memberatkan nelayan
Cilacap (ANTARA) - Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kabupaten Cilacap menilai Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku di Kementerian Kelautan dan Perikanan harus direvisi karena memberatkan nelayan.
"PP 85 harus ada revisi, tuntutan (besaran PNPB yang sebelumnya) 10 persen menjadi 5 persen karena mengubah PP itu sulit dan lama," kata Ketua HNSI Kabupaten Cilacap Sarjono saat ditemui di sela aksi unjuk rasa yang dilakukan sekitar 1.000 nelayan dan pengusaha kapal ikan di Cilacap, Jawa Tengah, Kamis, menolak pemberlakuan PP 85/2021.
Oleh karena itu, kata dia, perwakilan HNSI dari wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat menghadiri rapat di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Jakarta pada hari Senin (16/1) untuk menyerukan revisi atas PP 85/2021 tersebut.
Ia mengatakan dalam rapat tersebut, perwakilan HNSI bermusyawarah dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono bersama para Direktur Jenderal di KKP untuk menurunkan harga patokan ikan (HPI).
"HPI diturunkan biar nantinya (PNBP) yang 10 persen, seolah-olah 10 persen tapi ternyata 5 persen yang diturunkan nilai harga ikan itu. Itu telah disepakati karena kalau mengubah PP, lama," tegasnya.
Sementara untuk jangka pendeknya, kata dia, harus ada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan terkait dengan permasalahan itu yang dapat dilakukan dalam waktu dekat sambil menunggu revisi PP 85/2021 yang berkaitan dengan pascaproduksi khususnya tentang penarikan PNBP.
Selain itu, lanjut dia, denda yang sebesar 1.000 persen diusulkan untuk dihapus karena sangat memberatkan nelayan.
"Denda ini diberlakukan apabila ada pelanggaran-pelanggaran berat dan sebagainya, sanksi administrasi, (denda) 1.000 persen," jelasnya.
Menurut dia, pihaknya juga menyampaikan masalah biaya tambat-labuh yang sangat memberatkan nelayan sehingga harus dikaji ulang.
"Kalau daerah-daerah lain yang (pelabuhannya) dikelola provinsi, saya kira banyak kebijakan dengan kearifan lokal. Tetapi di Kabupaten Cilacap, pelabuhannya kan dikelola pusat sehingga mengikuti pusat," kata Sarjono.
Ia mengharapkan pemerintah pusat mempunyai kebijakan untuk meninjau kembali masalah tambat-labuh yang sangat meresahkan karena mayoritas kapal yang berkapasitas di atas 30 gross tonage (GT) dikenakan biaya tambat-labuh apabila bersandar di Pelabuhan Perikanan Samudra Cilacap (PPSC).
"Tetapi kalau di luar pelabuhan, tidak dikenakan," jelasnya.
Menurut dia, PP 85/2021 khususnya yang berkaitan dengan pascaproduksi tersebut tidak diterapkan untuk kapal-kapal berkapasitas di bawah 30 GT kecuali yang perizinannya berasal dari pusat.
Sementara itu, Ketua Koperasi Unit Desa (KUD) "Mino Saroyo" Cilacap Untung Jayanto mengatakan pihaknya pernah menyampaikan masalah PP 85/2021 saat rapat secara daring dengan KKP yang diikuti 800 pengusaha dari seluruh Indonesia beberapa waktu lalu.
"Kalau bicara KUD Mino Saroyo, kami selaku pemilik kapal juga sangat keberatan kalau bicara PP 85 itu diterapkan pascaproduksi dikenakan (PNBP) 10 persen," tegasnya.
Saat rapat secara daring tersebut, kata dia, pihaknya mengusulkan agar besaran PNBP pascaproduksi tersebut hanya 3 persen.
"Saya tidak menggunakan bahasa 'kalau bisa' tetapi saya menggunakan bahasa 'harus 3 persen'," jelasnya.
Menurut dia, angka 3 persen tersebut mengacu dari hasil studi banding di Korea Selatan dan Jepang yang menerapkan PNBP sebesar 2 persen.
Dengan demikian, kata dia, tidak masalah jika di Indonesia menerapkan PNBP sebesar 3 persen.
"Betul kata Ketua DPC HNSI Cilacap bahwa yang dikenakan PNBP, PP 85/2021, itu kapal yang izinnya dari pusat. Cuma dikhawatirkan oleh rekan-rekan pengusaha yang ada di Kabupaten Cilacap ini nanti bisa merembet ke kapal yang izinnya tidak dari pusat," katanya.
Untung mengakui jika sebenarnya yang paling memberatkan dari PP 85/2021 itu ada pada pemberlakuan biaya tambat-labuh, sehingga pihaknya berharap agar besaran biaya tambat-labuh tersebut dikembalikan seperti saat PP 75/2015 masih diberlakukan.
Menurut dia, hal itu disebabkan biaya tambat-labuh diterapkan untuk semua kapal atau pengusaha kapal dari tingkat kecil hingga besar, baik yang izinnya dari pusat maupun provinsi.
"Itu benar-benar harus diperhitungkan, menyesuaikan dengan PP 75/2015," jelasnya.
Oleh karena itu, kata dia, nelayan dan pengusaha kapal di Cilacap pada hari Kamis (19/1) menggelar aksi damai untuk menyuarakan permasalahan tersebut karena selama ini mereka tidak pernah berunjuk rasa.
Aksi unjuk rasa yang diikuti sekitar 1.000 nelayan dan pengusaha kapal ikan itu digelar di depan Kantor PPSC pada Kamis (19/1) pagi yang diisi dengan berbagai orasi tentang penolakan pemberlakuan PP 85/2021.
Setelah berorasi di depan Kantor PPSC, massa bergerak ke Gedung DPRD Kabupaten Cilacap untuk menyampaikan aspirasi yang sama melalui audiensi yang diikuti oleh perwakilan nelayan dan pengusaha kapal penangkap ikan.
Baca juga: Ketua DPRD Cilacap: KKP sudah mendengar aspirasi nelayan
Baca juga: Nelayan Cilacap unjuk rasa, tolak pemberlakuan PNBP
Baca juga: Pati dukung upaya nelayan tuntut penurunan tarif PNBP
"PP 85 harus ada revisi, tuntutan (besaran PNPB yang sebelumnya) 10 persen menjadi 5 persen karena mengubah PP itu sulit dan lama," kata Ketua HNSI Kabupaten Cilacap Sarjono saat ditemui di sela aksi unjuk rasa yang dilakukan sekitar 1.000 nelayan dan pengusaha kapal ikan di Cilacap, Jawa Tengah, Kamis, menolak pemberlakuan PP 85/2021.
Oleh karena itu, kata dia, perwakilan HNSI dari wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat menghadiri rapat di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Jakarta pada hari Senin (16/1) untuk menyerukan revisi atas PP 85/2021 tersebut.
Ia mengatakan dalam rapat tersebut, perwakilan HNSI bermusyawarah dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono bersama para Direktur Jenderal di KKP untuk menurunkan harga patokan ikan (HPI).
"HPI diturunkan biar nantinya (PNBP) yang 10 persen, seolah-olah 10 persen tapi ternyata 5 persen yang diturunkan nilai harga ikan itu. Itu telah disepakati karena kalau mengubah PP, lama," tegasnya.
Sementara untuk jangka pendeknya, kata dia, harus ada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan terkait dengan permasalahan itu yang dapat dilakukan dalam waktu dekat sambil menunggu revisi PP 85/2021 yang berkaitan dengan pascaproduksi khususnya tentang penarikan PNBP.
Selain itu, lanjut dia, denda yang sebesar 1.000 persen diusulkan untuk dihapus karena sangat memberatkan nelayan.
"Denda ini diberlakukan apabila ada pelanggaran-pelanggaran berat dan sebagainya, sanksi administrasi, (denda) 1.000 persen," jelasnya.
Menurut dia, pihaknya juga menyampaikan masalah biaya tambat-labuh yang sangat memberatkan nelayan sehingga harus dikaji ulang.
"Kalau daerah-daerah lain yang (pelabuhannya) dikelola provinsi, saya kira banyak kebijakan dengan kearifan lokal. Tetapi di Kabupaten Cilacap, pelabuhannya kan dikelola pusat sehingga mengikuti pusat," kata Sarjono.
Ia mengharapkan pemerintah pusat mempunyai kebijakan untuk meninjau kembali masalah tambat-labuh yang sangat meresahkan karena mayoritas kapal yang berkapasitas di atas 30 gross tonage (GT) dikenakan biaya tambat-labuh apabila bersandar di Pelabuhan Perikanan Samudra Cilacap (PPSC).
"Tetapi kalau di luar pelabuhan, tidak dikenakan," jelasnya.
Menurut dia, PP 85/2021 khususnya yang berkaitan dengan pascaproduksi tersebut tidak diterapkan untuk kapal-kapal berkapasitas di bawah 30 GT kecuali yang perizinannya berasal dari pusat.
Sementara itu, Ketua Koperasi Unit Desa (KUD) "Mino Saroyo" Cilacap Untung Jayanto mengatakan pihaknya pernah menyampaikan masalah PP 85/2021 saat rapat secara daring dengan KKP yang diikuti 800 pengusaha dari seluruh Indonesia beberapa waktu lalu.
"Kalau bicara KUD Mino Saroyo, kami selaku pemilik kapal juga sangat keberatan kalau bicara PP 85 itu diterapkan pascaproduksi dikenakan (PNBP) 10 persen," tegasnya.
Saat rapat secara daring tersebut, kata dia, pihaknya mengusulkan agar besaran PNBP pascaproduksi tersebut hanya 3 persen.
"Saya tidak menggunakan bahasa 'kalau bisa' tetapi saya menggunakan bahasa 'harus 3 persen'," jelasnya.
Menurut dia, angka 3 persen tersebut mengacu dari hasil studi banding di Korea Selatan dan Jepang yang menerapkan PNBP sebesar 2 persen.
Dengan demikian, kata dia, tidak masalah jika di Indonesia menerapkan PNBP sebesar 3 persen.
"Betul kata Ketua DPC HNSI Cilacap bahwa yang dikenakan PNBP, PP 85/2021, itu kapal yang izinnya dari pusat. Cuma dikhawatirkan oleh rekan-rekan pengusaha yang ada di Kabupaten Cilacap ini nanti bisa merembet ke kapal yang izinnya tidak dari pusat," katanya.
Untung mengakui jika sebenarnya yang paling memberatkan dari PP 85/2021 itu ada pada pemberlakuan biaya tambat-labuh, sehingga pihaknya berharap agar besaran biaya tambat-labuh tersebut dikembalikan seperti saat PP 75/2015 masih diberlakukan.
Menurut dia, hal itu disebabkan biaya tambat-labuh diterapkan untuk semua kapal atau pengusaha kapal dari tingkat kecil hingga besar, baik yang izinnya dari pusat maupun provinsi.
"Itu benar-benar harus diperhitungkan, menyesuaikan dengan PP 75/2015," jelasnya.
Oleh karena itu, kata dia, nelayan dan pengusaha kapal di Cilacap pada hari Kamis (19/1) menggelar aksi damai untuk menyuarakan permasalahan tersebut karena selama ini mereka tidak pernah berunjuk rasa.
Aksi unjuk rasa yang diikuti sekitar 1.000 nelayan dan pengusaha kapal ikan itu digelar di depan Kantor PPSC pada Kamis (19/1) pagi yang diisi dengan berbagai orasi tentang penolakan pemberlakuan PP 85/2021.
Setelah berorasi di depan Kantor PPSC, massa bergerak ke Gedung DPRD Kabupaten Cilacap untuk menyampaikan aspirasi yang sama melalui audiensi yang diikuti oleh perwakilan nelayan dan pengusaha kapal penangkap ikan.
Baca juga: Ketua DPRD Cilacap: KKP sudah mendengar aspirasi nelayan
Baca juga: Nelayan Cilacap unjuk rasa, tolak pemberlakuan PNBP
Baca juga: Pati dukung upaya nelayan tuntut penurunan tarif PNBP