Boyolali (ANTARA) - Industri kerajinan ukir tembaga dan kuningan di Desa Tumang Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, sepi permintaan sehingga sebagian besar berhenti produksi pada masa pendemi disertai dengan kebijakan PPKM.
Pengrajin industri tembaga "Pamungkas" Tumang, Sumanto di Cepogo Boyolali, Sabtu, mengatakan selama pandemi COVID-19 dan dilanjutkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), menyebabkan pengiriman semua barang yang sudah jadi tertunda.
"Pesanan yang sebelum pandemi COVID-19 sudah dibuat sampel-sampelnya dan produk jadinya akan diekspor ke Madinah, Arab Saudi, akhirnya semua ditunda. Kapan waktunya, belum tahu," katanya.
Bahkan, usaha industri ukir tembaga yang biasanya dikirim ke luar negeri, selama pandemi turun dratis dan belum ada lagi permintaan pesanan.
Menurut Sumanto, banyak pengrajin yang menghentikan kegiatan karena pasokan oksigen yang digunakan pengelasan sejak awal Juli ini, kosong. Semua dialihkan untuk keperluan medis. Jika masih ada tabung gas oksigen yang tersisa, harganya bisa mencapai tiga kali lipat.
Selain itu, kata Sumanto dampak pandemi juga terkendala bahan baku dari Maret hingga Juli ini harganya naik terus. Harga normalnya bahan baku tembaga per lembar dengan ukuran 1 X 2 meter Rp1,8 juta, tetapi kini naik menjadi sekitar Rp3,5 juta per lembar.
"Dengan kondisi ini, kami sempat menjual tanah karena tagihan terlambat bayar. Kami kini tetap produksi sedikit-sedikit, pesanan lokal untuk kebutuhan hidup sehari-hari," kata Sumanto yang mengaku saat kondisi normal omzetnya rata-rata mencapai Rp150 juta hingga Rp200 juta per bulan.
Senada dirasakan pengrajin lainnya, Nuansa Gallery Tumang, Mamik Sri Ningsih.
Ia mengatakan kelangkaan oksigen membuat harganya melonjak. Bahkan, dia pernah ditawari satu tabung gas seharga Rp350.000 hingga Rp500.000 per tabung. Padahal harga normalnya dengan harga Rp80.000 per tabung.
Menurut Mamim, susahnya oksigen berdampak besar terhadap industri kerajinan ukir tembaga Tumang. Karena proses penyambungan tembaga dengan menggunakan las yakni perpaduan oksigen dan asitilin. Harga oksigen dari Rp80.000 per tabung melonjak empat kali lipat.
Akibatnya, banyak pengrajin memilih berhenti produksi. Pengrajin memilih membuat produk yang tidak perlu menggunakan las. Ditambah lagi harga bahan baku naik sejak usai Lebaran ini, padahal harga hasil kerajinan belum tentu bisa dinaikkan.
"Saya menjual hasil kerajinan mulai berkisar Rp60 ribu hingga jutaan rupiah per buah. Bahkan, penjualan harus didiskon agar menarik mintavpembeli. Ekspor kerajinan ke luar negeri juga macet, dan banyak pengrajin tetap bertahan dengan layani pesanan lokal saja," katanya.
Berita Terkait
Pemkot Pekalongan gelar Pekan Batik Nusantara 2024
Rabu, 4 Desember 2024 20:21 Wib
Nilai ekspor ekonomi kreatif hingga pertengahan 2024 capai 12,36 miliar dolar AS
Rabu, 11 September 2024 18:12 Wib
Dukung pameran Kriyanusa 2024, BRI dorong UMKM kerajinan dan seni kriya naik kelas
Sabtu, 31 Agustus 2024 13:15 Wib
Kerajinan rajut peta Indonesia di Solo
Jumat, 30 Agustus 2024 18:31 Wib
Pekalongan bangun masyarakat produktif melalui keterampilan kriya
Kamis, 29 Agustus 2024 16:15 Wib
Pekalongan fasilitasi pelatihan kewirausahaan pembuatan hantaran
Selasa, 23 Juli 2024 15:44 Wib
Pemkot Pekalongan buka peluang usaha kuliner dan kerajinan
Jumat, 12 Juli 2024 8:10 Wib
Pemkab Kudus gagas caping kalo masuk pelajaran demi pelestarian
Sabtu, 27 April 2024 5:18 Wib