Jakarta (ANTARA) - Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti bertemu dengan mantan Ketua DPD RI Oesman Sapta Odang (OSO) pada Jumat (14/5) malam, salah satu yang dibahas terkait wacana amendemen ke-5 UUD 1945.
LaNyalla menyatakan DPD RI telah membentuk Timja PPHN (Tim Kerja Pokok-Pokok Haluan Negara) yang diketuai Senator asal DKI Jakarta Jimly Asshiddiqie.
"Tim ini bertugas menyiapkan materi seputar persiapan Amendemen ke-5 UUD 1945," kata LaNyalla dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.
OSO mengatakan, anggota DPR yang mewakili partai politik dan anggota DPD yang mewakili daerah sama-sama dipilih rakyat melalui pemilu.
Menurut dia, mengapa pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya bisa diajukan oleh partai politik.
"Sudah seharusnya DPD RI juga menjadi salah satu saluran untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berasal dari luar kader partai politik," ujarnya.
Dia mengatakan, partai politik dapat mengusung kader terbaiknya sebagai capres-cawapres namun apakah ada saluran bagi calon-calon potensial yang bukan kader partai.
Padahal menurut OSO, setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih.
OSO mengatakan dulu presiden dan wakil presiden dipilih MPR, di mana di dalamnya ada representasi partai politik dan utusan golongan dan utusan daerah.
"Lalu dalam amendemen UUD 1945, presiden dipilih rakyat tapi yang mengajukan hanya partai politik. Lalu anggota MPR yang di luar partai politik untuk apa ada di Senayan padahal saat ini penjelmaan dari utusan daerah itu adalah DPD RI," katanya.
Hal itu menurut dia salah satu bukti bahwa sistem tata negara Indonesia masih harus terus dilakukan perbaikan untuk menjamin terwujudnya cita-cita negara dibentuk.
Menurut dia, sudah saatnya DPD RI menjadi pengusung calon presiden dan wakil presiden di luar kader partai politik.
"Jadi DPD RI bisa membuat konvensi untuk menjaring kader-kader terbaik bangsa yang bukan kader partai," katanya.
OSO juga menyinggung terkait ambang batas pencalonan presiden oleh partai politik atau presidential threshold sebesar 20 persen.
Menurut dia hal itu sangat merugikan partai politik, karena partai terpaksa tidak bisa mengusung kader terbaiknya karena harus bergabung dengan partai-partai lain.
“Akibatnya, seperti (Pemilu 2019) kemarin, calon cuma dua pasangan. Dampaknya, masyarakat terbelah dengan sangat tajam, yang rugi bangsa ini," ujarnya.
Baca juga: Wacana amendemen UUD'45 kian redup