Semarang (ANTARA) - Cuaca ekstrem saat musim hujan di wilayah Jawa Tengah yang diperkirakan masih terjadi hingga Maret 2021 patut diwaspadai. Cuaca ekstrem tersebut telah menimbulkan dampak bencana hidrometeorologi seperti hujan lebat yang disertai petir, banjir, dan tanah longsor.
Seperti di wilayah Kota Semarang, banjir di berbagai titik di 10 kecamatan pada Sabtu (6/2) telah merendam tidak hanya permukiman warga juga fasilitas umum seperti bandara, stasiun, terminal, dan pasar.
Sebanyak 21 jadwal penerbangan dari beberapa maskapai terdampak banjir yang menggenangi landas pacu Bandara Internasional Jenderal Ahmad Yani, Kota Semarang, Jawa Tengah, sehingga harus dialihkan dan ditunda akibat tingginya curah hujan. Begitu juga perjalanan sejumlah kereta api yang melintas jalur utara Jawa Tengah terganggu akibat banjir di Stasiun Tawang.
Bahkan PT KAI Daop 4 Semarang menyatakan jalur KA lintas utara antara Stasiun Tawang dan Stasiun Alastuwa Semarang hingga hari ini Senin (8/2) belum bisa dilalui akibat masih adanya rel yang tergenang banjir.
Selain itu hujan yang mengguyur Kota Semarang sejak Jumat (5/2) hingga Sabtu menyebabkan longsor di 21 lokasi, bahkan di Jomblangsari telah menewaskan dua orang korban.
Belum lagi banjir di Kabupaten Kudus menyebabkan jumlah warga terdampak banjir dan mengungsi terus bertambah, menyusul semakin tingginya genangan air di beberapa desa karena tingginya curah hujan di daerah setempat.
Sementara di Kota Pekalongan banjir hingga Sabtu (6/2) pagi merendam sedikitnya 20 kelurahan dengan ketinggian air mencapai 30-70 centimeter.
Padahal banjir yang merendam sebagian Kota Semarang, Jawa Tengah, pada Sabtu (6/2), sudah diingatkan BMKG sejak 4 Februari. Diingatkan bahwa terdapat potensi dampak hujan lebat untuk dampak banjir/bandang dapat terjadi di wilayah Jawa Tengah dengan kategori waspada, termasuk Kota Semarang. Namun antisipasi selalu datang terlambat, baru huru-hara setelah banjir datang.
Terus terang, bencana hidrometeorologi memang tidak bisa dibendung. Manusia tidak bisa melawan kuasa alam, tetapi ia punya kemampuan memprediksi dan menyiasati dampaknya.
Kita mestinya tidak perlu lagi gagap menghadapi bencana karena Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana Tahun 2020-2044, pada 10 September 2020.
Perpres itu menghendaki adanya desain sistem ketahanan bencana yang bersifat menyeluruh, yang didukung kapasitas kelembagaan pemerintah, kemitraan lintas pemangku kepentingan, sistem data, ilmu dan teknologi, skema pembiayaan yang beragam, peran serta masyarakat dan kearifan lokal, dan kolaborasi dengan komunitas global.
Desain sistem ketahanan bencana harus dimulai dengan menata ulang seluruh peraturan perundang-undangan agar adaptif dalam penanggulangan bencana. Harus ada keberanian politik untuk menata kawasan resapan air yang sudah beralih fungsi.
Banyaknya kawasan resapan air yang beralih fungsi menjadi kawasan komersial mengakibatkan banjir di mana-mana, sehingga semua pihak harus tetap mewaspadai cuaca ekstrem.