Purwokerto (ANTARA) - Pakar hukum dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Prof Hibnu Nugroho, mengapresiasi usulan pemerintah agar RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan RUU Pemasyarakatan dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional berikutnya pada 2021.
"Saya kira patut diapresiasi karena namanya suatu undang-undang itu butuh sosialisasi yang betul-betul detail kepada masyarakat," katanya, di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Selasa.
Menurut dia, hal itu karena undang-undang harus menyangkut aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dalam hal ini, kata dia, aspek filosofis itu menyangkut filosofi, maksud, dan marwah dari undang-undang itu.
Sementara aspek sosiologis menyangkut sosiologi masyarakat terkait dengan alasan untuk mengubah undang-undang dan perubahanya apa saja.
"Perubahan dari dulu sampai sekarang, perubahan dari dinamika perkembangan masyarakat, itu sosiologisnya apa. Ini yang penting, itu kan semua peninggalan Belanda, apakah dari aspek sosiologis ini bisa diterapkan atau tidak," katanya menjelaskan.
Menurut dia, aspek yuridis menyangkut peraturan atau hukum yang wajib dipatuhi oleh masyarakat secara tertulis maupun lisan.
Oleh karena itu, kata dia, tiga aspek yang meliputi filosofis, sosiologis, dan yuridis tersebut perlu disampaikan kepada masyarakat. "Suatu undang-undang menganut dari aspek filosofis, aspek sosiologis, dan aspek yuridis," katanya.
Lebih lanjut, Hibnu mengatakan, suatu undang-undang memerlukan tafsir, namun tafsir itu seminimal mungkin dihindari sehingga tidak terjadi perdebatan di masyarakat dan tidak terjadi salah penerapan.
"Tafsir penegak hukum, tafsir masyarakat, itu beda. Ini harus satu tafsir, jangan sampai multitafsir, baik dari aspek filosofisnya, aspek sosiologisnya, maupun aspek yuridisnya. Padahal tasfir dalam ilmu hukum itu banyak, seperti tafsir historis dan sebagainya," katanya.
Terkait dengan hal itu, dia mengatakan sosialisasi RKUHP dan RUU Pemasyarakatan perlu dilakukan lebih dulu sebelum kembali dimasukkan ke Prolegnas, sehingga ke depan undang-undang tersebut benar-benar implementatif dan diterima oleh masyarakat.
"Jangan seperti sekarang ini, UU Cipta Kerja yang menimbulkan gejolak. Ini karena sosialisasinya belum betul-betul dimaknai oleh masyarakat," katanya.
Dengan demikian, kata dia, butuh waktu dan butuh penyamaan persepsi, sehingga undang-undang tersebut tidak sia-sia di masyarakat maupun penegak hukum yang menjalankannya.
Ia mengakui butuh waktu yang cukup lama untuk menyosialisasikan RKUHP dan RUU Pemasyarakatan kepada masyarakat sebelum dimasukkan kembali ke Prolegnas.
"Ibaratnya, masyarakat sekarang sedang dalam kondisi tidak baik karena adanya pandemi COVID-19 dan ekonomi sulit, sehingga butuh waktu lama. Saya kira akan lebih baik jika sosialisasi itu dilaksanakan ketika pandemi telah berakhir, pekerjaan masyarakat cukup, sekolah sudah enak,, dan situasi tenang," katanya.
Menurut dia, situasi dan kondisi tertentu dapat memengaruhi sosialisasi kepada masyarakat.
Ia mengatakan situasi dan kondisi saat sekarang serba sulit karena untuk berkumpul saja juga sulit, sehingga tidak pas untuk melakukan perubahan undang-undang maupun sosialisasinya.
"Yang penting sekarang adalah penanganan Covid-19 lebih dulu," katanya.
Sebelumnya, Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM mengusulkan untuk mengeluarkan tiga RUU dari Prolegnas Prioritas 2021, yakni RUU KUHP (RKUHP), RUU Pemasyarakatan, dan RUU tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Hal itu disampaikan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dalam Rapat Kerja Evaluasi Program Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun 2020 dan Penyusunan Prolegnas Prioritas Tahun 2021 di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (23/11).
Pengeluaran tiga RUU tersebut diikuti dengan usulan tiga RUU baru dari pemerintah untuk dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas 2021.
Tiga RUU usulan baru pemerintah tersebut yaitu RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, RUU tentang Wabah, dan RUU "Omnibus Law" tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.