Napoleon Bonaparte merasa dizalimi oleh pernyataan pejabat
Jakarta (ANTARA) - Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Pol Napoleon Bonaparte merasa dizalimi oleh pernyataan pejabat negara terkait tuduhan penghapusan red notice.
"Dari bulan Juli sampai hari ini, saya merasa dizalimi melalui teks oleh pemberitaan pemberitaan statement'pejabat negara yang salah tentang tuduhan menghapus red notice," kata Napoleon dalam sidang dengan agenda pembacaan nota keberatan (eksepsi) di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Dalam perkara ini Napoleon didakwa menerima suap 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS (sekitar Rp6,1 miliar) agar menghapus nama Djoko Soegiarto Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi.
"Kesempatan hari ini sudah lama saya tunggu-tunggu Yang Mulia karena sebagai Kadivhubinter Polri yang dulu juga mantan Sekretaris NCB (National Central Bureau) Interpol Indonesia. Kami yang paling tahu kerja Interpol," ungkap Napoleon.
Napoleon merasa tuduhan tersebut membuatnya tidak mungkin menyampaikan jawaban karena hanya akan dianggap pembenaran diri.
"Kesempatan ini kami tunggu untuk menyampaikan apa yang dieksepsi, tuduhan penerimaan uang saya siap untuk dibuktikan didasari rencana untuk menzalimi kami sebagai pejabat negara," ujar Napoleon.
Dalam nota pembelaannya, pengacara Napoleon mengatakan tidak ada keterangan saksi yang termuat di dalam keseluruhan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Djoko Tjandra yang menerangkan keterlibatan langsung maupun tidak langsung dari Napoleon.
"Terhadap penyerahan dan penerimaan uang sebagaimana kuitansi kuitansi tanda terima uang tanggal 27 April 2020, 28 April 2020, 29 April 2020, 4 Mei 2020, 12 Mei 2020 dan 22 Mei 2020," kata pengacara Napoleon, Sastrawan.
Menurut Sastrawan, Interpol Red Notice atas Djoko Soegiarto Tjandra Control Nomor: A-1897/7-2009 telah terhapus dari Sistem Basis Data Interpol sejak tahun 2014 karena tidak ada perpanjangan dari Kejaksaan RI sebagai Lembaga Peminta.
Menurut Sastrawan, red notice dan Daftar Pencarian Orang (DPO) pada SIMKIM Imigrasi adalah 2 hal yang berbeda sehingga hapusnya nama Djoko Tjandra dari SPO SIMKIM Imigrasi bukanlah kewenangan dari Napoleon Bonaparto dan bukan pula implikasi dari surat No. B/1036/V/2020/NCB - Div HI tertanggal 5 Mei 2020 karena substansi isi surat tersebut hanya bersifat pemberitahuan.
Dalam dakwaan Napoleon disebut mendapat uang secara bertahap yaitu pada 28 April 2020 sebesar 200 ribu dolar Singapura, pada 29 April 2020 sebesar 100 ribu dolar AS, pada 4 Mei 2020 sebesar 150 ribu dolar AS dan pada 5 Mei 2020 sebesar 20 ribu dolar AS.
Baca juga: Jaksa: Irjen Pol. Napoleon minta uang suap untuk "petinggi kita"
Baca juga: Dua perwira tinggi Polri didakwa terima suap Rp8,3 miliar dari Djoko Tjandra
"Dari bulan Juli sampai hari ini, saya merasa dizalimi melalui teks oleh pemberitaan pemberitaan statement'pejabat negara yang salah tentang tuduhan menghapus red notice," kata Napoleon dalam sidang dengan agenda pembacaan nota keberatan (eksepsi) di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Dalam perkara ini Napoleon didakwa menerima suap 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS (sekitar Rp6,1 miliar) agar menghapus nama Djoko Soegiarto Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi.
"Kesempatan hari ini sudah lama saya tunggu-tunggu Yang Mulia karena sebagai Kadivhubinter Polri yang dulu juga mantan Sekretaris NCB (National Central Bureau) Interpol Indonesia. Kami yang paling tahu kerja Interpol," ungkap Napoleon.
Napoleon merasa tuduhan tersebut membuatnya tidak mungkin menyampaikan jawaban karena hanya akan dianggap pembenaran diri.
"Kesempatan ini kami tunggu untuk menyampaikan apa yang dieksepsi, tuduhan penerimaan uang saya siap untuk dibuktikan didasari rencana untuk menzalimi kami sebagai pejabat negara," ujar Napoleon.
Dalam nota pembelaannya, pengacara Napoleon mengatakan tidak ada keterangan saksi yang termuat di dalam keseluruhan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Djoko Tjandra yang menerangkan keterlibatan langsung maupun tidak langsung dari Napoleon.
"Terhadap penyerahan dan penerimaan uang sebagaimana kuitansi kuitansi tanda terima uang tanggal 27 April 2020, 28 April 2020, 29 April 2020, 4 Mei 2020, 12 Mei 2020 dan 22 Mei 2020," kata pengacara Napoleon, Sastrawan.
Menurut Sastrawan, Interpol Red Notice atas Djoko Soegiarto Tjandra Control Nomor: A-1897/7-2009 telah terhapus dari Sistem Basis Data Interpol sejak tahun 2014 karena tidak ada perpanjangan dari Kejaksaan RI sebagai Lembaga Peminta.
Menurut Sastrawan, red notice dan Daftar Pencarian Orang (DPO) pada SIMKIM Imigrasi adalah 2 hal yang berbeda sehingga hapusnya nama Djoko Tjandra dari SPO SIMKIM Imigrasi bukanlah kewenangan dari Napoleon Bonaparto dan bukan pula implikasi dari surat No. B/1036/V/2020/NCB - Div HI tertanggal 5 Mei 2020 karena substansi isi surat tersebut hanya bersifat pemberitahuan.
Dalam dakwaan Napoleon disebut mendapat uang secara bertahap yaitu pada 28 April 2020 sebesar 200 ribu dolar Singapura, pada 29 April 2020 sebesar 100 ribu dolar AS, pada 4 Mei 2020 sebesar 150 ribu dolar AS dan pada 5 Mei 2020 sebesar 20 ribu dolar AS.
Baca juga: Jaksa: Irjen Pol. Napoleon minta uang suap untuk "petinggi kita"
Baca juga: Dua perwira tinggi Polri didakwa terima suap Rp8,3 miliar dari Djoko Tjandra