Magelang (ANTARA) - Pandemi virus corona jenis baru (COVID-19) sepertinya mudah untuk dituding sebagai mengharu biru tatanan kehidupan normal manusia selama ini.
Sasaran utama serangan virus menjadi begitu berarti karena membuat raga manusia bisa terpisah dari roh yang menghidupi. Kalau toh raga mampu memperkuat daya tahan dari virus, ia membuat manusia menderita, sakit.
Tingkatan kategori sakit pun disusun, seperti orang tanpa gejala, orang dalam pemantauan, pasien dalam pengawasan, dan pasien terkonfirmasi positif virus. Kategorisasi sakit itu mendasari penanganan kesehatan orang oleh pihak medis.
Baca juga: Telaah - Seniman Magelang siasati pandemi untuk terus berkarya
Katanya kalau orang dikatakan sembuh, sesungguhnya paru-paru yang menjadi titik pamungkas serangan tetap menyimpan jejak-jejak virus, fungsinya tidak pulih seperti sedia kala.
Serangannya yang cepat, misterius, dan masif membuat manusia harus Siaga 1, baik secara individu maupun kesadaran sebagai mahkluk sosial. Hidup setiap manusia dan kehidupan bersama harus dijaga agar tidak tersentuh virus.
Tenggang rasa, empati, dan penghargaan terhadap arti hidup dan kehidupan diletakkan di tahta mulia yang mesti dijunjung manusia karena pandemi COVID-19.
Segala protokol kesehatan pun disusun untuk ditaati secara disiplin setiap orang. Penyusun dan pengesahan protokol kesehatan oleh pihak berwenang, yakni pemerintah yang notabene mendapatkan amanah rakyat, wajah kumpulan manusia sebagai makhluk sosial.
Segala aturan formal dalam wujud protokol kesehatan COVID-19 dikeluarkan pemerintah, segala ilmu raga dan kesehatan, serta kesadaran jiwa sebagaimana pelajaran "Kawruh Jiwa" ditebarkan Ki Ageng Suryomentaram, maupun refleksi kehidupan diserukan para pengkhotbah, menjadi penuntun supaya manusia mempertahankan kehidupan dari serangan virus. Hingga saat ini belum ditemukan antivirus corona baru itu.
Serangan virus yang mengharu biru bukan sekadar membuat prihatin, gelisah, galau, dan nelangsa. Apalagi serangan terhadap kesehatan manusia itu, berdampak kepada berbagai sendi kehidupan.
Bahkan, bisa mengakibatkan kerusuhan massa, menghentikan roda perekonomian, merombak tatanan sosial, menumbangkan rezim, atau membumihanguskan manusia sebagai makhluk komunal.
Budayawan Magelang Sutanto Mendut menyebut pandemi virus membuat siapa saja, baik pengambil keputusan maupun masyarakat dari berbagai kalangan, orang desa maupun kota, menjadi "clila-clili".
Cukup susah menemukan arti "clila-clili". Tetapi ungkapan itu populer dalam masyarakat Jawa yang kira-kira menandakan orang tidak bisa berbuat apa-apa, bingung, serba khawatir salah omong atau bertindak. Ia adalah suasana yang seketika menyeret sikap terdiam dalam waktu pendek untuk menemukan adaptasinya.
Mungkin bisa dibandingkan --meskipun tidak tepat amat-- dengan "jet lag", suatu keadaan tubuh, jiwa, dan pikiran tanpa energi karena sedang proses adaptasi antara dorongan, pikiran, dan kehendak dengan ruang dan keadaan terbaru.
Menghadapi wajah "clila-clili", barangkali orang akan mendapatkan kesan lucu, tertawa, iba, atau menjadikan kesempatan melakukan perundungan. Sebaliknya orang yang sedang "clila-clili" barangkali akan mengumpat, memelas, merasa wagu dan terpinggirkan, atau menertawakan diri.
Barangkali bisa disajikan sejumlah catatan keadaan "clila-clili" karena karakter serangan COVID-19 yang cepat, masif, dan misterius itu, seperti saat awal-awal penanganan pandemi di mana orang terkesan terombang-ambing tentang pemakaian masker.
Ketika masker medis makin susah didapat secara bebas, harga selangit, dan bahkan sempat menjadi modus penimbunan di kalangan pedagang, kini penggunaan masker kain dengan segala variannya menjadi seruan masif dan familier, juga tanpa perlu standar tertentu.
Penyemprotan disinfektan secara masif di berbagai tempat dan orang harus melalui bilik-bilik penyemprotan ketika hendak masuk pasar, mal, toko, perkantoran, yang harus cepat diluruskan supaya tepat sasaran dan tidak mengakibatkan iritasi kulit atau mata.
Lainnya, tentang larangan mudik dan kebijakan operasional kembali transportasi umum, soal ibadah berjamaah di tengah pandemi, klaim atas suatu obat bagi pasien virus, atau keandalan jamu untuk mencegah orang terpapar COVID-19.
Belum lagi tsunami informasi di media sosial tentang COVID-19. Bagi mereka yang minim literasi perkembangan dunia komunikasi informatika bisa mengakibatkan ketidakpastian makin merajalela.
Kekagetan mereka yang gagap teknologi informatika ketika mengetahui manusia dalam situasi di rumah saja tetapi bisa saling terhubung secara virtual atau berbagai siaran langsung melalui beragam platform dan kanal yang bisa dikerjakan setiap orang untuk saling terhubung.
Demikian juga tentang diskusi penyebaran dan penularan virus yang sebagai konspirasi global, murni peristiwa alam, atau kehendak Sang Khalik untuk memperkaya catatan sejarah kehidupan manusia di muka Bumi sebagai bagian dari jagat raya.
Ihwal mungkin paling gres adalah "new normal" akibat pandemi yang juga membuat riuh pencarian pemaknaan maupun sekadar terjemahan tepat untuk berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Ada yang bilang "new normal", antara lain kehidupan normal baru, tatanan kehidupan baru, normal baru, atau lainnya dengan berbagai argumentasi pembenaran dan tudingan sisi keliru atau tidak tepat, termasuk kalau dikomparasi dengan "old normal" (normal lama) untuk menyebut apa, di mana, siapa, kapan, bagaimana, dan mengapa.
Normal baru yang sekadar dimengerti sebagai penerapan protokol kesehatan dan penegakannya, belum menjamin manusia terbebas dari virus. Normal baru sebagai gaya hidup atau budaya baru tidak serta-merta membumi dalam kehidupan manusia. Butuh waktu atau proses menjadi budaya masyarakat. Normal baru pun saat ini menjadi bagian dari "clila-clili" setiap orang menghadapi pandemi.
Kenyataannya, manusia tak hendak berlama-lama disergap "clila-clili". Kecenderungannya, situasi itu secepatnya dilewati dengan kecerdasan dan kelenturan manusia dengan sifat adaptifnya agar segera beroleh kemapanan.
Padahal, pandemi virus yang menerjang Indonesia sekitar tiga bulan terakhir, sudah dirasakan semua orang sebagai kelamaan, tak kunjung teratasi. Orang keburu tidak betah hidup di tengah pandemi. Ini mungkin persis sebagaimana ia tidak betah terkungkung "clila-clili".
Berbagai kalangan, seperti filsuf, psikolog, kaum spiritualis, sosiolog, antropolog, atau motivator, barangkali memiliki kajian mendalam dan komprehensif tentang "clila-clili" sebagai bagian eksistensi manusia.
Barangkali hasil kajian mereka bisa membantu mewujudkan kecenderungan manusia beroleh kemapanan atau sekadar jalur terarif dan paling bijaksana, melakoni kehidupan di tengah kecamuk perang menghadapi pandemi.
Baca juga: Telaah - Kota Magelang dalam catatan wabah ke wabah
Baca juga: Telaah - Tetirah bareng-bareng hadapi COVID-19
Baca juga: Telaah - Anomali ekonomi makro Kota Magelang dan prediksi pascapandemi