Normal baru agar tubuh tak runtuh
Magelang (ANTARA) - Semua orang sekarang seakan sedang berseru-seru, berdiskusi, merumpi, atau sekadar berbisik soal normal baru. Mereka yang masih tak sadar tercengkeram disrupsi keindonesiaan dengan enteng menyebut new normal.
Yang menyuarakan dengan nada dasar negatif pesimistis, menuding normal baru sebagai kekalahan atau kegagalan mengatasi serangan virus corona jenis baru (COVID-19).
Mereka yang tetap optimistis mencari sisik melik keluar dari masalah serangan terhadap kesehatan manusia dengan berdampak kompleks bagi kehidupan itu, normal baru dikatakan jalan berdamai dengan pandemi global.
Baca juga: Kota Magelang bersiap terapkan normal baru
Silakan mau dikata apa. Segala rentetan jalan ditempuh untuk menangani pandemi selama beberapa bulan terakhir. Pemerintah saat ini menggaungkan normal baru supaya segala sendi kehidupan tidak mandek, berputar kembali.
Hingga saat ini, memang belum ditemukan antivirus tersebut, sementara pandemi tak kunjung sampai garis akhirnya.
Perkembangan data mereka yang positif maupun terpapar COVID-19, jadi petunjuk terkini atas serangan gelap virus. Upaya menemukan antivirus, sebagai tetirah beroleh amunisi ampuh untuk memukul balik serangan virus. Secara latah, bahkan harapannya virus segera sirna. Padahal, konon virus tak bisa dimusnahkan.
Normal baru bagaikan setitik nyala api di ujung lorong panjang yang gelap. Orang sedang dituntun menuju api pembebasan yang nampak setitik itu karena letaknya terbayang jauh. Ketika orang sampai pada sumber api, mungkin bagaikan menjumpai cahaya Matahari. Terang benderang.
Agak repotnya, kalau normal baru sekadar dimengerti sebagai tatanan bagi publik untuk menjalani kehidupan di tengah pandemi.
Baca juga: Objek wisata di Wonosobo siapkan diri sambut tatanan normal baru
Normal dengan protokol
Hal demikian, antara lain orang beraktivitas di luar rumah harus mengenakan masker, rajin mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir, pemakaian cairan pembersih tangan, jaga jarak fisik dan sosial, pengukuran suhu tubuh di mana-mana, dan bergegas memeriksakan kesehatan jika tubuh menunjukkan tanda-tanda terpapar COVID-19.
Guna menjalani kehidupan normal baru, maka berbagai area publik atau tempat keramaian dijaga aparat secara ketat. Mereka penjaga tegaknya aturan hidup bersama secara normal baru. Yang melanggar diberi sanksi dengan segala levelnya.
Kalau demikian, apa bedanya menjalani kehidupan normal baru dan mematuhi protokol kesehatan sebagaimana selama ini diterapkan dalam pencegahan dan penanganan virus itu.
Seniman yang juga petinggi penting Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Sitras Anjilin, merespons performa tari "Paja de Paramo" oleh penari Ekuador (Amerika Selatan) Cristina Duque, sebagai pementasan yang boleh dikatakan tidak lepas dari persoalan normal baru. "Paja de Paramo" (Bahasa Spanyol) artinya alang-alang gunung.
Pementasan itu berlangsung di panggung terbuka Studio Mendut, sekitar 100 meter timur Candi Mendut Kabupaten Magelang pada Rabu (27/5) pagi, dengan penonton dalam jumlah terbatas sambil menyiarkan langsung melalui akun media sosial masing-masing.
Di tengah panggung studio yang dikelola budayawan Magelang Sutanto Mendut itu, terdapat patung batu "Kembali ke Hati", karya seniman Gunung Merapi Ismanto. Sang penari menyuguhkan performanya di sekitar patung itu, sejumlah lilin beralas cobek kecil dinyalakan, bunga mawar ditaburkan ke sana-sini dalam gerak tarian.
Alhasil, "Paja de Paramo", menjadi pentas virtual sampai negeri asal sang penari yang juga menghadapi pandemi global COVID-19.
Ketika penari menyajikan performa, Sitras yang juga pemimpin Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor di kawasan Gunung Merapi Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu, menimpali dengan tembang Jawa, dandang gula bares.
Salah satu syairnya tentang kemantapan hati manusia mencari susuh angin dan menelusuri galih kangkung. Seakan suatu perjalanan sia-sia.
Baca juga: Wali kota: Normal baru di Semarang bisa mundur dari jadwal
Virus pembebas
Performa tari "Paja de Paramo" dalam durasi singkat itu, disebutnya sajian mengalir, seakan tanpa konsep, namun sesungguhnya menyapa alam dan bersumberkan jiwa.
"Menari dari jiwa, tidak hanya fisik. Itu tarian membebaskan tubuh. Memang orang tidak hanya diperintah otak dan hati," kata Sitras yang bersama seniman petani padepokan berbasis kesenian wayang orang itu juga menjalani olah gerak untuk melahirkan performa tari.
Penari muda Komunitas Seniman Lima Gunung Nabila Rifany juga menyebut "Paja de Paramo" bagian dari virus pembebasan yang membuat tidak ada lagi hal yang kontemporer, modern, atau tradisional.
Penari ingin menyampaikan bahwa kesadaran jiwa menjadi fondasi dan kekuatan mewujudkan normal baru di tengah pandemi COVID-19.
"Menjadi inspirasi membuat karya mengikuti tren masa pandemi, memberi warna baru Komunitas Lima Gunung," kata mahasiswi Program Studi Seni Tari, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta itu.
Memang diakui sang penari bahwa karya itu tidak lepas dari pandemi global COVID-19, untuk mengajak setiap orang melakukan sesuatu yang baru karena pandemi membawa tapak kaki kepada kehidupan normal baru.
Performa itu juga menyerukan kepada banyak orang untuk tidak lagi terbelenggu takut terhadap serangan virus dengan berbagai taburan informasi tidak keruan, kabar berseliweran di media sosial.
"Saya sendiri tidak bisa melakukan, tetapi kalau saya bisa bersama-sama, saya bisa lebih baik, dengan alam, dengan orang-orang untuk melakukan dari dalam kehidupan baru," kata Cristina.
Baca juga: Ganjar: Jateng tak bisa terapkan normal dalam waktu dekat
Penular dan tertular
Dalam kehidupan normal baru dengan segala tatanannya, setiap orang memang tidak bisa lagi melakukan berbagai hal sesuka diri dan untuk kepentingan diri. Segala hal yang dilakukan, mestinya keputusan hasil dialog batin atau bahkan rumusan akhir dari kecamuk hati.
Sebelum diketahui hasil tes COVID-19 seseorang, pandemi virus membuat tidak pernah dapat diketahui pasti siapa penular dan siapa tertular.
Sesungguhnya setiap orang di tengah pandemi ini, saling berpikir, bertanya, menuduh, atau curiga tentang biang penularan virus.
Ukuran imunitas tubuh bukan sekadar hasil secara digital yang ditunjukkan alat pengukur suhu badan.
Tatanan secara rinci dibuat pemerintah dan disosialisasikan kepada masyarakat agar bisa beraktivitas di tengah pandemi dalam normal baru dengan segala rupa itu, juga sebatas perangkat penjamin dan ukuran kepatuhan.
Ihwal lebih mendalam tentang kehidupan normal baru barangkali sebagaimana dikemukakan pemuka buddhis berkarisma yang juga pimpinan Wihara Mendut Kabupaten Magelang Bante Sri Pannyavaro Mahathera (66), bahwa manusia berjalan dalam kesadaran dan menggunakan kesadaran sehari-hari.
"Dalam banyak hal kesadaran itu akan membantu kita. Membebaskan keruwetan pikiran kita. Menjaga pikiran kita. Menenteramkan kita," ucapnya sebagaimana dijumpai dalam buku kumpulan khotbah, "Melihat Kehidupan ke Dalam" (Cetakan kedua, Juni 2017).
Oleh karenanya, serangan pandemi global COVID-19 mesti disadari setiap orang, apalagi yang sudah tak betah untuk kembali beraktivitas secara normal, memutar roda kehidupan, dan meraup penghidupan.
Kesadaran normal baru dilakoni setiap insan bukan sebatas menjalankan seremoni kepatuhan atas perjanjian damai dengan pandemi virus.
Tetapi menegakkan kesadaran jiwa, bahwa kekebasan tubuh turut menempatkan tubuh-tubuh yang lain agar tidak runtuh.*
Baca juga: Kota Magelang perketat penerapan protokol kesehatan menuju normal baru
Baca juga: Kemenangan Idul Fitri mewujud menang pandemi
Baca juga: Pandemi virus memang goro-goro?
Yang menyuarakan dengan nada dasar negatif pesimistis, menuding normal baru sebagai kekalahan atau kegagalan mengatasi serangan virus corona jenis baru (COVID-19).
Mereka yang tetap optimistis mencari sisik melik keluar dari masalah serangan terhadap kesehatan manusia dengan berdampak kompleks bagi kehidupan itu, normal baru dikatakan jalan berdamai dengan pandemi global.
Baca juga: Kota Magelang bersiap terapkan normal baru
Silakan mau dikata apa. Segala rentetan jalan ditempuh untuk menangani pandemi selama beberapa bulan terakhir. Pemerintah saat ini menggaungkan normal baru supaya segala sendi kehidupan tidak mandek, berputar kembali.
Hingga saat ini, memang belum ditemukan antivirus tersebut, sementara pandemi tak kunjung sampai garis akhirnya.
Perkembangan data mereka yang positif maupun terpapar COVID-19, jadi petunjuk terkini atas serangan gelap virus. Upaya menemukan antivirus, sebagai tetirah beroleh amunisi ampuh untuk memukul balik serangan virus. Secara latah, bahkan harapannya virus segera sirna. Padahal, konon virus tak bisa dimusnahkan.
Normal baru bagaikan setitik nyala api di ujung lorong panjang yang gelap. Orang sedang dituntun menuju api pembebasan yang nampak setitik itu karena letaknya terbayang jauh. Ketika orang sampai pada sumber api, mungkin bagaikan menjumpai cahaya Matahari. Terang benderang.
Agak repotnya, kalau normal baru sekadar dimengerti sebagai tatanan bagi publik untuk menjalani kehidupan di tengah pandemi.
Baca juga: Objek wisata di Wonosobo siapkan diri sambut tatanan normal baru
Normal dengan protokol
Hal demikian, antara lain orang beraktivitas di luar rumah harus mengenakan masker, rajin mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir, pemakaian cairan pembersih tangan, jaga jarak fisik dan sosial, pengukuran suhu tubuh di mana-mana, dan bergegas memeriksakan kesehatan jika tubuh menunjukkan tanda-tanda terpapar COVID-19.
Guna menjalani kehidupan normal baru, maka berbagai area publik atau tempat keramaian dijaga aparat secara ketat. Mereka penjaga tegaknya aturan hidup bersama secara normal baru. Yang melanggar diberi sanksi dengan segala levelnya.
Kalau demikian, apa bedanya menjalani kehidupan normal baru dan mematuhi protokol kesehatan sebagaimana selama ini diterapkan dalam pencegahan dan penanganan virus itu.
Seniman yang juga petinggi penting Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Sitras Anjilin, merespons performa tari "Paja de Paramo" oleh penari Ekuador (Amerika Selatan) Cristina Duque, sebagai pementasan yang boleh dikatakan tidak lepas dari persoalan normal baru. "Paja de Paramo" (Bahasa Spanyol) artinya alang-alang gunung.
Pementasan itu berlangsung di panggung terbuka Studio Mendut, sekitar 100 meter timur Candi Mendut Kabupaten Magelang pada Rabu (27/5) pagi, dengan penonton dalam jumlah terbatas sambil menyiarkan langsung melalui akun media sosial masing-masing.
Di tengah panggung studio yang dikelola budayawan Magelang Sutanto Mendut itu, terdapat patung batu "Kembali ke Hati", karya seniman Gunung Merapi Ismanto. Sang penari menyuguhkan performanya di sekitar patung itu, sejumlah lilin beralas cobek kecil dinyalakan, bunga mawar ditaburkan ke sana-sini dalam gerak tarian.
Alhasil, "Paja de Paramo", menjadi pentas virtual sampai negeri asal sang penari yang juga menghadapi pandemi global COVID-19.
Ketika penari menyajikan performa, Sitras yang juga pemimpin Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor di kawasan Gunung Merapi Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu, menimpali dengan tembang Jawa, dandang gula bares.
Salah satu syairnya tentang kemantapan hati manusia mencari susuh angin dan menelusuri galih kangkung. Seakan suatu perjalanan sia-sia.
Baca juga: Wali kota: Normal baru di Semarang bisa mundur dari jadwal
Virus pembebas
Performa tari "Paja de Paramo" dalam durasi singkat itu, disebutnya sajian mengalir, seakan tanpa konsep, namun sesungguhnya menyapa alam dan bersumberkan jiwa.
"Menari dari jiwa, tidak hanya fisik. Itu tarian membebaskan tubuh. Memang orang tidak hanya diperintah otak dan hati," kata Sitras yang bersama seniman petani padepokan berbasis kesenian wayang orang itu juga menjalani olah gerak untuk melahirkan performa tari.
Penari muda Komunitas Seniman Lima Gunung Nabila Rifany juga menyebut "Paja de Paramo" bagian dari virus pembebasan yang membuat tidak ada lagi hal yang kontemporer, modern, atau tradisional.
Penari ingin menyampaikan bahwa kesadaran jiwa menjadi fondasi dan kekuatan mewujudkan normal baru di tengah pandemi COVID-19.
"Menjadi inspirasi membuat karya mengikuti tren masa pandemi, memberi warna baru Komunitas Lima Gunung," kata mahasiswi Program Studi Seni Tari, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta itu.
Memang diakui sang penari bahwa karya itu tidak lepas dari pandemi global COVID-19, untuk mengajak setiap orang melakukan sesuatu yang baru karena pandemi membawa tapak kaki kepada kehidupan normal baru.
Performa itu juga menyerukan kepada banyak orang untuk tidak lagi terbelenggu takut terhadap serangan virus dengan berbagai taburan informasi tidak keruan, kabar berseliweran di media sosial.
"Saya sendiri tidak bisa melakukan, tetapi kalau saya bisa bersama-sama, saya bisa lebih baik, dengan alam, dengan orang-orang untuk melakukan dari dalam kehidupan baru," kata Cristina.
Baca juga: Ganjar: Jateng tak bisa terapkan normal dalam waktu dekat
Penular dan tertular
Dalam kehidupan normal baru dengan segala tatanannya, setiap orang memang tidak bisa lagi melakukan berbagai hal sesuka diri dan untuk kepentingan diri. Segala hal yang dilakukan, mestinya keputusan hasil dialog batin atau bahkan rumusan akhir dari kecamuk hati.
Sebelum diketahui hasil tes COVID-19 seseorang, pandemi virus membuat tidak pernah dapat diketahui pasti siapa penular dan siapa tertular.
Sesungguhnya setiap orang di tengah pandemi ini, saling berpikir, bertanya, menuduh, atau curiga tentang biang penularan virus.
Ukuran imunitas tubuh bukan sekadar hasil secara digital yang ditunjukkan alat pengukur suhu badan.
Tatanan secara rinci dibuat pemerintah dan disosialisasikan kepada masyarakat agar bisa beraktivitas di tengah pandemi dalam normal baru dengan segala rupa itu, juga sebatas perangkat penjamin dan ukuran kepatuhan.
Ihwal lebih mendalam tentang kehidupan normal baru barangkali sebagaimana dikemukakan pemuka buddhis berkarisma yang juga pimpinan Wihara Mendut Kabupaten Magelang Bante Sri Pannyavaro Mahathera (66), bahwa manusia berjalan dalam kesadaran dan menggunakan kesadaran sehari-hari.
"Dalam banyak hal kesadaran itu akan membantu kita. Membebaskan keruwetan pikiran kita. Menjaga pikiran kita. Menenteramkan kita," ucapnya sebagaimana dijumpai dalam buku kumpulan khotbah, "Melihat Kehidupan ke Dalam" (Cetakan kedua, Juni 2017).
Oleh karenanya, serangan pandemi global COVID-19 mesti disadari setiap orang, apalagi yang sudah tak betah untuk kembali beraktivitas secara normal, memutar roda kehidupan, dan meraup penghidupan.
Kesadaran normal baru dilakoni setiap insan bukan sebatas menjalankan seremoni kepatuhan atas perjanjian damai dengan pandemi virus.
Tetapi menegakkan kesadaran jiwa, bahwa kekebasan tubuh turut menempatkan tubuh-tubuh yang lain agar tidak runtuh.*
Baca juga: Kota Magelang perketat penerapan protokol kesehatan menuju normal baru
Baca juga: Kemenangan Idul Fitri mewujud menang pandemi
Baca juga: Pandemi virus memang goro-goro?