Kemenangan Idul Fitri mewujud menang pandemi
Magelang (ANTARA) - Kalau belum keburu dihapus dari galeri telepon pintar masing-masing, bolehlah dihitung selama Idul Fitri 1441 Hijriah berapa jumlah poster dan rekaman video yang diterima.
Begitu pula hitunglah ucapan berwujud teks melalui layanan pesan singkat, sebagaimana telah berlaku sejak teknologi informasi dan komunikasi masih dianggap zadul, tetapi sebagai gaya hidup baru kala itu, menggantikan model kartu ucapan Idul Fitri dikirim melalui pos.
Nyaris boleh dibilang setiap pemegang telepon pintar menerima banyak kiriman ucapan berlebaran, ungkapan kemenangan setelah sebulan berpuasa Ramadhan, dan permintaan saling bermaaf-maafan pada hari fitri.
Selain menerima kiriman poster, video, dan teks, setiap orang juga mengirim ungkapan serupa. Suasana sedemikian menjadi makin terasa karena masyarakat Indonesia bersama-sama dengan warga global sedang berenang di badai pandemi virus corona jenis baru (COVID-19).
Baca juga: Pandemi virus memang goro-goro?
Situasi pandemi membuat aktivitas orang menjadi terbatas atau beralih cara dan suasana, termasuk dalam merayakan Idul Fitri dengan segala tradisi khas di masing-masing wilayah.
Lebaran tahun ini, yang juga terasa terdampak bukan hanya tata cara beribadah secara berjamaah, akan tetapi juga tradisi halalhibalal, silaturahim, dan gelar griya dengan segala variabelnya.
Tradisi itu sebagai keunikan berlebaran di Indonesia. Bahkan, bukan hanya dijalani pemeluk Islam, tetapi juga dirayakan seluruh masyarakat. Tradisi berlebaran tersebut khas milik bangsa ini.
Ketika masih dijumpai warga saling berkunjung ke tetangga atau saudara dekat untuk berlebaran, dipastikan mereka menelusuri terlebih dahulu status zona wilayah dan riwayat kesehatan. Itu pun, protokol kesehatan seperti rajin cuci tangan menggunakan sabun dan penggunaan cairan pembersih tangan, menjadi bekal.
Tebaran poster dan video ucapan berlebaran pada intinya sebagai perayaan kegembiraan karena umat Islam telah berpuasa Ramadhan, mengendalikan hawa nafsu, dan kembali kepada jati diri, yakni kesucian.
Kemenangan yang dirayakan melalui Idul Fitri tahun ini boleh dikatakan sebagai menang berarti di tengah pandemi global dengan segala macam dampaknya.
Menteri Agama Fachrul Razi mengemukakan perayaan Lebaran sebagai ungkapan kemenangan melawan hawa nafsu untuk selanjutnya setiap orang memberikan manfaat kepada sesama.
"Semoga kita tergolong orang-orang yang kembali kepada jati diri kemanusiaan kita, menang mengendalikan hawa nafsu dan memberikan manfaat kepada sesama," katanya
Kemenangan secara fisik yang mungkin paling terasa sebagaimana diperoleh para pasien yang sembuh dari infeksi virus. Kemenangan serupa juga menjadi kegembiraan para tenaga medis ketika melepas pasien sembuh untuk keluar tempat perawatan, ruang isolasi, dan rumah sakit.
Hal demikian, juga kepada mereka yang menjalani karantina mandiri selama 14 hari atau lebih, baik di rumah sendiri secara mandiri maupun di berbagai tempat yang disediakan pemerinah.
Ketika mereka dinyatakan sebagai negatif COVID-19, itulah kemenangan berolah diri dari paparan virus.
Ibaratnya bahtera lolos dari badai, sebagaimana salah satu poster viral menggambarkan sejumlah kapal terombang-ambing badai besar, dengan teks "We are not all in the same boat" dan "We are all in the same storm" (Kita tidak di kapal yang sama. Kita di badai yang sama".
Perayaan Idul Fitri sebagai ungkapan kemenangan melawan hawa nafsu menjadi bernilai penting untuk mengapitalisasi semangat menghadapi badai COVID-19.
Pandemi menjadi ancaman menakutkan manusia bukan hanya soal serangan penyakitnya. Setiap hari, melalui telepon pintar dan berbagai media setiap orang beroleh informasi tentang data terkini soal jumlah pasien, korban meninggal dunia, dan terpapar.
Setiap hari pemerintah menginformasikan perkembangan penanganan pasien, pencegahan, dan penguburan bagi mereka yang meninggal dunia karena virus.
Baca juga: Rapalan peronda di tengah pandemi COVID-19
Kuat
Soal spiritualitas hidup, Ki Ageng Suryomentaram (1892-1962) mengemukakan sebagai hal yang tidak perlu dikhawatirkan karena selalu kuat, tidak ada yang menginginkan karena pasti "kelakon" (terlaksana).
Barangkali tidak mudah memahami pandangan Ki Ageng itu. Untuk memahaminya, mungkin butuh pengaduk-adukan kecerdasan intelektual, kedalaman spiritualitas, ketenangan refleksi, serta kebebasan berimajinasi dan improvisasi.
"'Gesang punika isinipun namung karep, asalipun inggih saking karep. Wategipun mungkret-mulur, njalari raosing gesang punika namung gek bungah, gek susah'," begitu buku jilid 3 "Kawruh Jiwa, Wejanganipun Ki Ageng Suryomentaram" dihimpun Grangsang Suryomentaram.
Kira-kira terjemahannya bahwa kehendak menjadi isi hidup dan kehendak sebagai asal-muasal hidup. Karakter hidup yang lentur membuat perasaan terkadang gembira dan kadang susah.
Serangan virus corona bukan hanya ancaman perasaan hidup-mati, tetapi juga bermultidampak bagi kehidupan manusia global. Tradisi budaya masyarakat dan cara beribadah umat berbagai agama pun terdampak.
Hingga pertengahan tahun ini, setidaknya Umat Hindu merasakan dampak pandemi, saat merayakan Nyepi (25 Maret 2020), umat Kristen-Katolik saat Pekan Suci Paskah (5-12 April), dan umat Buddha saat Waisak (7 Mei).
Kali ini, umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia sungguh-sungguh bersiasat secara baik dalam merayakan Idul Fitri (24-25 Mei) di tengah penularan virus mematikan yang masih terus mencari inang.
Pada Lebaran kali ini, warga dan terutama umat Islam menang karena mampu melawan keinginan mudik untuk mencegah penyebaran COVID-19. Mereka yang telanjur mudik juga menang karena mampu menjalani karantina terlebih dahulu.
Yang tetap di rumah, tidak keluar kota, atau selama ini disiplin bekerja dari rumah, meraih kemenangan karena mengalihwujudkan halalbilalal melalui layanan virtual.
Begitu pula para tenaga medis beroleh kemenangan karena tetap tulus dan profesional menjalankan misi kemanusiaan di garis terdepan perang melawan virus, berupa pelayanan terbaik terhadap pasien COVID-19.
Bahkan, setiap orang pun, dengan segala kategori dari tanpa gejala ('carrrier' atau pembawa) hingga positif COVID-19, juga menang karena berhasil bertahan dari badai pandemi dan sekaligus berlebaran dengan cara dan situasi masing-masing.
Lebaran kali ini menjadi peristiwa istimewa setiap orang untuk mengungkapkan syukur dan kemenangan.
Saling mengirim poster dan video ucapan Idul Fitri sebagai berbagi berkabar atas spirit kemenangan itu, lalu ditranformasi menjadi kekuatan bersama, untuk bertahan dan menghadapi kehidupan ke depan. Melangkah di tengah pandemi.
Ketua Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Supadi Haryanto merayakan kemenangan Idul Fitri dengan mengirim serantang makanan kepada sahabatnya di kawasan Secang.
Isi kiriman dari tempat tinggalnya di kawasan Gunung Andong itu, antara lain ketupat, serundeng daging sapi, daging ayam ungkep, sambel goreng kerecek, dan tumis telur-lombok hijau.
Kiriman itu sebagai balasan yang diterima sehari sebelum Lebaran, berupa bingkisan berisi, minyak goreng, sirup, gula pasir, teh celup, tepung terigu, dan roti dalam kemasan kaleng.
Di tengah pandemi melewati Idul Fitri tahun ini, mereka menang dalam mempertahankan persaudaraan, menghidupi semangat kekeluargaan, dan tetap bersilaturahim.
Tebaran ucapan kemenangan pada Idul Fitri di telepon pintar, terasa sebagai ungkapan manusia berkehendak menjalani hidup ke depan.
Begitulah Idul Fitri tahun ini, kiranya ia mengumpulkan tekad bersama manusia untuk hidup di tengah badai pandemi.
Baca juga: Runtuhkan ego agar pandemi jadi jalan kehidupan normal baru
Baca juga: Presiden tegaskan pemerintah tak larang warga ibadah selama pandemi
Begitu pula hitunglah ucapan berwujud teks melalui layanan pesan singkat, sebagaimana telah berlaku sejak teknologi informasi dan komunikasi masih dianggap zadul, tetapi sebagai gaya hidup baru kala itu, menggantikan model kartu ucapan Idul Fitri dikirim melalui pos.
Nyaris boleh dibilang setiap pemegang telepon pintar menerima banyak kiriman ucapan berlebaran, ungkapan kemenangan setelah sebulan berpuasa Ramadhan, dan permintaan saling bermaaf-maafan pada hari fitri.
Selain menerima kiriman poster, video, dan teks, setiap orang juga mengirim ungkapan serupa. Suasana sedemikian menjadi makin terasa karena masyarakat Indonesia bersama-sama dengan warga global sedang berenang di badai pandemi virus corona jenis baru (COVID-19).
Baca juga: Pandemi virus memang goro-goro?
Situasi pandemi membuat aktivitas orang menjadi terbatas atau beralih cara dan suasana, termasuk dalam merayakan Idul Fitri dengan segala tradisi khas di masing-masing wilayah.
Lebaran tahun ini, yang juga terasa terdampak bukan hanya tata cara beribadah secara berjamaah, akan tetapi juga tradisi halalhibalal, silaturahim, dan gelar griya dengan segala variabelnya.
Tradisi itu sebagai keunikan berlebaran di Indonesia. Bahkan, bukan hanya dijalani pemeluk Islam, tetapi juga dirayakan seluruh masyarakat. Tradisi berlebaran tersebut khas milik bangsa ini.
Ketika masih dijumpai warga saling berkunjung ke tetangga atau saudara dekat untuk berlebaran, dipastikan mereka menelusuri terlebih dahulu status zona wilayah dan riwayat kesehatan. Itu pun, protokol kesehatan seperti rajin cuci tangan menggunakan sabun dan penggunaan cairan pembersih tangan, menjadi bekal.
Tebaran poster dan video ucapan berlebaran pada intinya sebagai perayaan kegembiraan karena umat Islam telah berpuasa Ramadhan, mengendalikan hawa nafsu, dan kembali kepada jati diri, yakni kesucian.
Kemenangan yang dirayakan melalui Idul Fitri tahun ini boleh dikatakan sebagai menang berarti di tengah pandemi global dengan segala macam dampaknya.
Menteri Agama Fachrul Razi mengemukakan perayaan Lebaran sebagai ungkapan kemenangan melawan hawa nafsu untuk selanjutnya setiap orang memberikan manfaat kepada sesama.
"Semoga kita tergolong orang-orang yang kembali kepada jati diri kemanusiaan kita, menang mengendalikan hawa nafsu dan memberikan manfaat kepada sesama," katanya
Kemenangan secara fisik yang mungkin paling terasa sebagaimana diperoleh para pasien yang sembuh dari infeksi virus. Kemenangan serupa juga menjadi kegembiraan para tenaga medis ketika melepas pasien sembuh untuk keluar tempat perawatan, ruang isolasi, dan rumah sakit.
Hal demikian, juga kepada mereka yang menjalani karantina mandiri selama 14 hari atau lebih, baik di rumah sendiri secara mandiri maupun di berbagai tempat yang disediakan pemerinah.
Ketika mereka dinyatakan sebagai negatif COVID-19, itulah kemenangan berolah diri dari paparan virus.
Ibaratnya bahtera lolos dari badai, sebagaimana salah satu poster viral menggambarkan sejumlah kapal terombang-ambing badai besar, dengan teks "We are not all in the same boat" dan "We are all in the same storm" (Kita tidak di kapal yang sama. Kita di badai yang sama".
Perayaan Idul Fitri sebagai ungkapan kemenangan melawan hawa nafsu menjadi bernilai penting untuk mengapitalisasi semangat menghadapi badai COVID-19.
Pandemi menjadi ancaman menakutkan manusia bukan hanya soal serangan penyakitnya. Setiap hari, melalui telepon pintar dan berbagai media setiap orang beroleh informasi tentang data terkini soal jumlah pasien, korban meninggal dunia, dan terpapar.
Setiap hari pemerintah menginformasikan perkembangan penanganan pasien, pencegahan, dan penguburan bagi mereka yang meninggal dunia karena virus.
Baca juga: Rapalan peronda di tengah pandemi COVID-19
Kuat
Soal spiritualitas hidup, Ki Ageng Suryomentaram (1892-1962) mengemukakan sebagai hal yang tidak perlu dikhawatirkan karena selalu kuat, tidak ada yang menginginkan karena pasti "kelakon" (terlaksana).
Barangkali tidak mudah memahami pandangan Ki Ageng itu. Untuk memahaminya, mungkin butuh pengaduk-adukan kecerdasan intelektual, kedalaman spiritualitas, ketenangan refleksi, serta kebebasan berimajinasi dan improvisasi.
"'Gesang punika isinipun namung karep, asalipun inggih saking karep. Wategipun mungkret-mulur, njalari raosing gesang punika namung gek bungah, gek susah'," begitu buku jilid 3 "Kawruh Jiwa, Wejanganipun Ki Ageng Suryomentaram" dihimpun Grangsang Suryomentaram.
Kira-kira terjemahannya bahwa kehendak menjadi isi hidup dan kehendak sebagai asal-muasal hidup. Karakter hidup yang lentur membuat perasaan terkadang gembira dan kadang susah.
Serangan virus corona bukan hanya ancaman perasaan hidup-mati, tetapi juga bermultidampak bagi kehidupan manusia global. Tradisi budaya masyarakat dan cara beribadah umat berbagai agama pun terdampak.
Hingga pertengahan tahun ini, setidaknya Umat Hindu merasakan dampak pandemi, saat merayakan Nyepi (25 Maret 2020), umat Kristen-Katolik saat Pekan Suci Paskah (5-12 April), dan umat Buddha saat Waisak (7 Mei).
Kali ini, umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia sungguh-sungguh bersiasat secara baik dalam merayakan Idul Fitri (24-25 Mei) di tengah penularan virus mematikan yang masih terus mencari inang.
Pada Lebaran kali ini, warga dan terutama umat Islam menang karena mampu melawan keinginan mudik untuk mencegah penyebaran COVID-19. Mereka yang telanjur mudik juga menang karena mampu menjalani karantina terlebih dahulu.
Yang tetap di rumah, tidak keluar kota, atau selama ini disiplin bekerja dari rumah, meraih kemenangan karena mengalihwujudkan halalbilalal melalui layanan virtual.
Begitu pula para tenaga medis beroleh kemenangan karena tetap tulus dan profesional menjalankan misi kemanusiaan di garis terdepan perang melawan virus, berupa pelayanan terbaik terhadap pasien COVID-19.
Bahkan, setiap orang pun, dengan segala kategori dari tanpa gejala ('carrrier' atau pembawa) hingga positif COVID-19, juga menang karena berhasil bertahan dari badai pandemi dan sekaligus berlebaran dengan cara dan situasi masing-masing.
Lebaran kali ini menjadi peristiwa istimewa setiap orang untuk mengungkapkan syukur dan kemenangan.
Saling mengirim poster dan video ucapan Idul Fitri sebagai berbagi berkabar atas spirit kemenangan itu, lalu ditranformasi menjadi kekuatan bersama, untuk bertahan dan menghadapi kehidupan ke depan. Melangkah di tengah pandemi.
Ketua Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Supadi Haryanto merayakan kemenangan Idul Fitri dengan mengirim serantang makanan kepada sahabatnya di kawasan Secang.
Isi kiriman dari tempat tinggalnya di kawasan Gunung Andong itu, antara lain ketupat, serundeng daging sapi, daging ayam ungkep, sambel goreng kerecek, dan tumis telur-lombok hijau.
Kiriman itu sebagai balasan yang diterima sehari sebelum Lebaran, berupa bingkisan berisi, minyak goreng, sirup, gula pasir, teh celup, tepung terigu, dan roti dalam kemasan kaleng.
Di tengah pandemi melewati Idul Fitri tahun ini, mereka menang dalam mempertahankan persaudaraan, menghidupi semangat kekeluargaan, dan tetap bersilaturahim.
Tebaran ucapan kemenangan pada Idul Fitri di telepon pintar, terasa sebagai ungkapan manusia berkehendak menjalani hidup ke depan.
Begitulah Idul Fitri tahun ini, kiranya ia mengumpulkan tekad bersama manusia untuk hidup di tengah badai pandemi.
Baca juga: Runtuhkan ego agar pandemi jadi jalan kehidupan normal baru
Baca juga: Presiden tegaskan pemerintah tak larang warga ibadah selama pandemi