Semarang (ANTARA) - Awal Januari 2020 yang dibuka dengan hujan dan banjir di mana-mana dan telah banyak menelan korban jiwa, diklaim oleh BMKG bukanlah puncak musim hujan, karena baru akan terjadi pada Februari dan Maret.
BMKG mencatat curah hujan awal tahun 2020 itu "sangat ekstrem." Bahkan curah hujan pada 1 Januari kemarin jadi yang tertinggi sejak 24 tahun terakhir. Dengan demikian, mungkin pada Februari dan Maret curah hujan lebih tinggi dari itu.
Banjir yang terjadi sejak Rabu (1/1) menjadi pukulan telak bagi sebagian warga Jabodetabek dan Banten. Transportasi umum sempat lumpuh, akses jalan tergenang, listrik padam, dan kerugian material ada di mana-mana.
Dari data terakhir yang dihimpun BNPB per 4 Januari 2020, banjir kali ini merendam 308 kelurahan dengan ketinggian air maksimum mencapai enam meter. Sementara korban meninggal dunia mencapai 60 orang, dengan jumlah pengungsi 92.621 jiwa yang tersebar di 189 titik pengungsian.
Sementara ancaman bencana banjir dan longsor masih terus menghantui, karena BMKG memprakirakan sebelum memasuki puncak musim hujan pada Februari dan Maret, selama sepekan ke depan potensi cuaca ekstrem juga terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
Ini tentunya menjadi peringatan bagi kita semua untuk selalu tetap waspada, meski pihak BMKG akan berupaya semaksimal mungkin memberikan informasi kepada masyarakat lewat early warning sistem.
Masyarakat juga bisa menggunakan ilmu kearifan lokal untuk menghadapi kemungkinan terjadinya bencana di lingkungan masing-masing, seperti saat satu jam hujan deras maka warga harus bersiap-siap.
Tentu kita semua berharap banjir tidak berakibat buruk. Mencari penyebab banjir di berbagai daerah di Indonesia tak terlalu sulit. Sangat banyak penelitian akademis yang menyampaikan akar permasalahan banjir dengan berbagai pandangan kepada para pembuat kebijakan di negeri ini.
Baca juga: UNS tekankan pentingnya sistem peringatan dini banjir
Sayangnya, sekali pun sudah jelas, langkah-langkah yang diambil pemerintah di berbagai level cenderung tidak sepenuh tenaga. Ada beberapa masalah utama yang berperan besar dalam menyebabkan banjir, seperti hilangnya daerah penyerapan air, menyempitnya sungai, dan polusi di sungai.
Bisa dikatakan bahwa negara ini sangat akrab dengan bencana banjir. Namun, dari tahun ke tahun kita dipertontonkan situasi pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota yang masih saja tergagap-gagap ketika terjadi bencana banjir.
Padahal untuk menjaga agar tak selalu banjir, tentunya masalah utama yang berperan besar menyebabkan banjir harus ditangani mulai normalisasi saluran air lingkungan, pengerukan kali, dan normalisasi daerah aliran sungai, menyadarkan masyarakat tidak buang sampah ke saluran air lingkungan maupun sungai, hingga meningkatkan kesiagaan terhadap bencana banjir.
Kita berharap berbagai upaya yang dilakukan pemerintah mulai dari pemetaan daerah rawan bencana hingga mitigasi bencana, termasuk peran serta masyarakat sebagai penjaga lingkungan bisa mengeliminasi jumlah korban yang terdampak.
Karena bencana tidak mungkin ditolak, namun mengantisipasi selalu bisa dilakukan karena setiap tahun selalu datang.
Baca juga: Jateng kirim bantuan untuk korban banjir di tiga provinsi
Baca juga: 100 sukarelawan Jateng diberangkatkan bantu tangani pascabanjir Jakarta-Jabar
Baca juga: Giliran Pekalongan, Ganjar kembali cek rumah pompa untuk antisipasi banjir