Solo (ANTARA) - Aliansi Indonesia Damai (Aida), lembaga pendampingan para korban terorisme di Indonesia terus mengampanyekan perdamaian dengan mempertemukan antara korban dan mantan narapidana terorisme di Kota Solo.
"Ada dua narasi penting yang disampaikan, baik oleh korban maupun mantan narapidana terorisme, sebagai edukasi kampanye perdamaian untuk publik," kata Direktur Aida Hasibullah Satrawi di sela acara kegiatan Short Course Penguatan Persepktif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme 2019 di Hotel The Royal Haritage Solo, Minggu.
Kursus pendek penguatan perspektif korban dalam peliputan isu terorisme ini diikuti puluhan jurnalis Solo Raya. Kursus berlangsung selama 2 hari, mulai Sabtu (7/12) hingga Minggu.
Pada acara tersebut, Aida menghadirkan narasumber mantan narapidana terorisme Ali Fauzi Manzi atau adik kandung dari Ali Gufron dan Amrozi asal Jombang, Jawa Timur, dan Rini Agustina, keluarga salah satu korban bom di depan Kedubes Australia, Jakarta, 2004.
Baca juga: AIDA dorong Polri bekerja Maksimal Usut Tuntas Bom Samarinda
Hasibullah Satrawi menyebutkan ada dua narasi penting sebagai edukasi kampanye perdamaian untuk masyarakat, antara lain dari mantan narapidana terorisme Ali Fauzi Manzi menyampaikan, "Jangan pernah membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan, dan tidak ada orang yang tidak punya masa lalu, serta tidak ada orang yang tidak pernah punya dosa."
Seluruh manusia adalah pendosa. Akan tetapi, sebaik-baiknya pendosa adalah mereka yang mengakui kesalahan dan memperbaiknya.
Ia melanjutkan, "Jangan suka menghakimi para pendosa, apalagi keluarganya, karena mereka masih mempunyai harapan jika mau berbagi, berempati, mendorong untuk melakukan perubahan. Aida memilih titik harapan dibanding penghakiman."
"Kami mendorong siapa pun yang mau berubah dan kami fasilitasi untuk bersama-sama menjadi gerakan Indonesia lebih damai," katanya
Selain itu, kata dia, narasi dari para korban dalam aksi perdamaian yang menyampaikan agar tidak membalas kekerasan dengan kekerasan.
Ia menyebut bangsa ini mengalami kekerasan akut secara historis.
Menurut dia, dari korban perlu dikembangkan jangan pernah berpikir kekerasan bisa selesai dengan kekerasan. Jika butuh jiwa kasih sayang dan pemaafan itu, yang menggelora dari para korban.
"Tidak ada orang yang tidak pernah terpuruk, tidak ada orang yang tidak pernah menangis, tidak ada orang tidak pernah gagal. Semua bisa diubah menjadi sebuah harapan dan senyuman bagi sebanyak-banyaknya manusia," katanya.
Selain itu, Aida mengucapkan terima kasih kepada pemerintah yang telah memberikan hak-hak korban dengan segala keterbatasan yang ada.
Baca juga: BNPT: Deradikalisasi Perlu Diterapkan pada Napi Teroris
Pihaknya mendorong kementerian atau lembaga terkait untuk makin memenuhi hak-hak korban terorisme sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Selain itu, meminta pemerintah untuk segera menerbitkan peraturan pemerintah terkait dengan hak-hak korban dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 sebagai aturan turunan untuk memberikan kompensasi bagi korban terorisme.
Hal lainnya, lanjut dia, memberikan kompensasi kepada korban yang tidak menggugurkan hak-hak lain di luar kompensasi karena hak-hak korban pada prinsipnya berdiri sendiri.
"Kami mendorong pemenuhan hak-hak korban terorisme didasarkan atas asas keadilan dan kesejahteraan. Kami mengimbau masyarakat untuk mewaspadai ancaman-ancaman kekerasan, termasuk terorisme. Kami mengimbau masyarakat untuk mengedepankan perdamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," katanya.
Pada acara tersebut pihaknya juga menghadirkan sejumlah narasumber lainnya, seperti Solohudin dari Universitas Indonesia (UI) yang menyamaikan materinya soal Memahami Jaringan dan Startegi Media Kelompok Terorisme, Hanif Suranto dari Universitas Multimedia Nusantara menyampaikan materi berjudul Realitas Media dalam Peliputan Isu Terorism, dan Nezar Patria (Dewan Pers) soal Pedoman Peliputan Isu Terorsime.
Baca juga: Kepala BNPT: Penanganan Korban Terorisme jadi Fokus RUU Anti-Terorisme
Baca juga: LSM Nilai Pemenuhan Hak Korban Terorisme Masih Lemah