Jakarta (ANTARA) - Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) KH Sholahudin Wahid berpendapat tidak perlu ada istilah NKRI bersyariah karena syariat Islam tetap jalan di Indonesia tanpa ada rumusan yang dihasilkan oleh Ijtima Ulama IV.
"Syariat Islam jalan kok di Indonesia tanpa rumusan NKRI bersyariah. Tanpa istilah syariah, syariat Islam jalan jadi tidak perlu ada istilah itu," kata KH Sholahudin usai acara silaturahim dan dialog tokoh bangsa di Jakarta, Senin.
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, yang akrab disapa Gus Solah itu menjelaskan dulu Undang-undang Dasar (UUD) 1945 mengandung kata syariah yakni "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Tapi, lanjut dia, tujuh kata itu dicoret menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga sekarang tidak ada lagi istilah NKRI bersyariah.
"Tidak ada istilah NKRI bersyariah bukan berarti kita anti syariah Islam, tidak. Di tataran undang-undang dasar tidak ada bersyariah, tapi di tataran undang-undang boleh monggo, tidak ada masalah," tuturnya.
Baca juga: Gus Sholah: Hari Santri Jangan Upacara Saja
Menurut Gus Solah, NKRI saja sudah cukup karena sudah cukup banyak syariat Islam baik yang universal maupun yang khusus masuk dalam undang-undang.
Ia mencotohkan adanya pengadilan agama, undang-undang perkawinan, undang-undang zakat, dan masih banyak lainnya.
"Ini baru partikular (khusus), kalau yang universal banyak sekali," ujarnya.
Adik dari almarhum Gus Dur ini mengatakan tidak perlu lagi ada istilah NKRI bersyariah karena dalam pengertian undang-undang dasar sudah tidak ada lagi. Tapi kalau hanya ingin menyebutkan saja, dipersilakan, karena tidak ada artinya.
Dan, lanjut dia, apa yang disampaikan olah Ustadz Yusuf Martak dalam wawancaranya di televisi sama dengan pengertian yang dipahami saat ini.
"Ternyata wawancara Ustadz Yusuf Martak di televisi ya sama dengan pengertian kita gitu loh. Jadi tambahan kata bersyariah itu tidak mengandung makna apa-apa," ujarnya.
Gus Solah menambahkan tidak ada bedanya antara pemahaman masyarakat sekarang terhadap NKRI dengan pemahaman Ijtima Ulama IV tersebut sehingga tidak perlu ada rumusan NKRI bersyariah, karena NKRI sudah mengandung syariah Islam.
Baca juga: Gus Sholah: Pesantren Pembentuk Patriotisme Indonesia
"Kita bukan negara agama, kita bukan negara Islam, tapi kita memberikan kesempatan yang luas untuk menjalankan syariat Islam," ucap Gus Solah.
Acara Silaturahim dan Dialog tokoh bangsa dan tokoh agama yang digelar Kemhan RI dan Forum Rekat Anak Bangsa, dihadiri oleh Wakil Presiden Ke-6 RI Try Sutrisno, Rachmawati Soekarnoputri, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Salahuddin Wahid (Gus Solah), serta sejumlah ulama dan para pejabat Kemhan.
Sementara itu, Ijtima Ulama IV dihasilkan, Senin (5/8) dalam pertemuan di Lorin Hotel Sentul, Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Terdapat delapan butir kesepakatan antar ulama yang hadir.
Dari berbagai pertimbangan para ulama yang hadir, Ijtima Ulama IV memutuskan:
1. Menolak kekuasaan yang zalim serta mengambil jarak dengan kekuasaan tersebut.
2. Menolak putusan hukum yang tidak sesuai prinsip keadilan.
3. Mengajak umat berjuang dan memperjuangkan:
3.1. Penegakan hukum terhadap penodaan agama, sesuai amanat undang-undang.
3.2. Mencegah bangkitnya ideologi marksisme, komunisme dalam bentuk apapun.
3.3. Menolak segala perwujudan kapitalisme dan liberalisme seperti penjualan aset negara kepada asing maupun aseng.
3.4. Pembentukan tim investigasi tragedi pemilu 2019.
3.5. Menghentikan agenda pembubaran ormas islam dan stop kriminalisasi ulama. Serta memulangkan Habib Rizieq Shihab tanpa syarat apapun.
3.6. Mewujudkan NKRI yang syariah dengan prinsip ayat suci di atas ayat konstitusi.
4. Perlunya ijtima ulama dilembagakan sebagai wadah musyawarah antara habaib dan ulama serta tokoh untuk terus menjaga kemaslahatan agama, bangsa dan negara.
5.Perlunya dibangun kerjasama antara ormas Islam dan politik.
6. Menyerukan kepada segenap umat Islam untuk mengonversi simpanan dalam bentuk logam mulia.
7. Membangun sistem kaderisasi sebagai upaya melahirkan generasi Islam yang tangguh dan berkualitas.
8. Memberikan perhatian secara khusus terhadap isu dan masalah substansial tentang perempuan, anak dan keluarga melalui berbagai kebijakan dan regulasi yang tidak bertentangan dengan agama dan budaya.