Meredam perundungan dari ekses debat capres
Debat calon presiden selalu mewariskan keriuhan yang lebih intens dan panjang di luar panggung setelah pentas politik itu berlalu.
Media, terutama televisi dan media sosial, dengan menghadirkan tokoh-tokoh vokal kedua kubu melanjutkan pertarungan gagasan dan pernyataan yang polemis dan lebih seru dibanding di panggung debat yang disiarkan oleh sejumlah televisi itu.
Begitu pula debat capres yang berlangsung pada 17 Februari 2019. Sesaat setelah tayangan langsung di televisi usai, pendukung kedua kubu seperti "bedol desa" ke media sosial untuk melanjutkan pertarungan opini, adu data, hingga merangkai cuplikan video.
Tujuannya hanya satu, untuk membela capres idola atau menyerang kubu seteru.
Isu terpanas yang "gorengannya" juga belum juga tuntas adalah perdebatan panjang jalan desa sepanjang 191.000 kilometer yang dibangun pemerintahan Jokowi.
Bahan panas lain adalah penguasaan lahan Prabowo Subianto yang mencapai ratusan ribu hektare. Dari dua isu itu saja melahirkan polemik yang melibatkan para menteri dan petinggi partai kedua pendukung.
Bahkan penyebutan aset penguasaan hutan Prabowo tersebut berbuah pelaporan ke Bawaslu karena dituding menyerang pribadi capres Nomor Urut 02 tersebut.
Sampai kapan pergulatan kata-kata itu akan berakhir? Entahlah. Sepanjang kecebong dan kampret masih terus ada, sepanjang masa itulah perseteruan terus berlangsung.
Di jagat digital, pertarungan itu menghadirkan balatentara berjuluk kecebong untuk menyebut pendukung pasangan Capres dan Cawapres Nomor Urut 01 dan kampret untuk melabeli kubu pembela Capres-Cawapres Nomor Urut 02.
Bagi pendukung fanatik dari dua kubu itu, apa pun yang disampaikan oleh capres dan cawapres dalam debat, hal itu tidak bakal menggoyahkan pilihannya. Jumlah pemilih loyal seperti itu amat banyak.
Kemampuan orasi, menyuguhkan data akurat, memainkan gestur, hingga memamerkan prestasi menjadi penguat sekaligus kebanggaan bagi para pendukungnya.
Pun kesalahan calon idolanya tidak serta-merta mendorong pemilih fanatik tersebut mengalihkan dukungan.
Sebaliknya, kesalahan -- apalagi fatal-- akan menjadi santapan empuk oleh kubu sebelah untuk "digoreng" hingga gosong di berbagai platform media.
Hasil debat capres pada 17 Februari 2019 memberi bukti betapa ajang tersebut tak lebih dari sekadar etalase untuk menjual berbagai isu di media lain.
Dalam kondisi pemilih yang sudah terbelah sedemikian rupa, tampak makin menguat kecenderungan pemilih untuk mengafirmasi segala informasi yang sejalan dengan pilihan politik atau capres-cawapres idolanya.
Oleh karena itu, mereka cenderung menafikan informasi yang tidak sesuai dengan preferensi politiknya kendati itu fakta dan masuk akal.
Sebaliknya, mereka membenarkan informasi dari pihak sekubu meski kebenarannya masih harus diverifikasi.
Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Fitri Hari dalam sigi mutakhirnya menyebutkan persentase undecided voters berkisar 14,6 persen. Jadi, di luar persentase golput, berarti jumlah pemilih loyal berkisar 85,4 persen yang terbagi dalam dua kubu capres.
Berbeda dengan golput yang sadar tidak akan menggunakan hak pilihnya dengan beragam alasannya, pemilih undecided voters ini baru akan memutuskan ketika memasuki bilik suara.
Bisa jadi pilihannya berdasarkan pertimbangan setelah menyaksikan setiap episode debat, bisa pula karena alasan lain berdasarkan feeling saja, misalnya. Apa pun pertimbangannya, pilihannya tetap sah.
Melihat besarnya angka yang sudah memutuskan pilihan capres-cawapres, bisa dibilang debat capres hanya "melayani" sekitar 15 persen persen dari sekitar 192 juta pemilih yang akan menggunakan hak pada Pemilu 2019 namun belum memutuskan akan memilih siapa.
Oleh karena itu, dengan agak sinikal, pakar hukum tata negara Prof. Mohammad Mahfud MD menilai debat calon presiden dan calon wakil presiden lebih banyak aspek hiburannya karena pilihan orang sebenarnya hampir final.
Perundungan
Kontestasi politik sejatinya juga pertarungan mengemas sosok yang akan dijual kepada publik. Oleh karena itu, segala sisi harus digarap sesempurna mungkin, agar tidak ada celah yang bisa dimanipulasi lawan.
Begitu pula dalam kontes politik bernama debat capres. Tim sukses tidak hanya memoles kelebihannya, kadang sisi buram kontestan lain juga dibidik celanya.
Akan tetapi, tanpa bantuan layar proyektor atau teleprompter, tidak mudah bagi seseorang dengan usia di atas 50 tahun untuk mengingat begitu banyak data dan angka.
Kesalahan menyebut angka bisa berubah fatal dan menjadi amunisi untuk melakukan perundungan (bullying) tak berkesudahan.
Meski debat capres rentan menjadi pemicu polemik dan perundungan, pentas terbuka yang disiarkan sejumlah stasiun televisi dan disaksikan ratusan juta pemirsa tersebut tetap relevan biar rakyat tahu kapasitas calon pemimpinnya.
Pentas tersebut juga merupakan kelaziman di negara demokrasi dengan segala plus-minusnya.
Oleh karena itu, meski hanya melayani sekitar 15 persen undecided voters, debat capres tetap penting karena ajang tersebut menjadi etalase hidup dari praktik demokrasi yang menghadirkan politikus puncak di negeri ini.
Kendati demikian, agar debat capres dan momentum sesudahnya tidak berkembang liar, terutama melalui saluran media sosial, alangkah baiknya masing-masing kontestan diberi akses menyajikan data dari lembaga independen, misalkan dari Badan Pusat Statistik atau institusi swasta yang dikenal memiliki reputasi terpuji dalam penyajian data.
Tidak ada yang salah dengan menggunakan bantuan alat untuk menyajikan data guna memperkuat argumen dan ide besarnya.
Penyajian data di layar tersebut bisa mengurangi salah kutip angka, yang selama ini terbukti selalu memicu perundungan di luar panggung debat.
Jangan terlalu risaukan gurauan Rocky Gerung yang menyindir pengguna aplikasi Power Point sebagai orang yang tidak punya power dan point.
Toh, ketika mengambil kebijakan, pemimpin selalu membutuhkan dukungan data akurat, bukan berdasarkan fakta dan angka yang diingat saja. ***
Media, terutama televisi dan media sosial, dengan menghadirkan tokoh-tokoh vokal kedua kubu melanjutkan pertarungan gagasan dan pernyataan yang polemis dan lebih seru dibanding di panggung debat yang disiarkan oleh sejumlah televisi itu.
Begitu pula debat capres yang berlangsung pada 17 Februari 2019. Sesaat setelah tayangan langsung di televisi usai, pendukung kedua kubu seperti "bedol desa" ke media sosial untuk melanjutkan pertarungan opini, adu data, hingga merangkai cuplikan video.
Tujuannya hanya satu, untuk membela capres idola atau menyerang kubu seteru.
Isu terpanas yang "gorengannya" juga belum juga tuntas adalah perdebatan panjang jalan desa sepanjang 191.000 kilometer yang dibangun pemerintahan Jokowi.
Bahan panas lain adalah penguasaan lahan Prabowo Subianto yang mencapai ratusan ribu hektare. Dari dua isu itu saja melahirkan polemik yang melibatkan para menteri dan petinggi partai kedua pendukung.
Bahkan penyebutan aset penguasaan hutan Prabowo tersebut berbuah pelaporan ke Bawaslu karena dituding menyerang pribadi capres Nomor Urut 02 tersebut.
Sampai kapan pergulatan kata-kata itu akan berakhir? Entahlah. Sepanjang kecebong dan kampret masih terus ada, sepanjang masa itulah perseteruan terus berlangsung.
Di jagat digital, pertarungan itu menghadirkan balatentara berjuluk kecebong untuk menyebut pendukung pasangan Capres dan Cawapres Nomor Urut 01 dan kampret untuk melabeli kubu pembela Capres-Cawapres Nomor Urut 02.
Bagi pendukung fanatik dari dua kubu itu, apa pun yang disampaikan oleh capres dan cawapres dalam debat, hal itu tidak bakal menggoyahkan pilihannya. Jumlah pemilih loyal seperti itu amat banyak.
Kemampuan orasi, menyuguhkan data akurat, memainkan gestur, hingga memamerkan prestasi menjadi penguat sekaligus kebanggaan bagi para pendukungnya.
Pun kesalahan calon idolanya tidak serta-merta mendorong pemilih fanatik tersebut mengalihkan dukungan.
Sebaliknya, kesalahan -- apalagi fatal-- akan menjadi santapan empuk oleh kubu sebelah untuk "digoreng" hingga gosong di berbagai platform media.
Hasil debat capres pada 17 Februari 2019 memberi bukti betapa ajang tersebut tak lebih dari sekadar etalase untuk menjual berbagai isu di media lain.
Dalam kondisi pemilih yang sudah terbelah sedemikian rupa, tampak makin menguat kecenderungan pemilih untuk mengafirmasi segala informasi yang sejalan dengan pilihan politik atau capres-cawapres idolanya.
Oleh karena itu, mereka cenderung menafikan informasi yang tidak sesuai dengan preferensi politiknya kendati itu fakta dan masuk akal.
Sebaliknya, mereka membenarkan informasi dari pihak sekubu meski kebenarannya masih harus diverifikasi.
Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Fitri Hari dalam sigi mutakhirnya menyebutkan persentase undecided voters berkisar 14,6 persen. Jadi, di luar persentase golput, berarti jumlah pemilih loyal berkisar 85,4 persen yang terbagi dalam dua kubu capres.
Berbeda dengan golput yang sadar tidak akan menggunakan hak pilihnya dengan beragam alasannya, pemilih undecided voters ini baru akan memutuskan ketika memasuki bilik suara.
Bisa jadi pilihannya berdasarkan pertimbangan setelah menyaksikan setiap episode debat, bisa pula karena alasan lain berdasarkan feeling saja, misalnya. Apa pun pertimbangannya, pilihannya tetap sah.
Melihat besarnya angka yang sudah memutuskan pilihan capres-cawapres, bisa dibilang debat capres hanya "melayani" sekitar 15 persen persen dari sekitar 192 juta pemilih yang akan menggunakan hak pada Pemilu 2019 namun belum memutuskan akan memilih siapa.
Oleh karena itu, dengan agak sinikal, pakar hukum tata negara Prof. Mohammad Mahfud MD menilai debat calon presiden dan calon wakil presiden lebih banyak aspek hiburannya karena pilihan orang sebenarnya hampir final.
Perundungan
Kontestasi politik sejatinya juga pertarungan mengemas sosok yang akan dijual kepada publik. Oleh karena itu, segala sisi harus digarap sesempurna mungkin, agar tidak ada celah yang bisa dimanipulasi lawan.
Begitu pula dalam kontes politik bernama debat capres. Tim sukses tidak hanya memoles kelebihannya, kadang sisi buram kontestan lain juga dibidik celanya.
Akan tetapi, tanpa bantuan layar proyektor atau teleprompter, tidak mudah bagi seseorang dengan usia di atas 50 tahun untuk mengingat begitu banyak data dan angka.
Kesalahan menyebut angka bisa berubah fatal dan menjadi amunisi untuk melakukan perundungan (bullying) tak berkesudahan.
Meski debat capres rentan menjadi pemicu polemik dan perundungan, pentas terbuka yang disiarkan sejumlah stasiun televisi dan disaksikan ratusan juta pemirsa tersebut tetap relevan biar rakyat tahu kapasitas calon pemimpinnya.
Pentas tersebut juga merupakan kelaziman di negara demokrasi dengan segala plus-minusnya.
Oleh karena itu, meski hanya melayani sekitar 15 persen undecided voters, debat capres tetap penting karena ajang tersebut menjadi etalase hidup dari praktik demokrasi yang menghadirkan politikus puncak di negeri ini.
Kendati demikian, agar debat capres dan momentum sesudahnya tidak berkembang liar, terutama melalui saluran media sosial, alangkah baiknya masing-masing kontestan diberi akses menyajikan data dari lembaga independen, misalkan dari Badan Pusat Statistik atau institusi swasta yang dikenal memiliki reputasi terpuji dalam penyajian data.
Tidak ada yang salah dengan menggunakan bantuan alat untuk menyajikan data guna memperkuat argumen dan ide besarnya.
Penyajian data di layar tersebut bisa mengurangi salah kutip angka, yang selama ini terbukti selalu memicu perundungan di luar panggung debat.
Jangan terlalu risaukan gurauan Rocky Gerung yang menyindir pengguna aplikasi Power Point sebagai orang yang tidak punya power dan point.
Toh, ketika mengambil kebijakan, pemimpin selalu membutuhkan dukungan data akurat, bukan berdasarkan fakta dan angka yang diingat saja. ***