Memelihara Modal Sosial
Kegaduhan di negeri ini seolah tak kunjung reda pasca-Pemilihan Presiden 2014. Pilpres ini memang masih menyisakan luka. Luka ini belum mengering benar, namun kembali terbuka dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 dan sesudahnya. Dua kubu besar yang berseteru relatif sama bila dirunut dari basis partai politik maupun ormas.
Banyak orang akhirnya berurusan dengan hukum. Kedua pendukung saling melaporkan. Bisa jadi bukan demi tegaknya hukum semata, melainkan lebih untuk mematikan rival, memuaskan nafsu angkara murka "senang melihat musuh sedih".
Ketika penggunaan media sosial makin masif, sayangnya aplikasi ini tidak selalu merekatkan ikatan sosial. Yang terjadi belakangan malah menjadi media untuk mempertajam batas keakuan (ego) dengan liyan (others). Menengok perang status (twitwar), misalnya, sudah mencaci, bahkan mengancam.
Yang lebih menyedihkan, "twitwar" tersebut melibatkan banyak orang pintar, termasuk dari kalangan perguruan tinggi, ormas keagamaan, dan pendukung politikus, dan partai politik. Sudah banyak orang tersandung hukum gara-gara mengunggah konten/tulisan bermasalah.
Terakhir taipan media Hary Tanoesoedibjo yang ditetapkan status tersangka oleh Kejaksaan Agung gara-gara ancamannya melalui pesan singkat kepada Kepala Subdirektorat Penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Yulianto.
Dari sejumlah kasus, ada benang merah atas fenomena mengerasnya sikap saling melumpuhkan. Mungkin terdengar sadis. Namun, faktanya memang seperti itu. Peristiwa Pilkada DKI Jakarta beserta eksesnya, kiranya menjadi contoh nyata atas menggejalanya komunitas yang terbelah.
Seolah sebuah komunitas bernama warga Jakarta tidak lagi memiliki ikatan yang menyatukan. Perbedaan-perbedaan yang dulu saling dipahami dan dimengerti seolah berubah menjadi pagar pembatas yang beku, tidak saling menyapa. Dalam kondisi apa pun, sebuah komunitas dan bangsa membutuhkan rasa saling percaya (trust) yang berbasis saling menghargai liyan.
Lebih jauh, pemikir Francis Fukuyama, menyebutkan pentingnya modal sosial dalam sebuah komunitas, dalam sebuah bangsa. Modal sosial merupakan serangkaian nilai dan norma informal yang dimiliki bersama di antara anggota kelompok yang memungkinkan terjadinya kerja sama. Tiga unsur utama dalam modal sosial adalah "trust" (kepercayaan), "reciprocal" (timbal balik), dan interaksi sosial.
Dalam pertarungan yang melibatkan anggota kelompok, tiga unsur modal sosial tersebut pada masanya tergerus. Gerusannya kian cepat bila pertarungan itu menyangkut sesuatu yang diyakini (ideologi) atau dalam perebutan pengelolaan sumber daya melalui jabatan-jabatan politik, seperti presiden, gubernur, atau bupati/wali kota.
Kita merasakan sekat itu masih ada. Gesekan itu masih terlihat. Pertarungan masih terjadi. Korban juga berjatuhan. Sejujurnya, terlalu banyak energi yang terbakar sia-sia tanpa kita tahu kapan kita bisa menyudahinya.
Setiap Idul Fitri kita diingatkan akan pentingnya kembali ke fitrah sebagai manusia. Manusia yang berinteraksi, yang sudi berbagi, dan saling percaya.
Selamat Idul Fitri 1438 Hijriah.
Banyak orang akhirnya berurusan dengan hukum. Kedua pendukung saling melaporkan. Bisa jadi bukan demi tegaknya hukum semata, melainkan lebih untuk mematikan rival, memuaskan nafsu angkara murka "senang melihat musuh sedih".
Ketika penggunaan media sosial makin masif, sayangnya aplikasi ini tidak selalu merekatkan ikatan sosial. Yang terjadi belakangan malah menjadi media untuk mempertajam batas keakuan (ego) dengan liyan (others). Menengok perang status (twitwar), misalnya, sudah mencaci, bahkan mengancam.
Yang lebih menyedihkan, "twitwar" tersebut melibatkan banyak orang pintar, termasuk dari kalangan perguruan tinggi, ormas keagamaan, dan pendukung politikus, dan partai politik. Sudah banyak orang tersandung hukum gara-gara mengunggah konten/tulisan bermasalah.
Terakhir taipan media Hary Tanoesoedibjo yang ditetapkan status tersangka oleh Kejaksaan Agung gara-gara ancamannya melalui pesan singkat kepada Kepala Subdirektorat Penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Yulianto.
Dari sejumlah kasus, ada benang merah atas fenomena mengerasnya sikap saling melumpuhkan. Mungkin terdengar sadis. Namun, faktanya memang seperti itu. Peristiwa Pilkada DKI Jakarta beserta eksesnya, kiranya menjadi contoh nyata atas menggejalanya komunitas yang terbelah.
Seolah sebuah komunitas bernama warga Jakarta tidak lagi memiliki ikatan yang menyatukan. Perbedaan-perbedaan yang dulu saling dipahami dan dimengerti seolah berubah menjadi pagar pembatas yang beku, tidak saling menyapa. Dalam kondisi apa pun, sebuah komunitas dan bangsa membutuhkan rasa saling percaya (trust) yang berbasis saling menghargai liyan.
Lebih jauh, pemikir Francis Fukuyama, menyebutkan pentingnya modal sosial dalam sebuah komunitas, dalam sebuah bangsa. Modal sosial merupakan serangkaian nilai dan norma informal yang dimiliki bersama di antara anggota kelompok yang memungkinkan terjadinya kerja sama. Tiga unsur utama dalam modal sosial adalah "trust" (kepercayaan), "reciprocal" (timbal balik), dan interaksi sosial.
Dalam pertarungan yang melibatkan anggota kelompok, tiga unsur modal sosial tersebut pada masanya tergerus. Gerusannya kian cepat bila pertarungan itu menyangkut sesuatu yang diyakini (ideologi) atau dalam perebutan pengelolaan sumber daya melalui jabatan-jabatan politik, seperti presiden, gubernur, atau bupati/wali kota.
Kita merasakan sekat itu masih ada. Gesekan itu masih terlihat. Pertarungan masih terjadi. Korban juga berjatuhan. Sejujurnya, terlalu banyak energi yang terbakar sia-sia tanpa kita tahu kapan kita bisa menyudahinya.
Setiap Idul Fitri kita diingatkan akan pentingnya kembali ke fitrah sebagai manusia. Manusia yang berinteraksi, yang sudi berbagi, dan saling percaya.
Selamat Idul Fitri 1438 Hijriah.