Jakarta Antara Jateng - Deputi Bidang Teknologi Energi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Taswanda Taryo mengatakan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang pertama kali di suatu negara penuh dengan nuansa politik.
"Hampir di semua negara, pemmbangunan PLTN yang pertama penuh dengan masalah politik. Baik itu di Korea maupun India," ujar Taswanda dalam konferensi pers di Jakarta, Senin.
Permasalahan politik yang dimaksud adalah tarik ulur jadi atau tidaknya pembangunan PLTN oleh berbagai pihak.
Dalam hal ini, lanjut dia, komitmen pemerintah akan pembangunan PLTN sangat penting.
"Di Korea Selatan misalnya, presidennya yang langsung turun tangan".
Pembangunan PLTN juga harus dilakukan dengan penuh komitmen karena menyangkut masalah keselamatan dan jaminan keamanan. Oleh sebab itu, jaminan pemerintah sangat penting.
"Kami sudah bertemu dengan Presiden Jokowi, dan beliau minta disiapkan peta jalan, rinciannya, dan berapa biayanya. Kami sedang menyiapkan itu," papar dia.
Beberapa persiapan yang dilakukan meliputi sumber daya manusia, penguasaan teknologi, lokasi, peta jalan, kajian dampak sosial, budaya, dan ekonomi, serta melakukan edukasi pada masyarakat.
Untuk pembangunan PLTN, dia menyebutkan membutuhkan dana sebesar Rp2 triliun ditambah Rp230 miliar untuk pendampingan atau jaga - jaga.
Pembangunan PLTN sangat diperlukan untuk menekan besarnya biaya energi yang selama ini sebagian besar adalah energi fosil.
Sepanjang rentang 2011 hingga 2013, Batan telah melakukan studi lokasi PLTN di Bangka Belitung dan dinyatakan layak sebagai lokasi pembangunan PLTN.
Berdasarkan hasil Rencana Umum Energi Nasional, nuklir menjadi pilihan terakhir. Hal itu mencakup langkah berikut yakni membangun reaktor daya riset dan laboratorium reaktor sebagai tempat ahli nuklir berekspresi, berinteraksi, dan berkarya serta memberikan dukungan untuk dilaksanakan riset terkait dan mendorong kerja sama internasional agar selalu mengikuti kemajuan teknologi.