Pungli di Jembatan Comal
Dalam pemeriksaan hari Selasa (12/8), seperti diungkapkan Kabid Humas Polda Jawa Tengah Kombes Liliek Darmanto, dari 10 anggota Satuan Lalu Lintas Polres Pemalang yang sebelumnya diduga terlibat pungli, tujuh dinyatakan terbukti, sedangkan tiga lainnya sebagai saksi.
Dalam kasus seperti ini, angka tujuh atau 10, agaknya, tidak lagi terlalu penting karena keduanya tetap menunjukkan jumlah yang banyak bagi sebuah institusi yang tugas utamanya melindungi dan menegakkan aturan.
Apa yang dilakukan oleh tujuh anggota Satlantas Polres Pemalang itu sungguh keterlaluan. Di tengah kesusahan dan penderitaan para pengemudi akibat kerusakan Jembatan Comal, ternyata ada yang tega memalak sopir yang muatannya melampaui 10 ton. Kendaraan lebih dari 10 ton memang dilarang melintasi jembatan yang rusak sejak Juli 2014, menjelang arus mudik Lebaran.
Modus pemalakan itu dengan melibatkan calo yang mencatat kendaraan-kendaraan dengan tonase lebih dari 10 ton. Oknum polisi akan membiarkan kendaraan berat ini melintas bila sebelumnya sudah menyetor uang pelicin kepada calo menjelang truk-truk mereka melintas di jembatan ini.
Dari calo inilah sebagian uang pungli mengalir ke aparat. Sungguh bukan uang kecil bila setiap yang melintas dikutip Rp100.000-Rp300.000 tergantung besar kecil kelebihan tonasenya. Melihat besar punglinya, itu jelas bukan sekadar mencari tambahan uang makan, melainkan mencari kekayaan dalam kesempitan banyak orang.
Ulah aparat tersebut sungguh keterlaluan. Di tengah kesulitan seperti itu, masih saja tega mencari keuntungan di tengah penderitaan orang banyak.
Seharusnya kehadiran aparat di lokasi bencana seperti itu adalah menolong dan mengayomi. Namun yang dilakukan para oknum polisi itu sungguh merongrong citra Polri yang di bawah Kapolri Jenderal Sutarman coba terus diperbaiki.
Perilaku tidak terpuji tersebut membuat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo ikut geram. Tidak sepantasnya di tengah bencana, aparat malah mengambil keuntungan pribadi dan mengancam keselamatan banyak orang. Kalau truk bertonase lebih dari 10 ton dibiarkan terus melintas di Jembatan Comal yang masih darurat tersebut, bisa jadi jembatan ini bakal ambrol.
Perilaku mereka seolah menunjukkan tidak ada jera untuk korupsi. Meskipun ribuan orang sudah dibui karena korupsi, terutama aparat negara, tetap saja mereka tidak jera untuk mengulang dan mengulang modus memperkaya diri dengan cara korupsi beserta derivatnya, seperti pungli, memeras, atau gratifikasi.
Agaknya, pepatah kuno bahwa "cukup adalah cukup" tidak pernah mampu menghentikan kenekatan untuk memperkaya diri dengan cara mencuri. Gaji beserta tunjangan aparat negara yang terus bertambah -- tampaknya -- tidak mampu mengubah perilaku korup seperti ditunjukkan oleh polisi di Jembatan Comal tersebut. Betapa kerusakan Jembatan Comal sudah membuat susah banyak orang. Juga merepotkan pemerintah.
Kerusakaan parah Jembatan Comal selama sebulan terakhir ini telah membuat banyak pengemudi menderita karena mereka terpaksa antre berkilo-kilometer panjanganya. Bagi kendaraan berat yang dilarang melintasi Jembatan Comal yang ada di jalur pantura, mereka dipaksa memutar lewat jalur selatan.
Bukan saja lebih jauh, kondisi medan jalannya juga lebih sulit karena berkelok dan naik turun. Akhirnya, waktu tempuh lebih lama dan biaya bahan bakar lebih banyak.
Kalau pemilik truk tidak menambah uang jalan, berarti tambahan biaya di perjalanan itu mengurangi uang saku anak dan uang dapur istri sopir. Kalau masih dipungli, apa yang tersisa dari uang jalan sopir untuk anak dan istri. ***
Dalam kasus seperti ini, angka tujuh atau 10, agaknya, tidak lagi terlalu penting karena keduanya tetap menunjukkan jumlah yang banyak bagi sebuah institusi yang tugas utamanya melindungi dan menegakkan aturan.
Apa yang dilakukan oleh tujuh anggota Satlantas Polres Pemalang itu sungguh keterlaluan. Di tengah kesusahan dan penderitaan para pengemudi akibat kerusakan Jembatan Comal, ternyata ada yang tega memalak sopir yang muatannya melampaui 10 ton. Kendaraan lebih dari 10 ton memang dilarang melintasi jembatan yang rusak sejak Juli 2014, menjelang arus mudik Lebaran.
Modus pemalakan itu dengan melibatkan calo yang mencatat kendaraan-kendaraan dengan tonase lebih dari 10 ton. Oknum polisi akan membiarkan kendaraan berat ini melintas bila sebelumnya sudah menyetor uang pelicin kepada calo menjelang truk-truk mereka melintas di jembatan ini.
Dari calo inilah sebagian uang pungli mengalir ke aparat. Sungguh bukan uang kecil bila setiap yang melintas dikutip Rp100.000-Rp300.000 tergantung besar kecil kelebihan tonasenya. Melihat besar punglinya, itu jelas bukan sekadar mencari tambahan uang makan, melainkan mencari kekayaan dalam kesempitan banyak orang.
Ulah aparat tersebut sungguh keterlaluan. Di tengah kesulitan seperti itu, masih saja tega mencari keuntungan di tengah penderitaan orang banyak.
Seharusnya kehadiran aparat di lokasi bencana seperti itu adalah menolong dan mengayomi. Namun yang dilakukan para oknum polisi itu sungguh merongrong citra Polri yang di bawah Kapolri Jenderal Sutarman coba terus diperbaiki.
Perilaku tidak terpuji tersebut membuat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo ikut geram. Tidak sepantasnya di tengah bencana, aparat malah mengambil keuntungan pribadi dan mengancam keselamatan banyak orang. Kalau truk bertonase lebih dari 10 ton dibiarkan terus melintas di Jembatan Comal yang masih darurat tersebut, bisa jadi jembatan ini bakal ambrol.
Perilaku mereka seolah menunjukkan tidak ada jera untuk korupsi. Meskipun ribuan orang sudah dibui karena korupsi, terutama aparat negara, tetap saja mereka tidak jera untuk mengulang dan mengulang modus memperkaya diri dengan cara korupsi beserta derivatnya, seperti pungli, memeras, atau gratifikasi.
Agaknya, pepatah kuno bahwa "cukup adalah cukup" tidak pernah mampu menghentikan kenekatan untuk memperkaya diri dengan cara mencuri. Gaji beserta tunjangan aparat negara yang terus bertambah -- tampaknya -- tidak mampu mengubah perilaku korup seperti ditunjukkan oleh polisi di Jembatan Comal tersebut. Betapa kerusakan Jembatan Comal sudah membuat susah banyak orang. Juga merepotkan pemerintah.
Kerusakaan parah Jembatan Comal selama sebulan terakhir ini telah membuat banyak pengemudi menderita karena mereka terpaksa antre berkilo-kilometer panjanganya. Bagi kendaraan berat yang dilarang melintasi Jembatan Comal yang ada di jalur pantura, mereka dipaksa memutar lewat jalur selatan.
Bukan saja lebih jauh, kondisi medan jalannya juga lebih sulit karena berkelok dan naik turun. Akhirnya, waktu tempuh lebih lama dan biaya bahan bakar lebih banyak.
Kalau pemilik truk tidak menambah uang jalan, berarti tambahan biaya di perjalanan itu mengurangi uang saku anak dan uang dapur istri sopir. Kalau masih dipungli, apa yang tersisa dari uang jalan sopir untuk anak dan istri. ***