Bagi penyebar gosip, SARA merupakan isu yang paling mudah dimainkan untuk membantai lawan dari sisi yang tidak ada kaitannya dengan kapabilitas, kapasitas, integritas, dan komitmen sebagai pejabat publik.
Akan tetapi, itulah yang terjadi sepanjang pra dan masa kampanye Pilpres 2014. Kedua capres Prabowo Subianto dan Joko Widodo sama-sama mengalami serangan bermuatan SARA, sedangkan untuk cawapres Hatta Rajasa dan Jusuf Kalla nyaris tidak mendapatkan serangan dari sisi ini.
Pada masa kampanye Pilpres 2014 ini pula sejumlah tokoh, akademisi, budayawan, rohaniwan, dan seniman terbelah dukungannya kepada pasangan capres. Di negara demokrasi, ini lumrah terjadi.
Persoalannya, dukungan kepada duet capres-cawapres itu kadang tidak lagi diberikan dengan kadar emosi yang terukur. Alih-alih menonjolkan sisi intelektualitas, mereka malah terseret ke dalam pusaran penyerangan.
Sulit dimengerti bagaimana nalar seorang Wimar Witoelar melalui akun Twitter-nya mem-posting gambar dengan tulisan sangat kasar yang menista orang dan sejumlah ormas Islam, termasuk Muhammadiyah, ormas moderat yang menegaskan dirinya netral dalam pilpres.
Wimar, yang mendukung Jokowi-Jusuf Kalla, melalui akunnya memang sudah minta maaf. Namun, insiden Wimar itu menunjukkan bahwa betapa seorang suporter capres yang terdidik dan berpengalaman sebagai "public relation" bisa terseret emosinya hanya untuk menyerang capres yang tidak dikehendakinya menang.
Kegaduhan juga terjadi ketika musikus Ahmad Dhani yang memberi dukungan kepada capres Prabowo Subianto mengenakan pakaian bergaya pasukan elit Nazi, SS. Salah kostum Dhani ini menjadi makanan empuk bagi pendukung Jokowi untuk menyerangnya, terutama melalui media sosial. Tentu saja serangannya bukan hanya melulu ke Dhani, melainkan melebar kepada Prabowo yang masih terus mendapat tudingan terlibat penculikan aktivis.
Kalangan intelektual kampus, budayawan, artis, wartawan, rohaniwan, dan tentu saja media juga terbelah. Pemandangan keterbelahan sekaligus pemihakan media paling jelas adalah dua stasiun televisi berita TVOne di kubu Prabowo dan MetroTV di kubu Jokowi.
Kedua pengelola stasiun televisi ini sama sekali tidak malu menunjukkan aurat pemihakannya kepada capres sekaligus melemahkan capres pesaingnya. Sebagai pengguna frekeuensi publik, seharusnya TVOne dan MetroTV bisa mengambil sikap netral dan independen. Namun semua orang tahu bahwa kedua stasiun televisi swasta itu dimiliku petinggi partai.
Sekarang ini, awam pun tahu bagaimana sebuah media -- apa pun bentuknya -- memilah dan memilih fakta atau peristiwa untuk dijadikan berita dengan tujuan menguntungkan si pemilik media. Bukan hanya kedua stasiun televisi itu saja. Sejumlah media ternama juga melakukan praktik serupa, memihak. Apa pun alasannya.
Pendudukan studio TVOne di Jakarta dan Yogyakarta merupakan bentuk kekecewaan akibat media tidak lagi berada di tengah (medium), tetapi sudah bergeser di pinggir kepentingan pemilik modal.
Suasana panas memang masih terasa di media konvensional, seperti televisi, radio, dan media cetak selama sebulan terakhir ini. Namun, suasana lebih panas jauh lebih terasa di media sosial, seperti Twitter, Facebook, blog, dan forum media online.
Selama 24 jam pemilik akun, baik anonim maupun asli, bisa mendukung buta capres idolanya, tapi bisa pula meledek, menyerang secara tulisan, bahkan mengancam pendukung capres lain. Hajatan Piala Dunia 2014 dan puasa Ramadhan ternyata belum mampu menjadi katarsis untuk meredam emosi. Suasanya memang memanas.
Tinggal empat hari lagi pilpres digelar. Kita tidak ingin hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada 9 Juli 2014 meninggalkan derita.
Tak perlu tunggu masa tenang tiba. Sekarang juga kita ademkan hati demi Indonesia yang damai. Terlalu lama dan mahal bila kita sampai terluka.***