"Makin memburuknya situasi di Mesir harus dihentikan. Pemerintah sementara Mesir harus segera mengajukan 'peace plan' (perencanaan perdamaian) untuk diajukan kepada masyarakat internasional," kata Eva yang notabene anggota Komisi III (Bidang Hukum dan HAM) DPR RI kepada Antara Jateng, Jumat.
"Peace plan" itu, kata Eva, terutama diajukan ke Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), negara Non-Blok, dan United Nations (UN)/Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) demi adanya intermediator internasional antara pendukung Mursy dan kelompok oposisi untuk segera menyelesaikan konflik melalui dialog.
Ia menekankan bahwa militer Mesir harus menyetop kekerasan dalam mengatasi konflik yang nyatanya makin memburuk dengan korban meninggal yang makin banyak.
Eva juga menandaskan,"Militer juga harus dipastikan mendukung 'peace plan' yang akan diajukan oleh pemerintah sementara Mesir."
Pada saat yang sama, kata Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI itu, Indonesia bisa mengusulkan pelaksanaan "summit meeting" dalam OKI, Non-Blok, dan UN untuk membahas "Peace Plan Mesir".
"'Summit-summit' tersebut juga harus berhasil menunjuk utusan khusus masing-masing organisasi untuk mengawal 'peace plan' berikut 'road map' (peta jalan) untuk rekonsiliasi/islah antara pihak-pihak yang bertikai di Mesir," katanya.
Peran aktif Indonesia tersebut, menurut Eva, sesuai dengan amanat konstitusi yang mengharuskan RI menjaga perdamaian dunia selain mencegah Mesir menjadi negara gagal.
Ia menegaskan bahwa Indonesia mempunyai legitimasi kuat untuk menginisiasi "peace plan" di Mesir mengingat pengalaman RI sendiri dalam menggulirkan reformasi.
"Saatnya Indonesia membalas utang ke Mesir sebagai negara yang pertama mengakui kemerdekaan RI pada tahun 1945," demikian Eva K. Sundari, President of Asean Parliamentarian for Human Rights (APHR).