Jakarta, ANTARA JATENG - The ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR) mengecam pembunuhan terhadap U Ko Ni, aktivis hak asasi manusia dan penasihat hukum dari Konselor Negara Aung San Suu Kyi dan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Kematian U Ko Ni bukan saja merupakan kehilangan besar bagi Myanmar, melainkan untuk semua ASEAN, kata Charles Santiago, anggota Parlemen Malaysia sekaligus Ketua APHR, dalam siaran pers kepada ANTARAJATENG.COM, Selasa.
Ekspresi Kebencian kepada Rohingya sudah meningkat bentuknya menjadi pembunuhan langsung dan terbuka kepada tokoh-tokoh dari Rohingya.
Bagi APHR, almarhum adalah seorang veteran perjuangan demokrasi Myanmar dan dikenal bersuara konsisten untuk toleransi dan hak asasi manusia.
Perjuangan almarhum semasa hidupnya untuk perlindungan hak-hak minoritas adalah sebuah inspirasi bagi semua yang berjuang melawan kebencian, kefanatikan, dan penganiayaan.
"Belasungkawa terdalam kami sampaikan kepada keluarganya dan seluruh rakyat Myanmar," ucap Charles Santiago.
Pihak berwenang harus segera dan mengusut tuntas insiden ini dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan.
Pihak berwenang juga harus mengambil langkah-langkah untuk menjamin keselamatan dan keamanan semua populasi minoritas di Myanmar, termasuk Muslim, selain mengutuk semua ujar kebencian dan praktik kekerasan.
Pembunuhan U Ko Ni oleh disersi militer di airport menunjukkan adanya paradoks di Myanmar. Ujar dan tindakan intoleransi dibiarkan, sementara Pemerintah mempropagandakan keberhasilan reformasi dan kemajuan demokrasi.
"Pidato kebencian dan nasionalisme ekstrem harus dilarang demi tercipta perdamaian sehingga pembangunan dan demokrasi bisa diwujudkan di Myanmar," ungkap Charles Santiago.
Sementara itu, anggota DPR RI Eva K. Sundari yang bertemu U Ko Ni pada hari Rabu (25/1/2017) di Habibie Center Jakarta mengatakan bahwa almarhum semasa hidupnya sangat ahli soal Konstitusi 2008 Myanmar yang kontroversial.
"U Ko Ni banyak bertanya bagaimana Indonesia mengatasi ujaran kebencian, saya menjawab kuncinya pada penegakan hukum yang tegas," Eva Sundari, politikus dari PDI Perjuangan itu.
"Semoga perjuangan almarhum berlanjut, kematiannya justru melahirkan pejuang-pejuang muda HAM untuk Myanmar dan ASEAN," kata Eva Sundari yang juga anggota anggota Komisi XI DPR RI.
Eva Sundari berharap agar pemerintah Indonesia dapat memberikan bantuan teknis untuk soal pengembangan demokrasi dan toleransi kepada Myanmar selain bantuan kemanusiaan dan makanan untuk komunitas Rohingya.
Walau masih ada kekurangan, kata Eva Sundari, faktanya Indonesia dianggap paling maju demokrasinya di ASEAN di tengah tekanan trend global terkait dengan ancaman intoleransi.