Kudus (ANTARA) - Provinsi Jawa Tengah perlu melakukan penguatan regenerasi petani melalui edukasi dan pelibatan generasi muda, karena sebagai salah satu lumbung pangan nasional menghadapi tantangan besar dalam menjaga ketersediaan beras menjelang tahun 2045, kata Pakar Pertanian Dr. Zuhud Rozaki, PhD.

"Pada tahun 2045 diproyeksikan jumlah penduduk di Provinsi Jawa Tengah mencapai 42 juta jiwa serta di tengah ancaman krisis iklim dan eskalasi perang dagang global," ujar Dr. Zuhud Rozaki, PhD yang juga Dosen Agribisnis Universitas Muhammadiyah Yogyakarta saat menjadi pembicara kuliah umum bertajuk "Ketahanan Pangan Nasional dan Tantangannya di Era Perang Dagang Global" di Kampus Universitas Muria Kudus (UMK), Kamis.

Sementara sebagian besar petani di Jateng, kata dia, saat ini berusia lanjut, sementara lahan produktif terus menyusut akibat konversi menjadi pemukiman dan kawasan industri.

Situasi tersebut, katanya, diperparah oleh dampak perubahan iklim yang menyebabkan terganggunya pola tanam serta meningkatnya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) yang makin sulit dikendalikan.

Untuk itulah, kata dia, menghadapi situasi tersebut perlu pendekatan inovatif dan inklusif sebagai kunci utama. Di antaranya mulai dari penguatan regenerasi petani melalui edukasi dan pelibatan generasi muda agar nantinya ketahanan pangan tetap bisa dipertahankan, serta peningkatan indeks pertanaman (IP) dan penerapan pertanian berkelanjutan berbasis organik.

"Ketahanan pangan juga harus dilihat sebagai sistem yang menyeluruh. Ketersediaannya harus stabil, akses masyarakat harus mudah, dan yang tak kalah penting bagaimana pangan tersebut memiliki kebermanfaatan," ujarnya.

Zuhud menyampaikan bahwa ketahanan pangan bukan hanya menyangkut persoalan produksi semata. Tetapi perlu menekankan pentingnya memahami tiga pilar utama ketahanan pangan, yakni ketersediaan (availability), aksesibilitas (access), dan pemanfaatan (utilization).

Menurut dia, integrasi lintas sektor antara pemerintah, swasta, akademisi dan petani menjadi hal mutlak dalam merancang kebijakan pangan jangka panjang yang berdaya tahan.

Untuk menjawab berbagai tantangan tersebut, Zuhud menekankan pentingnya strategi intervensi terpadu yang melibatkan pemerintah, petani, dan sektor swasta. Karena pemenuhan kebutuhan beras pada tahun 2045 tidak akan tercapai tanpa kolaborasi konkret antar pemangku kepentingan yang saling mendukung.

Sebagai bentuk nyata dari strategi intervensi tersebut, Zuhud mencontohkan aksi gerebek pasar yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk memantau harga pangan secara langsung di pasar sebagai upaya menjaga stabilitas harga dan memastikan distribusi pangan berjalan dengan baik.

Selain itu, peran Perum Bulog dalam sistem ketahanan pangan juga penting karena untuk menjaga stabilitas pasokan dan cadangan beras nasional, serta menjadi penghubung antara hasil produksi dalam negeri dengan kebutuhan konsumsi masyarakat melalui mekanisme pengadaan dan distribusi yang adil dan efisien.

"Bulog  juga dapat membantu mengontrol harga dasar pangan dengan memberikan subsidi atau membeli hasil panen langsung dari petani," ujarnya.

Pada kesempatan tersebut, Zuhud juga mengajak para mahasiswa dan akademisi untuk berperan aktif dalam menyumbangkan gagasan, riset, dan inovasi yang dapat menjadi dasar pengambilan kebijakan publik.

Apalagi, kampus memiliki posisi strategis sebagai pusat riset dan advokasi dalam pembangunan ketahanan pangan nasional.

Baca juga: Pengelolaan limbah rumah potong di Kudus bisa jadi percontohan


Pewarta : Akhmad Nazaruddin
Editor : Heru Suyitno
Copyright © ANTARA 2025