Magelang (ANTARA) - Mereka yang menghadirkan energinya untuk pergi ke Festival Lima Gunung XXIII/2024 di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, bagaikan iringan gelombang raga dan jiwa yang datang dalam konstruksi makna "Kiblat papat lima pancer".
Beragam pemaknaan hadir atas filosofi Jawa itu. Para seniman cum petani Sanggar Saujana Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, mewujudkan filosofi itu menjadi karya instalasi seni empat panggung dan satu panggung utama untuk Festival Lima Gunung.
Sebanyak empat panggung, ada setinggi 2 dan 3 meter dengan masing-masing seluas 1 meter persegi, perwujudan mata angin timur, selatan, barat, dan utara, sedangkan panggung utama dua level, masing-masing 60 meter persegi (tempat pengiring) setinggi 1 meter dan 120 meter persegi (pementas) setinggi 70 sentimeter, simbol kiblat kekuatan hidup manusia, yakni Sang Ilahi dan batin.
Selama 3 bulan, mereka swadaya dan gotong royong mengerjakan instalasi seni panggung, penjor, dan dusunnya dengan berbagai bahan dari lingkungan alam pertaniannya. Warga tetangga dusun terpantik membantu Keron mengerjakan instalasi seni dan keperluan lainnya guna menghadirkan energi puncak Festival Lima Gunung pada 25--29 September 2024.
"Dari empat mata angin itu, tertuju kepada pancer (titik pusat), yaitu Gusti Allah dalam batin manusia," kata Ketua Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang yang juga pimpinan Sanggar Saujana Keron, Sujono.
Secara khusus, ia menuangkan ide instalasi seni dari bambu menjadi wujud 25 semut ireng (hitam) ukuran raksasa, ditempatkan di atas panggung sebagai penerjemahan tema festival, "Wolak-Waliking Jaman Kelakone".
Satu semut ukuran paling besar ditempatkan di antara 24 semut lainnya, yang masing-masing menggambarkan memegang gawai, dimaksudkan sebagai kehidupan yang selalu harus ada kepemimpinan mumpuni, arif, dan bijaksana, agar tetap pada juntrungan. Mereka menamai "Panggung Semut".
Siapa pun yang mencapai lokasi festival dan memandang panggung, serasa dibawa pada imajinasi dan inspirasi tentang karakter dan perilaku semut, antara lain, ihwal persaudaraan, keramahan, kebersamaan hidup, dan pengaruh kepemimpinan sosok yang tak harus tampak.
Komunitas Lima Gunung dengan basis kelompok seniman petani dusun-dusun di kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh Kabupaten Magelang, penyelenggara festival setiap tahun secara mandiri itu, dengan tempat berpindah-pindah dusun.
Para tokoh dan pegiat utama komunitas, beberapa tahun lalu melakukan tindakan kebudayaan yang dikenal sebagai "Sumpah Tanah". Hasil riset tentang komunitas dan festival itu oleh pengajar Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Joko Aswoyo, menjadi buku "Sumpah Tanah" (2019). Inti sumpah mereka terkait penyelenggaraan Festival Lima Gunung tanpa sponsor pemerintah dan pengusaha. Mereka mengandalkan kekuatan realitas dan spiritualitas dusun.
Seluruh rangkaian festival tahun ini berlangsung selama 17--29 September 2024. Pada 17 September acara di Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan, Kecamatan Pakis berupa konferensi pers dan pementasan tarian, pada 20 September 2024 di Studio Mendut, Kelurahan Mendut, Kecamatan Mungkid berupa diskusi "Manuskrip Merapi-Merbabu" dan sejumlah pementasan tarian, musik, serta performa seni.
Pada 22 September 2024 di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis berupa pementasan wayang kulit "Kumbokarna Mlebu Swarga", dan puncaknya pada 25-29 September 2024 di Dusun Keron berupa pementasan berbagai kesenian, seperti tarian, musik, performa seni, kolaborasi pementasan, pembacaan puisi, wayang orang, melukis on the spot, teater, pameran foto, arak-arakan budaya, dan pidato kebudayaan.
Sedikitnya 120 grup kesenian, antara lain, dari kelompok-kelompok basis komunitas dan jejaring di daerah setempat --termasuk sejumlah grup pelajar--, kota besar, luar Jawa, serta luar negeri dengan total sekitar 2.000 personel ikut festival. Mereka berkesempatan memperoleh jadwal mencapai "Panggung Semut", untuk menghadirkan pementasan.
Para tokoh Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah berurutan memukul gong tanda puncak Festival Lima Gunung XXIII/2024 di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan di Magelang, Minggu (29/9/2024). ANTARA/Hari Atmoko (ANTARA/Hari Atmoko)
Sebagaimana kekhasan lainnya dari daya pikat festival, mereka masing-masing telah ditata apik oleh panitia untuk pementasan secara disiplin, tepat waktu, dan tanpa jeda antargrup, sejak pagi hingga tengah malam.
Untuk memulai waktu tiba pementasan, tak ada yang harus ditunggu terkait kehadiran tamu khusus, pejabat, atau sosok elite. Bahkan menyangkut banyak atau sedikitnya penonton sudah berkumpul di arena festival seluas setengah lapangan sepak bola itu. Kemajuan teknologi informasi dimanfaatkan siapa saja, termasuk para youtuber melakukan siaran langsung pementasan di "Panggung Semut" yang terkesan unik, gagah, dan megah itu sehingga secara seketika tetap terpublikasi luas.
Festival itu disebut sebagai "wow" (menakjubkan) oleh pengajar Program Studi Kajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta Doktor Paramitha Dyah Fitriasari. Ia hadir membawa 29 mahasiswa untuk kuliah lapangan, mengkaji manajemen pertunjukan seni budaya.
Secara khusus, para mahasiswa beroleh kesempatan audiensi di Sanggar Saujan Keron dengan Sutanto Mendut (77), budayawan dan pendiri Komunitas Lima Gunung, sekitar seperempat abad lalu.
"Semua yang datang menonton maupun pentas, juga pedagang makanan melakukan tindakan kebudayaan dengan ikhlas dan gembira. Mereka yang menyiapkan segala keperluan festival juga demikian. Ini festival istimewa dan "wow" (menakjubkan)," ucap Tata.
Tema festival
Rumusan tema Festival Lima Gunung 2024, "Wolak-Waliking Jaman Kelakone", dipikirkan, direnungkan, dan didiskusikan secara matang para tokoh dan pegiat utama Komunitas Lima Gunung, sejak awal tahun ini.
Rangkaian tulisan tema dibuat menggunakan kelobot, dipajang di panggung utama sehingga setiap penonton tertancapkan ungkapan reflektif tentang situasi akhir-akhir ini yang melingkupi suasana kehidupan sosial kemasyarakatan, berbangsa, dan bernegara.
Oleh sesepuh komunitas, Sitras Anjilin (65), ungkapan tema "Wolak-Waliking Jaman Kelakone" yang menandai situasi zaman tidak menentu, telah dituliskan para pujangga pada masa lampau, termasuk Ranggawarsita sekitar 1860 dalam "Serat Kalathida" sebagai zaman edan.
Komunitas merumuskan tema tersebut pada festival tahun ini sebagai pengingat berbagai kalangan khalayak, terutama orang desa dan gunung, supaya tidak kaget menghadapi segala kejadian dan fenomena yang tak terduga.
Dalam menghadapi zaman tidak keruan, Sutanto memandang pentingnya setiap individu memperkuat kepribadian pada nilai-nilai budaya bangsa serta menjadikan kearifan lokal sebagai pijakan langkah membangun harapan kehidupan lebih baik.
"Terhadap 'Wolak-Waliking Jaman Kelakone', supaya hati-hati, tokoh-tokoh dan elite. Desa mengingatkan," ucapnya.
Tembang berbahasa Jawa langgam "Dhandhanggula" terkait dengan tema itu ditemukan Komunitas Lima Gunung karena sering dilantunkan orang desa sebagai lagu "Ura-ura". Dalam kirab budaya Festival Lima Gunung melewati jalan-jalan Dusun Keron, tembang itu dilantunkan dalang Sih Agung Prasetyo.
Syair tembang itu: Semut ireng ngendhog jroning geni/ Ono merak memitran lan baya/ Keyong sak kenong matane/ Tikuse padha ngidung/ Kucing gering ingkang nunggoni/ Kodhok nawu segara oleh banteng sewu/ Precil-precil kang anjaga/ Semut ngangkreng anggrangsang Redi Merapi/ Wit ranti awoh dlimo
Terjemahan bebasnya, "Semut hitam bertelur dalam api. Ada merak berteman buaya. Mata keong sebesar kenong. Tikus bernyanyi. Kucing gering yang menunggu. Kodok menjaring di laut, mendapatkan seribu banteng. Anak kodok yang menjaga. Semut rangrang menaiki Gunung Merapi. Pohon meranti berbuah delima".
Festival Lima Gunung tahun ini dengan tema "Wolak-Waliking Jaman Kelakone", rupanya memikat pula masyarakat merefleksikan keadaan, lalu bareng-bareng menyalakan semangat peradaban luhur.
Editor: Achmad Zaenal M
Beragam pemaknaan hadir atas filosofi Jawa itu. Para seniman cum petani Sanggar Saujana Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, mewujudkan filosofi itu menjadi karya instalasi seni empat panggung dan satu panggung utama untuk Festival Lima Gunung.
Sebanyak empat panggung, ada setinggi 2 dan 3 meter dengan masing-masing seluas 1 meter persegi, perwujudan mata angin timur, selatan, barat, dan utara, sedangkan panggung utama dua level, masing-masing 60 meter persegi (tempat pengiring) setinggi 1 meter dan 120 meter persegi (pementas) setinggi 70 sentimeter, simbol kiblat kekuatan hidup manusia, yakni Sang Ilahi dan batin.
Selama 3 bulan, mereka swadaya dan gotong royong mengerjakan instalasi seni panggung, penjor, dan dusunnya dengan berbagai bahan dari lingkungan alam pertaniannya. Warga tetangga dusun terpantik membantu Keron mengerjakan instalasi seni dan keperluan lainnya guna menghadirkan energi puncak Festival Lima Gunung pada 25--29 September 2024.
"Dari empat mata angin itu, tertuju kepada pancer (titik pusat), yaitu Gusti Allah dalam batin manusia," kata Ketua Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang yang juga pimpinan Sanggar Saujana Keron, Sujono.
Secara khusus, ia menuangkan ide instalasi seni dari bambu menjadi wujud 25 semut ireng (hitam) ukuran raksasa, ditempatkan di atas panggung sebagai penerjemahan tema festival, "Wolak-Waliking Jaman Kelakone".
Satu semut ukuran paling besar ditempatkan di antara 24 semut lainnya, yang masing-masing menggambarkan memegang gawai, dimaksudkan sebagai kehidupan yang selalu harus ada kepemimpinan mumpuni, arif, dan bijaksana, agar tetap pada juntrungan. Mereka menamai "Panggung Semut".
Siapa pun yang mencapai lokasi festival dan memandang panggung, serasa dibawa pada imajinasi dan inspirasi tentang karakter dan perilaku semut, antara lain, ihwal persaudaraan, keramahan, kebersamaan hidup, dan pengaruh kepemimpinan sosok yang tak harus tampak.
Komunitas Lima Gunung dengan basis kelompok seniman petani dusun-dusun di kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh Kabupaten Magelang, penyelenggara festival setiap tahun secara mandiri itu, dengan tempat berpindah-pindah dusun.
Para tokoh dan pegiat utama komunitas, beberapa tahun lalu melakukan tindakan kebudayaan yang dikenal sebagai "Sumpah Tanah". Hasil riset tentang komunitas dan festival itu oleh pengajar Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Joko Aswoyo, menjadi buku "Sumpah Tanah" (2019). Inti sumpah mereka terkait penyelenggaraan Festival Lima Gunung tanpa sponsor pemerintah dan pengusaha. Mereka mengandalkan kekuatan realitas dan spiritualitas dusun.
Seluruh rangkaian festival tahun ini berlangsung selama 17--29 September 2024. Pada 17 September acara di Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan, Kecamatan Pakis berupa konferensi pers dan pementasan tarian, pada 20 September 2024 di Studio Mendut, Kelurahan Mendut, Kecamatan Mungkid berupa diskusi "Manuskrip Merapi-Merbabu" dan sejumlah pementasan tarian, musik, serta performa seni.
Pada 22 September 2024 di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis berupa pementasan wayang kulit "Kumbokarna Mlebu Swarga", dan puncaknya pada 25-29 September 2024 di Dusun Keron berupa pementasan berbagai kesenian, seperti tarian, musik, performa seni, kolaborasi pementasan, pembacaan puisi, wayang orang, melukis on the spot, teater, pameran foto, arak-arakan budaya, dan pidato kebudayaan.
Sedikitnya 120 grup kesenian, antara lain, dari kelompok-kelompok basis komunitas dan jejaring di daerah setempat --termasuk sejumlah grup pelajar--, kota besar, luar Jawa, serta luar negeri dengan total sekitar 2.000 personel ikut festival. Mereka berkesempatan memperoleh jadwal mencapai "Panggung Semut", untuk menghadirkan pementasan.
Sebagaimana kekhasan lainnya dari daya pikat festival, mereka masing-masing telah ditata apik oleh panitia untuk pementasan secara disiplin, tepat waktu, dan tanpa jeda antargrup, sejak pagi hingga tengah malam.
Untuk memulai waktu tiba pementasan, tak ada yang harus ditunggu terkait kehadiran tamu khusus, pejabat, atau sosok elite. Bahkan menyangkut banyak atau sedikitnya penonton sudah berkumpul di arena festival seluas setengah lapangan sepak bola itu. Kemajuan teknologi informasi dimanfaatkan siapa saja, termasuk para youtuber melakukan siaran langsung pementasan di "Panggung Semut" yang terkesan unik, gagah, dan megah itu sehingga secara seketika tetap terpublikasi luas.
Festival itu disebut sebagai "wow" (menakjubkan) oleh pengajar Program Studi Kajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta Doktor Paramitha Dyah Fitriasari. Ia hadir membawa 29 mahasiswa untuk kuliah lapangan, mengkaji manajemen pertunjukan seni budaya.
Secara khusus, para mahasiswa beroleh kesempatan audiensi di Sanggar Saujan Keron dengan Sutanto Mendut (77), budayawan dan pendiri Komunitas Lima Gunung, sekitar seperempat abad lalu.
"Semua yang datang menonton maupun pentas, juga pedagang makanan melakukan tindakan kebudayaan dengan ikhlas dan gembira. Mereka yang menyiapkan segala keperluan festival juga demikian. Ini festival istimewa dan "wow" (menakjubkan)," ucap Tata.
Tema festival
Rumusan tema Festival Lima Gunung 2024, "Wolak-Waliking Jaman Kelakone", dipikirkan, direnungkan, dan didiskusikan secara matang para tokoh dan pegiat utama Komunitas Lima Gunung, sejak awal tahun ini.
Rangkaian tulisan tema dibuat menggunakan kelobot, dipajang di panggung utama sehingga setiap penonton tertancapkan ungkapan reflektif tentang situasi akhir-akhir ini yang melingkupi suasana kehidupan sosial kemasyarakatan, berbangsa, dan bernegara.
Oleh sesepuh komunitas, Sitras Anjilin (65), ungkapan tema "Wolak-Waliking Jaman Kelakone" yang menandai situasi zaman tidak menentu, telah dituliskan para pujangga pada masa lampau, termasuk Ranggawarsita sekitar 1860 dalam "Serat Kalathida" sebagai zaman edan.
Komunitas merumuskan tema tersebut pada festival tahun ini sebagai pengingat berbagai kalangan khalayak, terutama orang desa dan gunung, supaya tidak kaget menghadapi segala kejadian dan fenomena yang tak terduga.
Dalam menghadapi zaman tidak keruan, Sutanto memandang pentingnya setiap individu memperkuat kepribadian pada nilai-nilai budaya bangsa serta menjadikan kearifan lokal sebagai pijakan langkah membangun harapan kehidupan lebih baik.
"Terhadap 'Wolak-Waliking Jaman Kelakone', supaya hati-hati, tokoh-tokoh dan elite. Desa mengingatkan," ucapnya.
Tembang berbahasa Jawa langgam "Dhandhanggula" terkait dengan tema itu ditemukan Komunitas Lima Gunung karena sering dilantunkan orang desa sebagai lagu "Ura-ura". Dalam kirab budaya Festival Lima Gunung melewati jalan-jalan Dusun Keron, tembang itu dilantunkan dalang Sih Agung Prasetyo.
Syair tembang itu: Semut ireng ngendhog jroning geni/ Ono merak memitran lan baya/ Keyong sak kenong matane/ Tikuse padha ngidung/ Kucing gering ingkang nunggoni/ Kodhok nawu segara oleh banteng sewu/ Precil-precil kang anjaga/ Semut ngangkreng anggrangsang Redi Merapi/ Wit ranti awoh dlimo
Terjemahan bebasnya, "Semut hitam bertelur dalam api. Ada merak berteman buaya. Mata keong sebesar kenong. Tikus bernyanyi. Kucing gering yang menunggu. Kodok menjaring di laut, mendapatkan seribu banteng. Anak kodok yang menjaga. Semut rangrang menaiki Gunung Merapi. Pohon meranti berbuah delima".
Festival Lima Gunung tahun ini dengan tema "Wolak-Waliking Jaman Kelakone", rupanya memikat pula masyarakat merefleksikan keadaan, lalu bareng-bareng menyalakan semangat peradaban luhur.
Editor: Achmad Zaenal M