Semarang (ANTARA) - "Dengan kita diam, sama saja membenarkan pelaku dan (itu) akan makin banyak pelaku kekerasan seksual yang muncul. Kalau kita speak up, akan membantu mengurangi jumlah pelaku kekerasan seksual di dunia digital''.
Hal itu diungkapkan Fatkhurozi dari Sammi Institut dalam Talkshow Kudengar (Kuliah Keadilan dan Kesetaraan Gender) yang dilaksanakan atas kerja sama Radio USM Jaya FM dan Satgas PPKS USM.
Talkshow yang dipandu Putri Sabila itu mengangkat tema ''Kekerasan Seksual Ranah Digital di Lingkungan Mahasiswa'' yang berlangsung di Studio Radio USM Jaya FM Gedung N USM pada Rabu (21/2/2024).
Pria yang akrab disapa Ozi itu mengatakan, kekerasan seksual di ranah digital tidak bisa dihindari dan memiliki bentuk yang beragam. Dalam hal ini, seseorang tanpa hak dapat merekam, mengunduh, mempublikasikan, hingga menyebarluaskan konten yang bermuatan seksual atau pornografi.
''Dunia digital bukan lagi menjadi suatu kebutuhan hidup, tetapi sudah menjadi bagian dari hidup kita, maka kekerasan seksual juga bisa di ranah digital. Konten bermuatan kekerasan seksual dapat berupa gambar, video, narasi, suara, simbol atau gabungan dari semuanya yang tujuannya untuk memeras, mengancam, hingga memaksa seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu,'' katanya.
Lebih lanjut, Ozi menjelaskan, pelaku kekerasan seksual memiliki berbagai macam cara, salah satunya melakukan ''proses penundukan'' kepada korban agar bersedia mengikuti perintah dari pelaku dan memastikan bahwa kekerasan seksual merupakan suatu hal yang biasa dan benar.
Menurutnya, setelah lahir UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, kini tindakan kekerasan seksual khususnya di ranah digital dianggap tindakan yang dalam Pasal 14 mendapatkan ancaman pidana mulai 4 tahun dengan denda Rp 200 juta hingga pidana 6 tahun dengan denda Rp 300 juta.
''Dulu kekerasan seksual di ranah digital atau online dianggap bukan sebagai suatu tindakan pidana atau masih hal yang biasa. Kalau sekarang sudah menjadi tindak pidana. Kekerasan seksual dalam dunia digital sangat berbahaya karena memiliki dampak yang lebih besar, salah satunya konten bermuatan pornografi bisa saja terpampang seumur hidup apabila tidak di-take down,'' jelasnya.
Dia mengatakan, satgas PPKS USM pun melakukan training untuk mahasiswa agar menjadi suatu agen-agen perubahan dalam mencegah kekerasan seksual di perguruan tinggi, dalam hal ini USM.
''Kita bisa melakukan upaya pencegahan dengan kenali kekerasan seksual, aware pada diri kita, punya sikap jelas, mendukung dan membantu korban jika membutuhkan pertolongan dan berani mengungkap atau speak up. Maka dengan itu, kita akan berada di pihak yang benar dalam hal ini pihak korban, sehingga pelaku semakin kecil ruangnya melakukan kekerasan seksual di ranah digital,'' ujarnya. ***
Hal itu diungkapkan Fatkhurozi dari Sammi Institut dalam Talkshow Kudengar (Kuliah Keadilan dan Kesetaraan Gender) yang dilaksanakan atas kerja sama Radio USM Jaya FM dan Satgas PPKS USM.
Talkshow yang dipandu Putri Sabila itu mengangkat tema ''Kekerasan Seksual Ranah Digital di Lingkungan Mahasiswa'' yang berlangsung di Studio Radio USM Jaya FM Gedung N USM pada Rabu (21/2/2024).
Pria yang akrab disapa Ozi itu mengatakan, kekerasan seksual di ranah digital tidak bisa dihindari dan memiliki bentuk yang beragam. Dalam hal ini, seseorang tanpa hak dapat merekam, mengunduh, mempublikasikan, hingga menyebarluaskan konten yang bermuatan seksual atau pornografi.
''Dunia digital bukan lagi menjadi suatu kebutuhan hidup, tetapi sudah menjadi bagian dari hidup kita, maka kekerasan seksual juga bisa di ranah digital. Konten bermuatan kekerasan seksual dapat berupa gambar, video, narasi, suara, simbol atau gabungan dari semuanya yang tujuannya untuk memeras, mengancam, hingga memaksa seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu,'' katanya.
Lebih lanjut, Ozi menjelaskan, pelaku kekerasan seksual memiliki berbagai macam cara, salah satunya melakukan ''proses penundukan'' kepada korban agar bersedia mengikuti perintah dari pelaku dan memastikan bahwa kekerasan seksual merupakan suatu hal yang biasa dan benar.
Menurutnya, setelah lahir UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, kini tindakan kekerasan seksual khususnya di ranah digital dianggap tindakan yang dalam Pasal 14 mendapatkan ancaman pidana mulai 4 tahun dengan denda Rp 200 juta hingga pidana 6 tahun dengan denda Rp 300 juta.
''Dulu kekerasan seksual di ranah digital atau online dianggap bukan sebagai suatu tindakan pidana atau masih hal yang biasa. Kalau sekarang sudah menjadi tindak pidana. Kekerasan seksual dalam dunia digital sangat berbahaya karena memiliki dampak yang lebih besar, salah satunya konten bermuatan pornografi bisa saja terpampang seumur hidup apabila tidak di-take down,'' jelasnya.
Dia mengatakan, satgas PPKS USM pun melakukan training untuk mahasiswa agar menjadi suatu agen-agen perubahan dalam mencegah kekerasan seksual di perguruan tinggi, dalam hal ini USM.
''Kita bisa melakukan upaya pencegahan dengan kenali kekerasan seksual, aware pada diri kita, punya sikap jelas, mendukung dan membantu korban jika membutuhkan pertolongan dan berani mengungkap atau speak up. Maka dengan itu, kita akan berada di pihak yang benar dalam hal ini pihak korban, sehingga pelaku semakin kecil ruangnya melakukan kekerasan seksual di ranah digital,'' ujarnya. ***