Semarang (ANTARA) - Salah satu penyakit umum adalah hipertensi, terkadang orang yang sering marah dianggap mengalami tekanan darah tinggi. Sebenarnya, apakah tekanan darah tinggi menyebabkan seseorang cenderung marah, atau kecenderungan marah membuat seseorang mengalami tekanan darah tinggi?

Darah tinggi tidak hanya merupakan suatu kondisi medis semata, tetapi juga mencerminkan keadaan emosional seseorang. Artikel ini akan mengulas hubungan antara darah tinggi, kemarahan, dan tekanan emosional yang memiliki potensi merugikan kesehatan fisik dan mental. Pembahasan akan melibatkan aspek-aspek penting, termasuk dampak marah yang dapat memicu kenaikan tekanan darah.

Penting untuk dicatat bahwa isi artikel ini tidak berafiliasi dengan atau mendapat dukungan dari video channel YouTube Ustadz Dhanu. Penulis menyatakan bahwa artikel ini disusun secara independen, dan pembahasan mengenai kesehatan emosional dan darah tinggi berkaitan dengan konten atau opini dari sumber yang disebutkan. Artikel ini dimaksudkan sebagai informasi umum dan bukan pengganti nasihat medis profesional. Pembaca disarankan untuk selalu berkonsultasi dengan dokter atau ahli kesehatan yang berkualifikasi untuk penanganan kondisi medis.

Sejatinya, kepercayaan umum bahwa tekanan darah tinggi memicu kemarahan, tetapi hakikatnya adalah kecepatan emosi yang dapat menjadi pemicu kenaikan tekanan darah. Kemarahan, sesuai dengan ajaran Islam, adalah sesuatu yang dihindari. Seperti yang dijelaskan dalam hadis, Laa Taghdob wa Lakal Jannah. Artinya: “Janganlah engkau marah, maka bagimu surga.” [HR. Thabrani]. Oleh karena itu, dalam konteks spiritual, marah dapat menjadi penyebab masuknya seseorang ke dalam neraka. Sayangnya, pemahaman ini tidak selalu diterapkan oleh semua umat Islam.

Bagi sebagian orang, hal ini hanya menjadi semacam pemanis kata yang didengar tetapi jarang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, untuk mereka yang benar-benar memahami ajaran agama dan bersedia belajar, menjauhi kemarahan adalah bentuk ketaatan terhadap perintah Allah SWT, yang disampaikan melalui Jibril dan Rasulullah SAW. Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama berupaya untuk tidak terjebak dalam amarah, karena mematuhi perintah Allah adalah kunci untuk menghindari neraka.

Marah menimbulkan banyak penyakit. Marah secara rutin dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, sementara kekesalan yang terus-menerus dapat menyebabkan tekanan darah tinggi. Pemicu marah bermacam-macam, termasuk ketidaksetujuan yang direspons dengan amarah, kejengkelan karena menemani istri belanja terlalu lama, atau kesabaran yang teruji karena menunggu sesuatu atau seseorang terlalu lama, dan sebagainya. Marah dapat timbul dari berbagai situasi, dan seringkali, seorang Muslim yang terjebak dalam sikap tersebut mungkin tidak menyadari apa sebenarnya yang diinginkan dari marah itu atau merasa malu di depan orang lain.

Banyak kasus dapat memicu kemarahan pada seorang Muslim. Ketika marah, adrenalin dipompa secara berkelanjutan, tanpa kesadaran bahwa kemarahan itu sedang terjadi. Terkadang, seseorang tidak mampu meredakan amarah dan cenderung menyalahkan orang lain tanpa introspeksi diri. Sebagai Muslim, penting untuk mengenali dampak negatif marah pada kesehatan fisik dan mental, serta merenungkan cara untuk menangani emosi tersebut dengan bijak, sesuai dengan ajaran agama Islam yang menekankan pentingnya menjauhi amarah dan mengasah kesabaran dalam menghadapi ujian kehidupan.

Marah terhadap seseorang dianggap sebagai pemicu masuknya jin yang diizinkan oleh Allah SWT ke dalam adrenalin, yang akhirnya memicu reaksi pada pembuluh darah. Ketika seseorang sering merasa terjebak dalam pemikiran yang buntu sambil diliputi kemarahan, dampaknya dapat mencapai pembuluh darah di otak. Tipe marah yang sulit ditemukan solusinya dapat menyebabkan penumpukan lemak di sekitar otak, menciptakan penyumbatan di daerah tersebut.

Jika marah meledak dengan karakteristik tertentu, bukanlah penyumbatan di pembuluh darah yang terjadi, melainkan pembuluh darah yang menjadi rentan dan mudah pecah. Semua ini merupakan jalan yang Allah SWT tentukan, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan kondisi serius seperti stroke atau bengkak jantung apabila terus berlangsung, bahkan bisa menyebabkan glaukoma akibat tekanan tinggi yang dapat menyebabkan kebutaan.

Keadaan marah seringkali diiringi oleh keyakinan bahwa diri sendiri adalah yang benar. Jika seseorang terus-menerus merasa bahwa pandangannya selalu benar, dapat berdampak pada pankreas karena kadar gula yang tinggi. Analogi manisnya gula mencerminkan persepsi diri sebagai baik dan benar, yang pada gilirannya dapat merusak pankreas. Allah ta'ala, dengan hikmah-Nya, mengingatkan bahwa dalam suasana emosional di mana seseorang merasa selalu benar, tuntutan untuk mengikuti kehendaknya dapat memicu ketegangan, kemarahan, dan sejenisnya, yang berujung pada peningkatan kadar gula dalam darah serta potensi kerusakan pada pankreas.

Dalam hadis disebutkan 'Janganlah marah, bagimu syurga.' Pernyataan ini memiliki kebenaran, karena emosi marah, jika tidak terkendali, dapat mengakibatkan berbagai konsekuensi yang merugikan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ustad Dhanu yang, dengan izin Allah, diberikan pemahaman yang mendalam. Pesan ini dia sampaikan kepada seluruh umat Muslim sebagai ajakan untuk menjauhi amarah, menjaga hati, dan mengikuti ajaran Islam yang menganjurkan kedamaian dan kesabaran.

Sebagaimana dikemukakan, keyakinan bahwa kanker bersumber dari rasa marah yang disimpan atau dikeluarkan, baik terhadap pasangan maupun orangtua, menjadi pertimbangan penting. Dikatakan bahwa seseorang yang terkena kanker di bawah usia 45 tahun mungkin memiliki amarah terpendam terhadap orang tuanya, sedangkan di atas 45 tahun mungkin memiliki amarah terhadap pasangannya. Solusinya, seperti yang ditekankan, adalah memohon ampun kepada Allah Ta'ala, sesuai dengan ajaran Al-Quran dalam Surah Asy-Syura ayat 30 yang menyatakan bahwa musibah apa pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri dan (Allah) memaafkan banyak (kesalahanmu). Pada akhirnya, Allah Ta'ala adalah Maha Pengampun dan memberikan ampunan kepada sebagian besar kesalahan manusia.

Penting untuk diingat bahwa kesadaran akan dosa merupakan langkah awal dalam memperbaiki diri. Seorang Muslim diajak untuk merenung atas perbuatannya, mengakui dosa-dosanya, dan memohon ampun dengan ikhlas. Sayangnya, beberapa individu mungkin enggan mengakui dosa mereka, bahkan dalam kondisi sakit.

Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk tidak hanya melakukan istighfar dengan mulut, tetapi juga dengan tulus hati, memahami bahwa setiap dosa harus diakui dan diampuni oleh Allah Ta'ala. Kesadaran akan dosa dan tindakan istighfar yang ikhlas adalah langkah-langkah menuju pertobatan yang sejati. Ketidaktahuan penyebab sakit dan ketidakmampuan untuk bertaubat atas perbuatan yang telah dilakukan dapat menjadi beban berat bagi seorang Muslim yang terkena penyakit. Hingga saat meninggal, mereka mungkin tidak menyadari dosa-dosa mereka yang belum diampuni dan akan dipertanggungjawabkan di akhirat.

Oleh karena itu, perlu berhati-hati, itulah mengapa Ustad Dhanu mengajarkan akhlak Rasulullah SAW, termasuk menjauhi sifat marah dan suudzon.
Contoh dampak suudzon yang disertai dengan marah terus-menerus dapat mengakibatkan perubahan dalam tubuh, diawali dengan pusing berkepanjangan bahkan mencapai tingkat tumor. Pikiran yang terus-menerus menghasilkan suudzon terhadap orang lain dapat memicu pembentukan tumor di berbagai bagian tubuh, seperti di belakang mata atau di otak kecil.

Faktanya, Al-Quran memberikan panduan tentang kesehatan, menekankan larangan terhadap suudzon dan ghibah. Efek ghibah yang berkepanjangan juga dapat tercermin dalam tubuh, seperti akumulasi lendir di leher. Seorang Muslim yang terjerumus dalam perilaku ghibah, bahkan dalam ucapan dengan penekanan tertentu, dapat mengalami masalah lendir yang merugikan di leher. Selain itu, ketika marahnya seseorang bersifat diam, itu dapat menyebabkan perasaan tercekik di leher.

Semua ini menegaskan pentingnya menjaga kesehatan spiritual dan mental, serta mendekati ajaran Islam untuk menciptakan keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari. Menghindari perilaku buruk seperti suudzon dan ghibah bukan hanya untuk menjaga kesehatan fisik, tetapi juga untuk menjaga kesehatan batin dan mendekatkan diri kepada petunjuk Allah SWT.

Kisah seorang istri yang mengalami rasa tercekik di lehernya setiap malam menjadi peringatan nyata akan dampak negatif dari marah yang disimpan diam-diam terhadap suaminya. Melalui bimbingan Ustad Dhanu, ia belajar untuk memohon ampun kepada Allah SWT dan secara tulus meminta maaf kepada suaminya. Dengan izin Allah SWT, usahanya untuk menjaga ketenangan hati dan menjauhi kemarahan membawa hasil positif. Penting untuk diingat bahwa marah yang terpendam dapat memberikan tekanan emosional, bahkan tanpa disadari.

Sebagaimana tergambar dalam kisah ini, dampaknya bisa dimanifestasi dalam bentuk gejala fisik, seperti rasa tercekik di leher. Oleh karena itu, menahan diri dari amarah dan senantiasa meminta ampun serta maaf adalah langkah-langkah yang bijak untuk menjaga kesehatan emosional dan fisik. Kisah seorang perempuan muda yang mengidap darah tinggi dan harus mengkonsumsi obat penurun tensi setiap harinya membuka mata kita terhadap hubungan antara kondisi kesehatan dan keadaan emosional. Marah yang dipendam terhadap bapaknya sejak kecil menjadi salah satu pemicu tensi tinggi yang ia alami.
Perempuan muda itu marah karena bapaknya malas bekerja sehingga kurang menafkahi keluarganya seperti keluarga-keluarga lain yang dilihat dari teman-temannya. Walaupun mungkin perempuan muda itu berpikir bahwa kemarahannya adalah hal yang wajar namun tidak bagi Allah SWT, hal itu adalah dosa bagi perempuan muda itu, karena yang berhak menghakimi adalah Allah SWT dan biarlah bapaknya yang mungkin kurang menafkahi keluarganya itu berurusan dan bertanggung jawab langsung dengan Allah Ta’ Ala.

Perintah Allah SWT sangat jelas disebutkan dalam Al Quran bahwa tugas seorang anak adalah harus menghormati kedua orang tuanya dan itu adalah mutlak apapun kondisinya, dan jika ada orangtua yang berdosa ataupun menyimpang dari ajaran Allah Ta’Ala biarlah itu menjadi urusan mereka kepada Allah SWT. Setelah mengetahui hal itu, dengan kesadaran akan kesalahannya, perempuan itu memilih jalan taubat dan permohonan ampun kepada Allah SWT. Ia secara konsisten meminta maaf kepada bapaknya, berbuat baik, dan menggali kearifan dalam ajaran Islam. Penting untuk diingat bahwa dalam Islam, pengetahuan dan pemahaman terhadap ajaran Al-Quran dan hadis menjadi kunci untuk mengatasi masalah kesehatan dan kehidupan secara holistik.

Belajar untuk menjaga hati dari kemarahan, meminta maaf, dan berbuat baik adalah langkah-langkah yang ditekankan dalam ajaran Islam untuk menjaga kesehatan emosional dan fisik. Penting juga untuk tidak terjerumus pada pemahaman yang keliru tentang penyembuhan dengan membaca surah atau ayat tertentu. Islam mengajarkan keseluruhan gaya hidup yang seimbang dan taat pada aturan-aturan yang telah ditentukan.

Saat difitnah, tak perlu larut dalam kemarahan atau memberikan klarifikasi yang tidak perlu. Sebab, dalam ajaran Islam, ditegaskan bahwa orang yang memfitnah akan memikul dosa serta mendapat pahala dari orang yang difitnahnya. Bahkan ketika pahala fitnah telah habis, dosa-dosa orang yang difitnah akan diberikan kepadanya. Ajaran ini jelas terdapat dalam Hadis, mengingatkan kita untuk memaafkan, menahan diri dari ghibah, dan fitnah. Dengan demikian, sikap bijak dalam menghadapi fitnah adalah dengan menjaga hati dari amarah berlebihan, mempercayakan urusan tersebut kepada Allah SWT, dan tidak terjerumus dalam perbuatan ghibah atau membalas dengan cara yang tidak sesuai ajaran Islam. Belajar untuk memaafkan adalah langkah yang bijak dan mencerminkan ketenangan batin serta kepatuhan pada prinsip-prinsip moral yang diajarkan dalam Islam.

Akhlak yang muncul sebagai hasil dari marah, menurut ajaran Islam, dapat menimbulkan dampak serius terutama pada tekanan darah yang terus meningkat. Cenderung, orang Muslim yang sudah marah jarang sekali memohon ampun kepada Allah Ta'ala, baik itu secara segera, di masa mendatang, atau bahkan ketika mereka sudah sakit dan tergeletak. Kondisi ini menjadi peringatan penting bahwa tidak seharusnya menunggu nyawa hampir diambil oleh Allah baru mau bertobat. Pasalnya, dalam keadaan seperti itu, tobat mungkin tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Oleh karena itu, mengendalikan amarah, selalu merenungkan perbuatan, dan segera memohon ampun kepada Allah Ta'ala adalah langkah-langkah yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Dengan cara ini, seseorang dapat menjaga keseimbangan mental, fisik, dan spiritualnya, serta meminimalkan dampak negatif terhadap kesehatan, termasuk meningkatnya tekanan darah yang dapat menjadi akibat dari amarah yang tidak terkontrol.

Marah yang diungkapkan secara terbuka maupun yang disimpan dalam diam, keduanya dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah. Kecepatan atau lambatnya peningkatan tekanan darah bergantung pada intensitas kemarahan dan objek dari kemarahan tersebut. Orang yang sering merasakan ketakutan atau cenderung selalu khawatir biasanya memiliki tekanan darah rendah. Sehingga, intensitas dan sasaran dari kemarahan dapat memainkan peran penting dalam menentukan seberapa cepat tekanan darah seseorang meningkat.

Korelasi antara darah dan kemarahan terjadi melalui peningkatan kadar adrenalin, yang kemudian mempengaruhi organ di atas ginjal dan meningkatkan denyut jantung. Ketika tekanan darah naik, denyut jantung menjadi lebih cepat, dan apabila emosi meledak, ini dapat memicu serangan jantung (jantung coroner). Pada tingkat seluler, kemarahan yang intens dapat merusak sel darah merah. Jika sel darah merah mengalami kerusakan, tubuh akan merespons dengan gejala seperti lemas dan ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas fisik. Saat seseorang marah lagi, gejala ini dapat kembali muncul.

Dalam kedokteran, pasien yang mengalami kerusakan sel darah merah mungkin diberikan suplemen zat besi untuk meningkatkan kekuatan sel darah merah. Adrenalin, yang dilepaskan selama situasi stres atau kemarahan, dapat mempercepat denyut jantung. Jika adrenalin digunakan sebagai respons terhadap semangat dalam melakukan pekerjaan, ini dianggap relatif aman. Namun, jika adrenalin dilepaskan karena kemarahan yang melebihi batas, dapat menyebabkan dampak yang merugikan pada kesehatan, terutama jika terjadi secara terus-menerus. Orang yang memiliki tekanan darah tinggi dan tidak merespons baik terhadap obat penurun tensi mungkin memiliki latar belakang kemarahan yang signifikan, khususnya terhadap orang tuanya. Kemarahan ini menjadi pengunci dosanya dan menyebabkan kekentalan sel darahnya melebihi batas sehingga sulit untuk menurunkan tekanan darahnya.

Introspeksi diri terhadap sumber ketegangan dan marah adalah langkah yang bijaksana, terutama bagi mereka yang menderita tekanan darah tinggi. Identifikasi akar masalah, apakah itu hubungan dengan pasangan, orang tua, atau mertua, bisa membantu seseorang memahami sumber stres dan marah dalam kehidupan sehari-hari.

Langkah selanjutnya adalah mengambil tindakan positif, seperti memohon ampun kepada Allah SWT dan meminta maaf kepada orang yang mungkin telah terlibat dalam konflik tersebut. Berkomunikasi dengan jujur, terbuka, dan penuh kasih sayang juga dapat membantu memperbaiki hubungan dan meredakan ketegangan. Sholat dan doa juga memiliki peran penting dalam menenangkan hati dan pikiran. Mencari keberkahan serta petunjuk dari Allah SWT dapat membantu seseorang meredakan emosi negatif dan mengembalikan keseimbangan spiritual.

Mengelola stres dan marah dengan cara positif dapat berkontribusi pada kesehatan secara keseluruhan, termasuk menurunkan tekanan darah. Sikap penuh kesabaran, pengampunan, dan keikhlasan dalam berinteraksi dengan orang lain dapat menjadi kunci untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani.

Kalau marahnya orang tua terhadap anak apakah bisa tensinya juga tinggi? Jika marahnya orang tua terhadap anak terkait dengan upaya mendidik dan memberikan pengarahan karena anak melakukan kesalahan, ini dapat dianggap sebagai faktor mendidik yang sehat. Orang tua yang marah karena ingin membimbing anaknya untuk menghindari kesalahan di masa depan tidak cenderung mengalami peningkatan tekanan darah secara signifikan.

Namun, jika marahnya orang tua terhadap anak disertai dengan faktor egois, keinginan untuk menang sendiri, atau merasa lebih pintar, ini dapat memicu stres dan ketegangan yang dapat berdampak negatif pada kesehatan, termasuk peningkatan tekanan darah. Faktor-faktor emosional dan egois dalam marah bisa menjadi pemicu penyakit lain.

Apabila seseorang terbiasa melakukan segala sesuatu dengan tergesa-gesa, menginginkan hasil yang cepat, hal tersebut dapat meningkatkan tingkat tensinya. Kecenderungan untuk selalu menginginkan segala sesuatu secepat mungkin dapat menimbulkan tekanan darah tinggi, karena pikirannya selalu dipenuhi oleh keharusan untuk menyelesaikan tugas dengan segera.

Perilaku tergesa-gesa ini dapat diibaratkan sebagai sifat yang terkait dengan keinginan yang serba cepat adalah sifat syaitan, yang tidak selaras dengan prinsip kehati-hatian yang merupakan sifat dari Allah SWT. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menjaga kehati-hatian dalam segala aspek kehidupan. Mulai dari cara berbicara yang penuh perhitungan hingga menjalani setiap tugas dengan hati-hati, bukan karena takut, melainkan sebagai bentuk pertimbangan agar tidak merugikan orang lain dan menghindari penilaian yang tidak baik dari Allah SWT. Memiliki sikap hati-hati dan bersikap penuh perhitungan dalam menjalani kehidupan sehari-hari adalah nilai yang dianjurkan dalam Islam. Kelembutan, kebijaksanaan, dan kehati-hatian dalam berbicara dan bertindak merupakan ciri-ciri yang dianjurkan agar menjaga kestabilan emosional dan kesehatan secara keseluruhan.

Sikap ini juga dapat membantu menghindari kesalahan yang mungkin muncul akibat tergesa-gesa. Bagi saudara beriman yang menderita darah tinggi, dipahami marah yang ada dengan siapa, evaluasi apakah dengan pasangan atau dengan orang tua atau dengan mertua. Dititik-titik itu sebenarnya kesalahan manusia itu, nah kalau sudah ketemu cepat mohon ampun kepada Allah SWT setiap saat kita sholat kemudian meminta maaf kepada orang yang kita marahi setiap hari karena tensi itu nantinya bisa turun dan In Sya Allah mudah-mudahan tensinya mulai normal lagi karena itu sebenarnya tidak sulit. Dengan demikian, mengurangi sikap tergesa-gesa dan keinginan untuk menyelesaikan segala sesuatu dengan cepat dapat membantu menjaga stabilitas tensi dan kesehatan secara keseluruhan, Insya Allah

Tensi tinggi memiliki kaitan yang signifikan dengan penyakit jantung. Ketika tingkat adrenalin meningkat dan aktif, hal ini memicu peningkatan aktivitas motor jantung. Penyakit jantung dapat disebabkan oleh ekspresi marah yang dikeluarkan secara langsung atau marah yang ditahan di dalam dada, yang dapat menyebabkan pembengkakan pada jantung, terutama jika dipicu oleh masalah atau ketegangan tertentu. Jantung koroner atau pembengkakan jantung seringkali terkait dengan masalah yang berlangsung secara terus menerus, dan biasanya terjadi pada individu yang memiliki gaya hidup yang aktif. Di sisi lain, TBC dapat terkait dengan respon marah yang bersifat lebih pasif dan cenderung diam saat menghadapi masalah, dan mudah tersinggung.

Dalam perspektif spiritual, keyakinan bahwa terus belajar untuk mengubah kesalahan dan dosa, serta memohon ampunan kepada Allah secara berkelanjutan, diharapkan dapat membantu individu untuk kembali ke keadaan yang lebih normal. Dengan tekad yang kuat untuk memperbaiki diri dan memohon petunjuk dari Allah, diharapkan dapat membawa keselamatan dan kesehatan, Insya Allah. Dengan menjalani kehidupan tanpa merasa marah, berbagai gejala seperti pusing, pegal-pegal, sesak, radang, dan lainnya dapat berangsur-angsur menghilang.

Dalam keyakinan spiritual, usaha untuk tidak merasa marah diharapkan dapat menjadi solusi untuk menghindari berbagai penyakit. Hampir semua penyakit, seperti jantung bengkak, jantung bocor, tangan bengkak, pembuluh darah pecah, kanker, TBC, pembuluh darah tersumbat, dan sebagainya, diyakini memiliki keterkaitan dengan ekspresi marah.

Bagaimana supaya kita tidak marah, sebuah pertanyaan yang sungguh sulit dijalankan tetapi diharuskan. Sebenarnya persoalan itu adalah ujian yang diberikan oleh Allah SWT kepada kita, dan harus kita hadapi tujuannya adalah supaya tingkat keimanan kita meningkat. Selama ini orang Islam itu tidak paham bahwa ujian-ujian itu harus diselesaikan dengan cara-cara islami bukan dengan cara-cara yang lain. 

Ada yang pintar tetapi malah membuat dia ujub, riya bahkan sombong maka rusaklah imannya dan banyak lagi contoh. Sehingga kita harus belajar, mumpung Allah masih menitipkan umur. Kalau kita tidak mengelola akhlak kita dengan baik, kemudian dibikin sakit oleh Allah Ta Ala akibat perilakumu, sedangkan kita tiada kemampuan untuk berobat padahal bukan itu yang diinginkan oleh Allah SWT. Makanya kita harus belajar, perbaiki akhlak kembali ke jalan Allah Ta Ala, mohon ampun, bertaubat, mengakui kesalahan dan tidak mengulanginya lagi dan bersifat tawadhu itulah yang diinginkan oleh Allah SWT.

Allah memerintahkan agar kita memaafkan dan memohonkan ampun bagi orang lain, serta bermusyawarah dalam menyelesaikan urusan (Ali Imran, 159). Ini menunjukkan bahwa seorang Muslim dilarang untuk merasa marah dan membawa dendam, sesuai dengan perintah Allah. Hal ini juga konsisten dengan hadis yang menyatakan bahwa 'tidak akan masuk surga bagi orang yang marah'. Dengan demikian, seorang Muslim telah diberikan petunjuk oleh Allah untuk mengikuti perintah-Nya, dan Rasulullah telah memberikan contoh dalam kehidupan sehari-hari.
 
Jangan sampai kita sebagai umat Muslim diberi sakit di dunia tetapi tidak pernah mohon ampun kepada Allah Ta Ala kemudian di akhirat dia juga masih harus mempertanggungjawabkan dosa di titik itu padahal sudah ada Al-Quran sebagai petunjuk yang harus diikuti dan sebagai rahmat supaya mendapat ridho Allah SWT. Semoga pengetahuan ini dapat menjadi solusi dan bermanfaat dalam introspeksi diri dan menambah keimanan kita kepada Allah SWT karena sesungguhnya kita sebagai manusia tidak akan luput dari kesalahan, masih ada waktu untuk memperbaiki diri ini atas ijin Allah kembalilah ke jalan Allah SWT amiin ya rabbal alamin.

*Penulis merupakan Dosen Politeknik Negeri Pontianak, tengah mengambil pendidikan doktor di Universiti Malaysia Sarawak

Pewarta : *Lelly Marini
Editor : Teguh Imam Wibowo
Copyright © ANTARA 2024