Semarang (ANTARA) - Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu menegaskan penanganan stunting harus dilakukan oleh lintas sektor, termasuk melibatkan peran pengusaha melalui CSR (corporate social responsibility/tanggung jawab sosial perusahaan).
"Kegiatan penurunan angka stunting di Semarang tidak hanya soal PMT (Pemberian Makanan Tambahan) saja, namun secara menyeluruh," kata Ita, sapaan akrab Hevearita, di Semarang, Senin.
Hal tersebut disampaikan Ita saat Rakerda Program Bangga Kencana dan Percepatan Penurunan Stunting Jateng 2023 yang diselenggarakan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Ita menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga penyebab stunting yang saling beririsan, yakni pertama karena asupan gizi yang merupakan ranah Dinas Kesehatan dan Dinas Ketahanan Pangan.
"Kedua pola asuh. Ini wilayahnya Disdalduk (Dinas Pengendalian Penduduk dan KB) dan DP3A (Dinas Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak)," katanya.
Ketiga, kata dia, berkaitan dengan sanitasi dan lingkungan yang persoalannya menjadi domain infrastruktur, yakni Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman, serta Dinas Pekerjaan Umum.
"Ini tidak bisa hanya Disdalduk atau Dinkes saja, kepala daerah juga harus mengajak para pengusaha untuk ikut terlibat," jelasnya.
Program penurunan angka stunting pun juga memerlukan implementasi di lapangan dan inovasi, dengan meminimalkan kegiatan seperti sosialisasi yang dinilainya tidak efektif.
Sejumlah inovasi pun kemudian dikembangkan oleh Pemkot Semarang, seperti Pelangi Nusantara (Pelayanan Gizi dan Penyuluhan Kesehatan Anak Serta Remaja), Rumah Gizi, hingga SiBening (Semua Ikut Bergerak Bersama Menangani Stunting).
Terbaru, Ita mengungkapkan sedang menyiapkan program daycare khusus stunting bernama Rumah Pelita (Rumah Penanganan Stunting Lintas Sektor Bagi Baduta).
“Kami menargetkan untuk ibu-ibu yang anaknya stunting karena pola asuh, yakni ibu-ibu pekerja," katanya.
Proyek percontohan daycare stunting dimulai dari Kecamatan Semarang Barat, dan ke depan akan dibangun di 47 kelurahan dengan sejumlah fasilitas, seperti pendampingan psikologis serta menu makan khusus baduta stunting.
Angka prevalensi stunting di Semarang saat ini sebesar 1,4 persen, atau terus menurun dari tahun sebelumnya, dan ditargetkan pada akhir tahun 2023 bisa mencapai nol persen.
Sementara itu, Kepala Perwakilan BKKBN Jateng Widwiono mengungkapkan jika capaian penurunan angka stunting di Kota Semarang adalah hal yang spektakuler.
"Ini tidak ujug-ujug (tiba-tiba). Hebatnya, Kota Semarang sudah jauh ke depan dengan melakukan kegiatan daycare khusus untuk stunting," kata Widwiono.
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo yang hadir dalam forum tersebut juga mengakui bahwa Wali Kota Semarang Hevearita menunjukkan komitmen dengan berhasil membuat sejumlah program inovatif.
"Bu wali kota tidak hanya memberikan contoh best practise membuat menu makanan, namun juga membuat kebijakan yang luar biasa," kata Hasto.
Baca juga: BKKBN puji penanganan tengkes di Jateng, minta daerah lain untuk replikasi
Baca juga: Hasil SSGI 2022: Prevalensi tengkes di Jateng 20,8 persen
Baca juga: Siti Atikoh : Ibu hamil perlu kenali masakan sehat cegah tengkes
"Kegiatan penurunan angka stunting di Semarang tidak hanya soal PMT (Pemberian Makanan Tambahan) saja, namun secara menyeluruh," kata Ita, sapaan akrab Hevearita, di Semarang, Senin.
Hal tersebut disampaikan Ita saat Rakerda Program Bangga Kencana dan Percepatan Penurunan Stunting Jateng 2023 yang diselenggarakan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Ita menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga penyebab stunting yang saling beririsan, yakni pertama karena asupan gizi yang merupakan ranah Dinas Kesehatan dan Dinas Ketahanan Pangan.
"Kedua pola asuh. Ini wilayahnya Disdalduk (Dinas Pengendalian Penduduk dan KB) dan DP3A (Dinas Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak)," katanya.
Ketiga, kata dia, berkaitan dengan sanitasi dan lingkungan yang persoalannya menjadi domain infrastruktur, yakni Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman, serta Dinas Pekerjaan Umum.
"Ini tidak bisa hanya Disdalduk atau Dinkes saja, kepala daerah juga harus mengajak para pengusaha untuk ikut terlibat," jelasnya.
Program penurunan angka stunting pun juga memerlukan implementasi di lapangan dan inovasi, dengan meminimalkan kegiatan seperti sosialisasi yang dinilainya tidak efektif.
Sejumlah inovasi pun kemudian dikembangkan oleh Pemkot Semarang, seperti Pelangi Nusantara (Pelayanan Gizi dan Penyuluhan Kesehatan Anak Serta Remaja), Rumah Gizi, hingga SiBening (Semua Ikut Bergerak Bersama Menangani Stunting).
Terbaru, Ita mengungkapkan sedang menyiapkan program daycare khusus stunting bernama Rumah Pelita (Rumah Penanganan Stunting Lintas Sektor Bagi Baduta).
“Kami menargetkan untuk ibu-ibu yang anaknya stunting karena pola asuh, yakni ibu-ibu pekerja," katanya.
Proyek percontohan daycare stunting dimulai dari Kecamatan Semarang Barat, dan ke depan akan dibangun di 47 kelurahan dengan sejumlah fasilitas, seperti pendampingan psikologis serta menu makan khusus baduta stunting.
Angka prevalensi stunting di Semarang saat ini sebesar 1,4 persen, atau terus menurun dari tahun sebelumnya, dan ditargetkan pada akhir tahun 2023 bisa mencapai nol persen.
Sementara itu, Kepala Perwakilan BKKBN Jateng Widwiono mengungkapkan jika capaian penurunan angka stunting di Kota Semarang adalah hal yang spektakuler.
"Ini tidak ujug-ujug (tiba-tiba). Hebatnya, Kota Semarang sudah jauh ke depan dengan melakukan kegiatan daycare khusus untuk stunting," kata Widwiono.
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo yang hadir dalam forum tersebut juga mengakui bahwa Wali Kota Semarang Hevearita menunjukkan komitmen dengan berhasil membuat sejumlah program inovatif.
"Bu wali kota tidak hanya memberikan contoh best practise membuat menu makanan, namun juga membuat kebijakan yang luar biasa," kata Hasto.
Baca juga: BKKBN puji penanganan tengkes di Jateng, minta daerah lain untuk replikasi
Baca juga: Hasil SSGI 2022: Prevalensi tengkes di Jateng 20,8 persen
Baca juga: Siti Atikoh : Ibu hamil perlu kenali masakan sehat cegah tengkes