Semarang (ANTARA) - Kini giliran Komisi II DPR RI yang akan menentukan tujuh orang anggota terpilih Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan lima orang anggota terpilih Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
Komisi yang membidangi pemilu inilah yang akan menentukan siapa yang kelak menjadi penyelenggara pemilu dalam megapesta demokrasi pada tahun 2024. Pesta demokrasi 5 tahunan ini bakal masuk dalam catatan sejarah kepemiluan di Indonesia karena pelaksanaan pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) pada tahun yang sama.
Oleh karena itu, setelah Presiden menyerahkan daftar nama calon anggota penyelenggara pemilu ke DPR, Komisi II harus benar-benar selektif ketika melakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) terhadap calon anggota KPU dan calon anggota Bawaslu.
Kendati demikian, jangan sampai mengabaikan peraturan perundang-undangan, khususnya terkait dengan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen pada lembaga penyelenggara pemilu.
Sebelumnya, pada tanggal 6 Januari 2022, Tim Seleksi Calon Anggota KPU dan Calon Anggota Bawaslu Masa Jabatan Tahun 2022—2027 (Timsel) telah menyerahkan 14 nama calon anggota KPU dan 10 nama calon anggota Bawaslu untuk periode masa jabatan 2022—2027. Berdasarkan keputusan Timsel Nomor: 358/TIMSEL/I/2022, ditetapkan 14 calon anggota KPU dan 10 calon anggota Bawaslu.
Adapun keempat belas nama calon anggota KPU yang terdiri atas 10 orang laki-laki dan empat orang perempuan tersebut, yaitu August Mellaz, Betty Epsilon Idroos, Dahliah, Hasyim Asy'ari, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, Idham Holik, Iffa Rosita, Iwan Rompo Banne, Mochammad Afifuddin, Muchamad Ali Safa'at, Parsadaan Harahap, Viryan, Yessy Yatty Momongan, dan Yulianto Sudrajat.
Sementara itu, kesepuluh calon anggota Bawaslu terdiri atas tujuh orang laki-laki dan tiga orang perempuan, yaitu Aditya Perdana, Andi Tenri Sompa, Fritz Edward Siregar, Herwyn Jefler Hielsa Malonda, Lolly Suhenty, Mardiana Rusli, Puadi, Rahmat Bagja, Subair, dan Totok Hariyono.
Dari sejumlah nama tersebut terdapat empat orang perempuan calon anggota KPU atau setara 28,57 persen dan tiga orang calon anggota Bawaslu atau setara 30 persen.
Setelah mengetahui nama-nama calon penyelenggara pemilu tersebut, pegiat pemilu Titi Anggraini pun angkat bicara. Dari sisi jumlah, di Bawaslu telah terpenuhi ambang batas 30 persen minimal afirmasi keterwakilan perempuan. Dengan jumlah tersebut, dia lantas berharap mampu mendorong keadilan dan kesetaraan akses perempuan di lembaga penyelenggara pemilu.
Namun, terkait dengan jumlah calon anggota KPU masih kurang dari apa yang diatur oleh Pasal 10 ayat (7) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sempat dipertanyakan Titi Anggraini yang juga anggota Dewan Pembina Perludem.
Dalam Pasal 10 ayat (7) UU Pemilu disebutkan bahwa komposisi keanggotaan KPU, keanggotaan KPU provinsi, dan keanggotaan KPU kabupaten/kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
Sublema "memperhatikan", menurut Titi Anggraini, mesti ditempatkan sebagai komitmen utama oleh Timsel, bukan sebagai pilihan yang boleh ada atau tidak. Pasalnya, penggunaan "memperhatikan" tentu bukan untuk pelengkap saja, melainkan sebagai penekanan prioritas yang diupayakan penuh oleh para pihak yang terlibat di dalamnya.
Apalagi, jumlah pemilih Indonesia di setiap pemilu dan pilkada setengahnya adalah perempuan. Maka, sudah seharusnya perspektif dan paradigma adil gender juga terinternalisasi di kelembagaan penyelenggara pemilu melalui kehadiran komisioner-komisioner perempuan.
Padahal, lanjut Titi Anggraini, dari total 28 peserta yang mengikuti seleksi tahap ketiga sebelum mengirim nama-nama calon kepada Presiden, terdapat 10 orang calon anggota KPU perempuan.
Artinya, tersedia pilihan yang cukup, kredibel, kompeten, dan layak untuk bisa dipertimbangkan oleh Timsel guna mengisi formasi keterwakilan perempuan, bahkan dengan komposisi 50:50 sekalipun.
Aspirasi Kaum Hawa
Sebelum Timsel mengajukan 14 nama calon anggota KPU dan 10 nama calon anggota Bawaslu kepada Presiden, sekumpulan perempuan yang secara individual menggabungkan diri dalam Maju Perempuan Indonesia (MPI) menyampaikan aspirasinya kepada Ketua Timsel Juri Ardiantoro beserta Wakil Ketua Chandra Hamzah dan Sekretaris Bachtiar serta anggota Timsel lainnya.
Berdasarkan catatan MPI yang disampaikan oleh Koordinator MPI Lena Maryana Mukti kepada Timsel, Rabu (1 Desember 2021), disebutkan bahwa jumlah perempuan di KPU/Bawaslu RI alami penurunan.
Pada Pemilu 1999, terdapat lima perempuan dari 30 orang panitia pengawas (panwas), yaitu Miriam Budiarjo, Zakiah Daradjat, Roesita Noer, Titi Anggraini, dan Ari Purwanti. Jumlah ini kemudian mengalami penurunan pada Pemilu 2004. Tercatat ada dua perempuan di KPU RI, yakni Chusnul Mar'iyah dan Valina Singka. Sementara itu, di Bawaslu RI hanya Nurjanah Djohantini.
Pasca-UU Nomor 22 Tahun 2007 yang mengamanatkan 30 persen keterwakilan perempuan dalam penyelenggara pemilu, terpilih 30 persen perempuan (Endang Sulastri, Sri Nuryanti, dan Andi Nurpati) di KPU RI, dan 50 persen lebih (Wahidah Suaib, Wirdyaningsih, dan Agustiani T.F. Sitorus) di Bawaslu RI sebagai penyelenggara Pemilu 2009.
Persoalan muncul pada Pemilu 2014. Timsel selalu menyiapkan 30 persen keterwakilan perempuan dalam daftar calon penyelenggara pemilu. Akan tetapi, DPR hanya memilih satu perempuan untuk KPU dan Bawaslu.
Pada Pemilu 2014 hanya Ida Budhiati di KPU, sementara di Bawaslu hanya Endang Wihdatiningtyas. Pemilihan umum berikutnya, Pemilu 2019, terulang hal yang sama. Hanya terpilih Evi Novida Ginting untuk KPU, dan Dewi Pettalolo untuk Bawaslu.
Agar hal itu tidak terulang kembali Titi Anggraini mengusulkan mekanisme pemilihan anggota KPU dan Bawaslu RI dengan sistem paket yang di dalamnya memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.
Dalam hal ini, setiap anggota memilih tujuh nama untuk KPU dan lima nama untuk Bawaslu yang di dalamnya terdapat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.
Dengan demikian, ada tiga perempuan dari tujuh nama yang dipilih sebagai calon anggota KPU. Begitu pula calon anggota Bawaslu terdapat dua perempuan dari lima nama yang dipilih sebagai calon anggota Bawaslu.
Usulan ini merupakan salah satu cara agar DPR mampu menunjukkan komitmennya pada pemilu inklusif melalui kehadiran keterwakilan perempuan secara memadai dan layak.
Komisi yang membidangi pemilu inilah yang akan menentukan siapa yang kelak menjadi penyelenggara pemilu dalam megapesta demokrasi pada tahun 2024. Pesta demokrasi 5 tahunan ini bakal masuk dalam catatan sejarah kepemiluan di Indonesia karena pelaksanaan pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) pada tahun yang sama.
Oleh karena itu, setelah Presiden menyerahkan daftar nama calon anggota penyelenggara pemilu ke DPR, Komisi II harus benar-benar selektif ketika melakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) terhadap calon anggota KPU dan calon anggota Bawaslu.
Kendati demikian, jangan sampai mengabaikan peraturan perundang-undangan, khususnya terkait dengan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen pada lembaga penyelenggara pemilu.
Sebelumnya, pada tanggal 6 Januari 2022, Tim Seleksi Calon Anggota KPU dan Calon Anggota Bawaslu Masa Jabatan Tahun 2022—2027 (Timsel) telah menyerahkan 14 nama calon anggota KPU dan 10 nama calon anggota Bawaslu untuk periode masa jabatan 2022—2027. Berdasarkan keputusan Timsel Nomor: 358/TIMSEL/I/2022, ditetapkan 14 calon anggota KPU dan 10 calon anggota Bawaslu.
Adapun keempat belas nama calon anggota KPU yang terdiri atas 10 orang laki-laki dan empat orang perempuan tersebut, yaitu August Mellaz, Betty Epsilon Idroos, Dahliah, Hasyim Asy'ari, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, Idham Holik, Iffa Rosita, Iwan Rompo Banne, Mochammad Afifuddin, Muchamad Ali Safa'at, Parsadaan Harahap, Viryan, Yessy Yatty Momongan, dan Yulianto Sudrajat.
Sementara itu, kesepuluh calon anggota Bawaslu terdiri atas tujuh orang laki-laki dan tiga orang perempuan, yaitu Aditya Perdana, Andi Tenri Sompa, Fritz Edward Siregar, Herwyn Jefler Hielsa Malonda, Lolly Suhenty, Mardiana Rusli, Puadi, Rahmat Bagja, Subair, dan Totok Hariyono.
Dari sejumlah nama tersebut terdapat empat orang perempuan calon anggota KPU atau setara 28,57 persen dan tiga orang calon anggota Bawaslu atau setara 30 persen.
Setelah mengetahui nama-nama calon penyelenggara pemilu tersebut, pegiat pemilu Titi Anggraini pun angkat bicara. Dari sisi jumlah, di Bawaslu telah terpenuhi ambang batas 30 persen minimal afirmasi keterwakilan perempuan. Dengan jumlah tersebut, dia lantas berharap mampu mendorong keadilan dan kesetaraan akses perempuan di lembaga penyelenggara pemilu.
Namun, terkait dengan jumlah calon anggota KPU masih kurang dari apa yang diatur oleh Pasal 10 ayat (7) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sempat dipertanyakan Titi Anggraini yang juga anggota Dewan Pembina Perludem.
Dalam Pasal 10 ayat (7) UU Pemilu disebutkan bahwa komposisi keanggotaan KPU, keanggotaan KPU provinsi, dan keanggotaan KPU kabupaten/kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
Sublema "memperhatikan", menurut Titi Anggraini, mesti ditempatkan sebagai komitmen utama oleh Timsel, bukan sebagai pilihan yang boleh ada atau tidak. Pasalnya, penggunaan "memperhatikan" tentu bukan untuk pelengkap saja, melainkan sebagai penekanan prioritas yang diupayakan penuh oleh para pihak yang terlibat di dalamnya.
Apalagi, jumlah pemilih Indonesia di setiap pemilu dan pilkada setengahnya adalah perempuan. Maka, sudah seharusnya perspektif dan paradigma adil gender juga terinternalisasi di kelembagaan penyelenggara pemilu melalui kehadiran komisioner-komisioner perempuan.
Padahal, lanjut Titi Anggraini, dari total 28 peserta yang mengikuti seleksi tahap ketiga sebelum mengirim nama-nama calon kepada Presiden, terdapat 10 orang calon anggota KPU perempuan.
Artinya, tersedia pilihan yang cukup, kredibel, kompeten, dan layak untuk bisa dipertimbangkan oleh Timsel guna mengisi formasi keterwakilan perempuan, bahkan dengan komposisi 50:50 sekalipun.
Aspirasi Kaum Hawa
Sebelum Timsel mengajukan 14 nama calon anggota KPU dan 10 nama calon anggota Bawaslu kepada Presiden, sekumpulan perempuan yang secara individual menggabungkan diri dalam Maju Perempuan Indonesia (MPI) menyampaikan aspirasinya kepada Ketua Timsel Juri Ardiantoro beserta Wakil Ketua Chandra Hamzah dan Sekretaris Bachtiar serta anggota Timsel lainnya.
Berdasarkan catatan MPI yang disampaikan oleh Koordinator MPI Lena Maryana Mukti kepada Timsel, Rabu (1 Desember 2021), disebutkan bahwa jumlah perempuan di KPU/Bawaslu RI alami penurunan.
Pada Pemilu 1999, terdapat lima perempuan dari 30 orang panitia pengawas (panwas), yaitu Miriam Budiarjo, Zakiah Daradjat, Roesita Noer, Titi Anggraini, dan Ari Purwanti. Jumlah ini kemudian mengalami penurunan pada Pemilu 2004. Tercatat ada dua perempuan di KPU RI, yakni Chusnul Mar'iyah dan Valina Singka. Sementara itu, di Bawaslu RI hanya Nurjanah Djohantini.
Pasca-UU Nomor 22 Tahun 2007 yang mengamanatkan 30 persen keterwakilan perempuan dalam penyelenggara pemilu, terpilih 30 persen perempuan (Endang Sulastri, Sri Nuryanti, dan Andi Nurpati) di KPU RI, dan 50 persen lebih (Wahidah Suaib, Wirdyaningsih, dan Agustiani T.F. Sitorus) di Bawaslu RI sebagai penyelenggara Pemilu 2009.
Persoalan muncul pada Pemilu 2014. Timsel selalu menyiapkan 30 persen keterwakilan perempuan dalam daftar calon penyelenggara pemilu. Akan tetapi, DPR hanya memilih satu perempuan untuk KPU dan Bawaslu.
Pada Pemilu 2014 hanya Ida Budhiati di KPU, sementara di Bawaslu hanya Endang Wihdatiningtyas. Pemilihan umum berikutnya, Pemilu 2019, terulang hal yang sama. Hanya terpilih Evi Novida Ginting untuk KPU, dan Dewi Pettalolo untuk Bawaslu.
Agar hal itu tidak terulang kembali Titi Anggraini mengusulkan mekanisme pemilihan anggota KPU dan Bawaslu RI dengan sistem paket yang di dalamnya memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.
Dalam hal ini, setiap anggota memilih tujuh nama untuk KPU dan lima nama untuk Bawaslu yang di dalamnya terdapat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.
Dengan demikian, ada tiga perempuan dari tujuh nama yang dipilih sebagai calon anggota KPU. Begitu pula calon anggota Bawaslu terdapat dua perempuan dari lima nama yang dipilih sebagai calon anggota Bawaslu.
Usulan ini merupakan salah satu cara agar DPR mampu menunjukkan komitmennya pada pemilu inklusif melalui kehadiran keterwakilan perempuan secara memadai dan layak.