Magelang (ANTARA) - Festival Lima Gunung XX/2021 putaran kedua di persawahan Dusun Sudimoro, Desa Baleagung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu, menjadi ungkapan bersama para seniman petani Komunitas Lima Gunung untuk keselamatan nilai-nilai kemanusiaan dari pandemi COVID-19.
Para perwakilan tokoh komunitas dari kawasan lima gunung yang mengelilingi Kabupaten Magelang itu, melanjutkan festival tahunan secara mandiri mereka dengan jumlah peserta terbatas, sekitar 50 orang.
Mereka juga menerapkan protokol kesehatan guna mencegah penularan COVID-19, terutama terkait dengan pemakaian masker, pengaturan jarak, dan tanpa penonton bersifat massa. Kawasan lima gunung itu, meliputi Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh.
Baca juga: Telaah - Keteladanan hidup altruisme Riyadi, tokoh Komunitas Lima Gunung
Festival mereka tahun ini untuk putaran pertama berlangsung di sumber air Tlompak Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang pada 21 Mei 2021. Tema festival tahun ini, "Peradaban Desa".
Puncak lanjutan festival pada Minggu siang, ditandai dengan ungkapan pengharapan dan doa melalui tembang berbahasa Jawa, Dandanggula dan Singgah-Singgah, yang dilantunkan Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto ditimpali suluk oleh dalang Komunitas Lima Gunung yang juga Kepala Dusun Sudimoro Sih Agung Prasetyo.
Keduanya memainkan performa di areal persawahan diiringi suara macam-macam satwa yang disajikan secara bersahut-sahutan oleh anak-anak dusun setempat, sambil tetap memegang properti wayang gunungan. Tak ada tabuhan alat musik dan perangkat tata suara dalam lanjutan festival itu, sebagaimana festival mereka sebelum pandemi.
"Semoga kita semua melewati pandemi dengan selamat. Warga Sudimoro, warga Baleagung, dan Komunitas Lima Gunung dan kita semua berolah rahayu," demikian sepenggal terjemahan suluk yang disajikan dalang Sih Agung.
Mereka yang mengikuti festival itu kemudian meneriakkan yel-yel "Rahayu!".
Baca juga: Salah satu tokoh Komunitas Lima Gunung berpulang
Hadir pada putaran kedua festival itu, antara lain budayawan Magelang yang juga perintis Komunitas Lima Gunung, sekitar dua dasa warsa lalu, Sutanto Mendut, Kepala Desa Baleagung (Kecamatan Grabag) Nur Muhammad Solikhin, dan penari berasal dari Equador yang sekitar dua tahun terakhir di Indonesia, Cristina Duque.
Sejumlah mahasiswa Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta yang menjalani kuliah kerja nyata sebulan terakhir di dusun itu juga terlibat dalam menyiapkan penyelenggaraan putaran kedua Festival Lima Gunung XIX/2021 di tengah pandemi.
Budayawan Magelang Sutanto Mendut berpidato dalam putaran kedua Festival Lima Gunung XX/2021 bertema "Peradaban Desa" di areal sawah Dusun Sudimoro, Desa Baleagung, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (29/8/2021). (ANTARA/Hari Atmoko)
Lanjutan festival ditandai dengan kirab sekitar 20 anak dusun setempat yang masing-masing mengenakan masker dan membawa properti berupa gunungan wayang kontemper.
Sedangkan Cristina, penari Komunitas Lima Gunung Lyra de Blaw dan Agus Gumuk Warangan, masing-masing mengenakan alat pelindung diri (APD) COVID-19 berperforma di sepanjang jalan sekitar satu kilometer dari rumah Kepala Dusun Sudimoro Sih Agung Praseyo, ke areal persawahan tepi dusun setempat.
Tak ada penonton festival sekitar 1,5 jam tersebut. Sejumlah warga setempat berdiri di depan rumah masing-masing menyaksikan kirab sederhana mereka.
Dalam balutan sajian performa seni oleh sejumlah seniman di areal sawah itu, mereka menyimak ungkapan dua anak, masing-masing Riski dan Reihan, tentang kegiatan belajar mengajar di Sekolah Dasar masing-masing secara daring selama ini karena pandemi.
Dua di antara empat petani yang berperforma mencangkul sawah, masing-masing Akhadi dan Slamet Sutopo, mengungkapkan semangat petani tetap mengolah lahan pertanian demi memuliakan alam dan memperoleh penghidupan, meskipun harus menghadapi berbagai tantangan, seperti hama dan penyakit tanaman, ketercukupan pupuk dan irigasi terutama saat musim kemarau, dan harga panenan yang sering anjlok.
"Tidak bisa tidak, tetap berusaha (mengolah pertanian, red.), meskipun sekarang sedang ada (pandemi, red.) COVID-19, sifatnya ikhtiar. Kami juga mengharapkan hidup yang tenteram, terbebas dari COVID-19, dan sejahtera," kata Sutopo (71) yang masa mudanya bermain untuk sejumlah kesenian tradisional, seperti Jaran Kepang Papat, Soreng, dan Ketoprak.
Baca juga: Peluncuran Hari Peradaban Desa tandai pembukaan Festival Lima Gunung
Kades Nur Solikhin mengapresiasi komunitas itu menggelar lanjutan festival di wilayahnya karena menjadi wujud semangat tetap berkesenian dan melestarikan tradisi budaya petani.
"Desa menjadi tiang dan tonggak kehidupan. Desa apapun, masyarakat dalam naungan pertanian. Desa sumber kehidupan," ujarnya.
Budayawan Sutanto Mendut dalam pidato kebudayaannya, antara lain mengemukakan pentingnya kehadiran pemimpin di berbagai belahan dunia, terutama dalam menghadapi situasi pandemi saat ini, menjadi pemimpin manusia.
"Menjadi pemimpin itu pemimpin manusia, bukan sebatas negara dan bangsa," katanya sambil menyebut sejumlah nama kepala negara di berbagai tempat di dunia.
Baca juga: Pentas wayang pelat Komunitas Lima Gunung sosialisasikan vaksinasi COVID-19
Para perwakilan tokoh komunitas dari kawasan lima gunung yang mengelilingi Kabupaten Magelang itu, melanjutkan festival tahunan secara mandiri mereka dengan jumlah peserta terbatas, sekitar 50 orang.
Mereka juga menerapkan protokol kesehatan guna mencegah penularan COVID-19, terutama terkait dengan pemakaian masker, pengaturan jarak, dan tanpa penonton bersifat massa. Kawasan lima gunung itu, meliputi Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh.
Baca juga: Telaah - Keteladanan hidup altruisme Riyadi, tokoh Komunitas Lima Gunung
Festival mereka tahun ini untuk putaran pertama berlangsung di sumber air Tlompak Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang pada 21 Mei 2021. Tema festival tahun ini, "Peradaban Desa".
Puncak lanjutan festival pada Minggu siang, ditandai dengan ungkapan pengharapan dan doa melalui tembang berbahasa Jawa, Dandanggula dan Singgah-Singgah, yang dilantunkan Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto ditimpali suluk oleh dalang Komunitas Lima Gunung yang juga Kepala Dusun Sudimoro Sih Agung Prasetyo.
Keduanya memainkan performa di areal persawahan diiringi suara macam-macam satwa yang disajikan secara bersahut-sahutan oleh anak-anak dusun setempat, sambil tetap memegang properti wayang gunungan. Tak ada tabuhan alat musik dan perangkat tata suara dalam lanjutan festival itu, sebagaimana festival mereka sebelum pandemi.
"Semoga kita semua melewati pandemi dengan selamat. Warga Sudimoro, warga Baleagung, dan Komunitas Lima Gunung dan kita semua berolah rahayu," demikian sepenggal terjemahan suluk yang disajikan dalang Sih Agung.
Mereka yang mengikuti festival itu kemudian meneriakkan yel-yel "Rahayu!".
Baca juga: Salah satu tokoh Komunitas Lima Gunung berpulang
Hadir pada putaran kedua festival itu, antara lain budayawan Magelang yang juga perintis Komunitas Lima Gunung, sekitar dua dasa warsa lalu, Sutanto Mendut, Kepala Desa Baleagung (Kecamatan Grabag) Nur Muhammad Solikhin, dan penari berasal dari Equador yang sekitar dua tahun terakhir di Indonesia, Cristina Duque.
Sejumlah mahasiswa Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta yang menjalani kuliah kerja nyata sebulan terakhir di dusun itu juga terlibat dalam menyiapkan penyelenggaraan putaran kedua Festival Lima Gunung XIX/2021 di tengah pandemi.
Lanjutan festival ditandai dengan kirab sekitar 20 anak dusun setempat yang masing-masing mengenakan masker dan membawa properti berupa gunungan wayang kontemper.
Sedangkan Cristina, penari Komunitas Lima Gunung Lyra de Blaw dan Agus Gumuk Warangan, masing-masing mengenakan alat pelindung diri (APD) COVID-19 berperforma di sepanjang jalan sekitar satu kilometer dari rumah Kepala Dusun Sudimoro Sih Agung Praseyo, ke areal persawahan tepi dusun setempat.
Tak ada penonton festival sekitar 1,5 jam tersebut. Sejumlah warga setempat berdiri di depan rumah masing-masing menyaksikan kirab sederhana mereka.
Dalam balutan sajian performa seni oleh sejumlah seniman di areal sawah itu, mereka menyimak ungkapan dua anak, masing-masing Riski dan Reihan, tentang kegiatan belajar mengajar di Sekolah Dasar masing-masing secara daring selama ini karena pandemi.
Dua di antara empat petani yang berperforma mencangkul sawah, masing-masing Akhadi dan Slamet Sutopo, mengungkapkan semangat petani tetap mengolah lahan pertanian demi memuliakan alam dan memperoleh penghidupan, meskipun harus menghadapi berbagai tantangan, seperti hama dan penyakit tanaman, ketercukupan pupuk dan irigasi terutama saat musim kemarau, dan harga panenan yang sering anjlok.
"Tidak bisa tidak, tetap berusaha (mengolah pertanian, red.), meskipun sekarang sedang ada (pandemi, red.) COVID-19, sifatnya ikhtiar. Kami juga mengharapkan hidup yang tenteram, terbebas dari COVID-19, dan sejahtera," kata Sutopo (71) yang masa mudanya bermain untuk sejumlah kesenian tradisional, seperti Jaran Kepang Papat, Soreng, dan Ketoprak.
Baca juga: Peluncuran Hari Peradaban Desa tandai pembukaan Festival Lima Gunung
Kades Nur Solikhin mengapresiasi komunitas itu menggelar lanjutan festival di wilayahnya karena menjadi wujud semangat tetap berkesenian dan melestarikan tradisi budaya petani.
"Desa menjadi tiang dan tonggak kehidupan. Desa apapun, masyarakat dalam naungan pertanian. Desa sumber kehidupan," ujarnya.
Budayawan Sutanto Mendut dalam pidato kebudayaannya, antara lain mengemukakan pentingnya kehadiran pemimpin di berbagai belahan dunia, terutama dalam menghadapi situasi pandemi saat ini, menjadi pemimpin manusia.
"Menjadi pemimpin itu pemimpin manusia, bukan sebatas negara dan bangsa," katanya sambil menyebut sejumlah nama kepala negara di berbagai tempat di dunia.
Baca juga: Pentas wayang pelat Komunitas Lima Gunung sosialisasikan vaksinasi COVID-19