Purwokerto (ANTARA) - Pakar hukum tata negara dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Profesor Muhammad Fauzan memberikan apresiasi atas terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2021 tentang Pemberian Persetujuan Presiden terhadap Rancangan Peraturan Menteri/Kepala Lembaga.
"Secara prinsip dan substansi, saya setuju biar nanti peraturan menteri atau peraturan kepala lembaga yang mungkin diamanatkan oleh peraturan presiden misalnya, itu ada konsistensi," kata Prof. Muhammad Fauzan saat dihubungi di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat.
Dalam hal ini, kata dia, peraturan menteri/kepala lembaga tersebut direviu dahulu di lembaga kepresidenan atau staf kepresidenan atau bagian dari pemerintah yang menangani peraturan perundang-undangan.
Baca juga: Hibnu Nugroho: Penggunaan dana aspirasi legislator harus sesuai RAB
Ia mengatakan bahwa semua itu demi menjaga konsistensi atau keselarasan penyelenggaraan pemerintahan dan menjaga arah kebijakan pembangunan nasional.
"Saya pikir hal yang bagus itu (Perpres 68/2021, red.). Ini untuk konsistensi antarperaturan. Jadi, kalau peraturan presiden sudah keluar, kemudian dari peraturan presiden itu mengamanatkan untuk dibentuk (dan) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri, misalnya, itu agar ada konsistensi, ya, bagus-bagus saja itu," katanya menegaskan.
Fauzan menduga terbitnya Perpres 68/2021 karena selama ini disinyalir ada peraturan menteri/kepala lembaga yang kadang-kadang tidak sesuai atau tidak selaras dengan peraturan di atasnya.
"Jadi, ini merupakan kebutuhan internal dalam pengertian satu jalur terkait dengan produk peraturan perundang-undangan di bawah lembaga kepresidenan. Jangan sampai peraturan menteri/kepala lembaga itu melenceng, tidak senapas dengan peraturan presiden," katanya.
Saat ditanya apakah pernah menemukan peraturan menteri yang disinyalir melenceng dari peraturan yang lebih tinggi, dia mengaku belum menemukannya.
Akan tetapi, kata dia, Presiden Joko Widodo pernah mengeluhkan banyaknya peraturan sehingga dapat mempersulit diri.
"Presiden 'kan pernah mengeluh dan menyatakan apa-apa diatur 'kan mempersulit diri. Itu 'kan sebenarnya bisa juga di internal peraturan menteri dan sebagainya," kata Fauzan.
Seperti diwartakan, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2021 tentang Pemberian Persetujuan Presiden terhadap Rancangan Peraturan Menteri/Kepala Lembaga.
Ada tiga pertimbangan yang mendorong lahirnya perpres tersebut.
"Dalam rangka menyelaraskan gerak penyelenggaraan pemerintahan dan menjaga arah kebijakan pembangunan nasional, Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan yang tertinggi harus mengetahui setiap kebijakan yang akan ditetapkan oleh menteri/kepala lembaga," demikian disebutkan dalam salinan Perpres 68/2021 sebagaimana termuat dalam laman setkab.go.id yang dilihat di Jakarta, Jumat (27/8).
Pertimbangan kedua adalah "Untuk menghasilkan peraturan menteri/kepala lembaga yang berkualitas, harmonis, tidak sektoral dan tidak menghambat kegiatan masyarakat dan dunia usaha, diperlukan mekanisme pemberian persetujuan presiden terhadap kebijakan yang akan ditetapkan oleh menteri/kepala lembaga dalam bentuk peraturan menteri/kepala lembaga".
Alasan ketiga adalah untuk meminimalkan permasalahan dalam pelaksanaan peraturan menteri/kepala lembaga.
Baca juga: Prof. Faisal Santiago: Santet antara ada dan tiada
Baca juga: Pakar hukum: Perlu UU omnibus law terkait kesehatan agar efektif
"Secara prinsip dan substansi, saya setuju biar nanti peraturan menteri atau peraturan kepala lembaga yang mungkin diamanatkan oleh peraturan presiden misalnya, itu ada konsistensi," kata Prof. Muhammad Fauzan saat dihubungi di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat.
Dalam hal ini, kata dia, peraturan menteri/kepala lembaga tersebut direviu dahulu di lembaga kepresidenan atau staf kepresidenan atau bagian dari pemerintah yang menangani peraturan perundang-undangan.
Baca juga: Hibnu Nugroho: Penggunaan dana aspirasi legislator harus sesuai RAB
Ia mengatakan bahwa semua itu demi menjaga konsistensi atau keselarasan penyelenggaraan pemerintahan dan menjaga arah kebijakan pembangunan nasional.
"Saya pikir hal yang bagus itu (Perpres 68/2021, red.). Ini untuk konsistensi antarperaturan. Jadi, kalau peraturan presiden sudah keluar, kemudian dari peraturan presiden itu mengamanatkan untuk dibentuk (dan) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri, misalnya, itu agar ada konsistensi, ya, bagus-bagus saja itu," katanya menegaskan.
Fauzan menduga terbitnya Perpres 68/2021 karena selama ini disinyalir ada peraturan menteri/kepala lembaga yang kadang-kadang tidak sesuai atau tidak selaras dengan peraturan di atasnya.
"Jadi, ini merupakan kebutuhan internal dalam pengertian satu jalur terkait dengan produk peraturan perundang-undangan di bawah lembaga kepresidenan. Jangan sampai peraturan menteri/kepala lembaga itu melenceng, tidak senapas dengan peraturan presiden," katanya.
Saat ditanya apakah pernah menemukan peraturan menteri yang disinyalir melenceng dari peraturan yang lebih tinggi, dia mengaku belum menemukannya.
Akan tetapi, kata dia, Presiden Joko Widodo pernah mengeluhkan banyaknya peraturan sehingga dapat mempersulit diri.
"Presiden 'kan pernah mengeluh dan menyatakan apa-apa diatur 'kan mempersulit diri. Itu 'kan sebenarnya bisa juga di internal peraturan menteri dan sebagainya," kata Fauzan.
Seperti diwartakan, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2021 tentang Pemberian Persetujuan Presiden terhadap Rancangan Peraturan Menteri/Kepala Lembaga.
Ada tiga pertimbangan yang mendorong lahirnya perpres tersebut.
"Dalam rangka menyelaraskan gerak penyelenggaraan pemerintahan dan menjaga arah kebijakan pembangunan nasional, Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan yang tertinggi harus mengetahui setiap kebijakan yang akan ditetapkan oleh menteri/kepala lembaga," demikian disebutkan dalam salinan Perpres 68/2021 sebagaimana termuat dalam laman setkab.go.id yang dilihat di Jakarta, Jumat (27/8).
Pertimbangan kedua adalah "Untuk menghasilkan peraturan menteri/kepala lembaga yang berkualitas, harmonis, tidak sektoral dan tidak menghambat kegiatan masyarakat dan dunia usaha, diperlukan mekanisme pemberian persetujuan presiden terhadap kebijakan yang akan ditetapkan oleh menteri/kepala lembaga dalam bentuk peraturan menteri/kepala lembaga".
Alasan ketiga adalah untuk meminimalkan permasalahan dalam pelaksanaan peraturan menteri/kepala lembaga.
Baca juga: Prof. Faisal Santiago: Santet antara ada dan tiada
Baca juga: Pakar hukum: Perlu UU omnibus law terkait kesehatan agar efektif