Semarang (ANTARA) - Masalah perumahan menjadi salah satu amanat Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUD NRI ) Tahun 1945.

Dalam Pasal 28 H UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan.

Salah satu kebijakan pokok pemerintah dalam upaya peningkatan sumber daya manusia, di antaranya peningkatan kualitas hidup, baik kualitas manusianya seperti jasmani dan rohani maupun kualitas kehidupannya, misalnya, perumahan dan permukiman yang sehat.

Namun, nonsense masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) mampu menjangkau rumah layak melalui mekanisme pasar formal konvensional tanpa adanya kehadiran negara sama sekali di sana.

Belakangan ini, program perumahan yang menjadi perhatian publik adalah down payment (DP) 0, sampai-sampai pakar perumahan lulusan doktor Universitas Kassel Jerman Dr. -Ing. Asnawi Manaf, S.T. menilai perdebatan soal DP 0 ini ibarat "Jaka sembung bawa golok".

Dalam hal ini, hiruk pikuk soal DP 0, baik bagi MBR di DKI Jakarta maupun daerah lainnya, perlu melihat apakah diskusi ini menyambung satu sama lain antara pengkritik dan dikritik.

Kalau tidak punya acuan atau referensi yang sama di dalam diskusi, akan terjebak debat kusir, tidak pernah ada titik temu di antara mereka. Begitu komentar Asnawi Manaf yang pernah menjadi Wakil Dekan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.

Adapun pengertian masyarakat berpenghasilan rendah, sebagaimana tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, adalah masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah.

Baca juga: Perlu ubah "delivery system" dalam program perumahan bagi rakyat

Undang-undang mengamanatkan negara atau pemerintah wajib memastikan setiap warga negara dapat mengakses salah kebutuhan dasar tersebut secara berkeadilan. Dengan demikian, undang-undang tidak memberikan batasan angka penghasilan tertentu, tetapi menegaskan siapa pun yang memiliki keterbatasan maka masuk dalam kriteria tersebut.

Menurut Asnawi yang juga Kepala Pusat Riset Teknologi Inclusive Housing and Urban Development Research Center (IHUDRC) Undip, tingkat kemampuan MBR untuk mendapatkan rumah yang layak masing-masing daerah berbeda. Misalnya, mereka yang berada di Jakarta dengan di Jawa Tengah.

Angka Batasan
Tidak adanya angka batasan pendapatan tertinggi dapat dipahami karena ini sangat kontekstual terkait di daerah dan wilayah mana saja diterapkan.

Oleh karena itu, untuk menjelaskan hal tersebut perlu peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Peraturan Menteri (Permen) PUPR Nomor 10/PRT/M/2019 tentang Kriteria Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan Persyaratan Kemudahan Perolehan Rumah bagi MBR untuk menerjemahkan secara teknis.

Disebutkan dalam Pasal 10 Permen PUPR bahwa batas penghasilan rumah tangga MBR sama dengan tiga kali nilai angsuran atau biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh rumah secara kredit dengan skema pembiayaan komersial.

Ketentuan berikutnya, nilai angsuran atau biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh rumah secara kredit dengan skema pembiayaan komersial ditentukan berdasarkan biaya perolehan rumah atau biaya pembangunan.

Mengenai biaya perolehan rumah, dihitung untuk tiap daerah provinsi. Di dalam Lampiran II Permen PUPR Nomor 10/PRT/M/2019 terdapat contoh penghitungan batas penghasilan rumah tangga MBR.

Kemampuan MBR mengacu pada undang-undang dan Permen PUPR di atas maka kementerian/lembaga dan kepala daerah perlu berupaya memastikan MBR tersebut dapat mengakses rumah yang layak di berbagai lokasi di Indonesia.

Dalam konteks DP 0, perubahan tentang batasan penghasilan tertinggi tidak perlu diributkan karena sudah sesuai dengan amanat konstitusi, UUD NRI Tahun 1945. Lagi pula, menurut Asnawi, tidak ada larangan bagi mereka yang berpenghasilan di bawah Rp14 juta/bulan, bahkan di bawah Rp7 juta/bulan juga boleh untuk mengakses rumah DP 0 tersebut.

Terkait dengan MBR di bawah Rp7 juta/bulan sempat pula menjadi perhatian pakar perumahan Asnawi Manaf. Masyarakat yang berpenghasilan di bawah Rp7 juta bukan berarti tidak boleh, melainkan memang kemungkinan tidak bisa memenuhi kriteria repayment capacity (kapasitas pembayaran kembali) bila mengikuti skema DP 0 dengan harga rumah/ rumah susun milik (rusunami) yang layak di pasar perumahan formal, apalagi di DKI Jakarta.

Baca juga: Keberlanjutan perumahan berbasis komunitas di tengah pandemi

Nah, tantangannya adalah apakah pemerintah bisa menyediakan harga rumah di pusat kota sebesar Rp400 juta, kemudian menjualnya dengan harga Rp200 juta?

Pemerintah atau badan usaha milik pemerintah bila mengambil peran sebagai penyedia perlu berhati-hati. Masalahnya, jika gap antara market price (harga pasar) dan rumah yang disediakan terlalu tinggi atau jauh, sangat besar kemungkinan terjadinya moral hazard, terutama penyesatan (mislead) kelompok sasaran dari penerima manfaat (beneficiary) program tersebut.

Kenapa? Karena itu bisa disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk membeli rumah yang sangat murah. Hal ini berpotensi berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Masalahnya, kata Asnawi yang juga Kepala Pusat Riset Teknologi Inclusive Housing and Urban Development Research Center (IHUDRC), kalau itu dibangun atau disediakan oleh badan usaha atau perusahaan milik daerah, misalnya, ini bisa masuk dalam kategori kerugian negara, atau dapat pula masuk dalam kategori gratifikasi dalam rangka pilkada atau pemilu untuk menarik konstituen tertentu.

Hal itu mengingat tanah di pusat kota nisbi mahal, kemudian dibuat murah, apalagi dimanfaatkan oleh bukan orang yang berhak.

Rusunawa
Terus bagaimana nasib MBR di bawah Rp7 juta/bulan? Di sinilah perlu skema yang lain, misalnya, rumah susun sewa (rusunawa) atau melalui bedah rumah. Hal ini khusus bagi mereka yang tidak bisa sama sekali mencicil kredit rumah setiap bulan.

Bagi mereka yang bisa membayar bulanan untuk memiliki hunian, dijamin dengan rusunawa di pusat kota dengan sewa Rp500 ribu per bulan, misalnya.

Oleh karena itu, masalah perumahan harus dipahami dalam perspektif yang komprehensif. Masalahnya, sifatnya segmentif (segmentasi), yakni ada yang punya penghasilan sekian, dia harus memiliki menu/pilihan untuk bermukim yang berbeda dengan orang punya penghasilan segmentif yang sekian sampai sekian.

Nah, alternatif-alternatif menu atau pilihan tersebut diusahakan oleh salah satunya kementerian/lembaga atau pemerintah daerah untuk memastikan setiap lapisan masyarakat, setiap segmen masyarakat bisa memiliki tempat tinggal yang layak dan terjangkau.

Dengan demikian, negara itu punya tanggung jawab untuk memastikan seluruh rakyatnya memiliki rumah yang layak dan terjangkau.

Baca juga: Pakar perumahan: Negara harus hadir agar MBR jangkau rumah murah
Baca juga: Jateng pacu perumahan berbasis komunitas untuk kurangi "backlog"

Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024