Magelang (ANTARA) - Budayawan Sutanto Mendut menyampaikan pengunduran diri dari posisi populer sebagai presiden seniman petani kelompok yang dibangun sejak 20 tahun lalu, Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah.

Proklamasi pengunduran dirinya itu disampaikan dengan ungkapan meyakinkan pada putaran ke-10 Festival Lima Gunung XIX/2020, Minggu (8/11), di tengah pandemi COVID-19 yang digelar dengan peserta terbatas di Candi Pendem.

Salah satu di antara tebaran situs candi itu, letaknya sekitar 15 kilometer dari barat daya puncak Gunung Merapi yang aktivitas vulkaniknya saat ini level III (siaga). Satu level lagi sebagai tertinggi, awas, menandakan tingkat tertinggi bahaya erupsi gunung berapi yang wilayahnya meliputi sejumlah kabupaten di perbatasan Jawa Tengah dan Yogyakarta itu.

Baca juga: "Tapak Jaran Sembrani" kirim efikasi budaya hadapi pandemi

"Saya pamit," ujarnya ketika mengakhiri panjang lebar pidatonya di atas dengan lokasi di kawasan antara Kali Pabelan dan Tringsing dengan pagi itu tampak latar belakang Gunung Merapi.

Dalam pidato, selain menyampaikan perjalanan komunitas selama ini, ia juga bertutur tentang sosok-sosok utama, yakni para seniman petani yang kokoh menjalani budaya pertanian di kawasan yang dikelilingi lima gunung itu.

Selama dua dasa warsa terakhir, Tanto Mendut bukan hanya membawa para pegiat komunitas mengolah kesenian, memperkuat tradisi budaya masyarakat dusun-dusun yang menjadi basis komunitas di kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh, atau berdialog tentang kekuatan kultural desa.

Tetapi juga mengantar para seniman petani berjejaring dengan berbagai kalangan, terutama seniman, budayawan, akademisi multidisiplin ilmu, pelaku industri dan ekonomi, baik di dalam maupun luar negeri.

Festival Lima Gunung yang digelar sebagai agenda tahunan secara mandiri atau tanpa sponsor menjadi mahkota emas komunitas. Festival tahun ini dimulai awal Agustus lalu dan rencananya hingga akhir 2020 dengan tempat berpindah-pindah serta menerapkan protokol kesehatan di tengah pandemi.

Putaran kesepuluh festival ke-19 tahun ini di tengah pandemi COVID-19, dengan judul "Suluk Batin Gayatri, Mencari Jejak Virus Peradaban Majapahit" menghadirkan sastrawan dan penulis budaya dari Jakarta, yang juga salah seorang sahabat dekat Tanto Mendut, Bre Redana.

Sejumlah tokoh utama komunitas, seperti Riyadi, Supadi Haryanto, dan Ismanto hadir dalam acara dengan jumlah peserta terbatas --sekitar 30 orang-- karena pandemi, di Candi Pendem di areal pertanian sayuran Dusun Candi Pos, Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.

Suasana alam gunung dan pertanian warga mewarnai putaran kesepuluh festival di candi itu, antara lain latar belakang Gunung Merapi di kejauhan dengan kabut tipisnya, hawa pagi yang hangat, dan kicauan ragam burung, serta bunyi satwa lain.

Ada juga pembacaan guritan tentang sosok Gayatri sebagai inspirator penting semangat Nusantara yang mewujud dalam Sumpah Palapa Patih Gajah Mada, prapeluncuran buku terbaru "Dia Gayatri" dan pidato kebudayaan penulis Bre Redana, performa tari, ritual budaya, serta lantunan suluk.

Rombongan kecil juga menuju lokasi baru temuan situs candi di kawasan Kali Apu Dusun Windusabrang, Desa Wonolelo, Sawangan, Kabupaten Magelang, yang berbatasan dengan Kabupaten Boyolali, serta singgah ke Padepokan Seni Budi Aji yang juga tempat tinggal pemimpin penghayat kepercayaan "Pahoman Sejati" Ki Reksojiwo di Dusun Wonogiri Kidul, Desa Kapuhan, Kecamatan Sawangan.

Pergulatan komunitas dengan Tanto Mendut selama ini, bukan sekadar untuk kepentingan berolah kesenian dan menghidupi berbagai tradisi budaya desa berkelindan dengan keadaan terkini karena perkembangan zaman. Akan tetapi juga membahas dan merefleksikan berbagai isu lokal, nasional, dan global. Studio Mendut, sekitar 100 meter timur Candi Mendut yang dikelola Tanto, menjadi pusat utama aktivitas komunitas.

Pergulatan mereka selama ini menjadi semacam jalan geladi kebudayaan seniman petani, antara lain untuk semakin memperkuat kearifan lokal, penghormatan terhadap perbedaan setiap insan, penghargaan kepada ingkungan alam dan ciptaan, serta kesadaran tentang apa yang selalu disebutnya sebagai manajemen desa.

Sedemikian nyawiji (semangat menyatu) di antara para pegiat utama komunitas, termasuk dalam relasi erat dengan pimpinan tertinggi jalan kebudayaannya itu, Tanto Mendut, tak jarang mereka saling mengungkapkan, "Wis dadi awake dhewe" (keluarga besar).

Oleh karenanya, saat melepaskan diri dari posisi presiden, Tanto juga menyebut hubungan batin tak bisa dilepaskan. Sekitar tiga tahun lalu, ihwal serupa disampaikan juga, tetapi dianulirnya karena para tokoh komunitas dan relasinya di luar kota belum mengikhlaskan.

"Tapi saya yang sekarang ini, yang paling ikhlas," ucapnya.

Biar pun posisi dengan titel presiden kerakyatan telah diruntuhkan sendiri, semangat "nyawiji tetap lekat dan diharapkan makin mendalam melalui relasi bersama mengolah kekayaan batin desa. Bukan semata-mata urusan pentas kesenian dan rutinitas tradisi budaya warga berdasarkan kalender desa.

"Ini perjanjian batin," katanya.

Keputusan melepas kepresidenan dalam kebudayaan Komunitas Lima Gunung, justru melapangkan dirinya untuk membuka ruang-ruang budaya dan waktu pertemuan dengan ragam perbedaan manusia.

Tampaknya, keputusannya itu tidak lepas dari pemikiran dan renungan situasi pandemi virus corona jenis baru selama delapan bulan terakhir. Pandemi justru membuka ruang kehendak perjumpaan manusia yang makin kuat dan intensif melalui pemanfaatan sarana teknologi komunikasi dan informasi.

Dunia maya dan pemakaian perangkat digital di tengah pandemi memberi pelajaran tentang makin terbuka sekat-sekat teritori fisikal dan kewilayahan, serta meluaskan jangkauan keterhubungan dengan keragaman manusia.

Demikian juga para pegiat komunitasnya yang berbasis desa itu, hendak diantar kepada kesadaran memasuki perubahan keterhubungan dan keterjangkauan dengan lainnya melalui sarana itu. Titel presiden dipandang Tanto Mendut hanya makin membuat relasi terlalu berjarak dan tidak relevan di era digital.


Sebutan presiden

Sebutan presiden itu, awalnya ketika pertengahan 2001 Tanto dan sejumlah pegiat komunitas menghadiri pementasan kesenian di Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, di kawasan Gunung Sumbing. Seniman petani setempat tergabung dalam Sanggar Cahyo Budoyo Sumbing, salah satu anggota komunitas.

Ketika rombongan kecil itu tiba, massa sudah berkerumun memadati arena pementasan di halaman gedung sekolah dasar di desa tersebut. Pembawa acara melalui pelantang mengumumkan dengan ucapan, "Selamat datang Bapak Sutanto Mendut, presiden kesenian Indonesia se-Jawa Tengah". Para petugas hansip pun kemudian menyibak kerumunan warga untuk memberi jalan Tanto menuju kursi utama di panggung kehormatan.

"Sebutan itu (presiden, red.) bukan karena dipilih atau diangkat, tetapi pengakuan sosial kepada Pak Tanto. Media menulisnya dan orang di mana-mana kemudian mengatakannya," ujar Supadi Haryanto, Ketua Komunitas Lima Gunung.

Baik Supadi, Ismanto, maupun Riyadi mengemukakan hal yang kira-kira serupa bahwa selama ini banyak orang menyerap pelajaran dan pemaknaan nilai-nilai hidup, serta inspirasi dari Tanto Mendut. Para pegiat komunitas kini menyebut sosok itu sebagai guru.

Bagi Bre Redana, pagi itu Candi Pendem menjadi saksi langkah awal perubahan Komunitas Lima Gunung dari suatu hal wadak kepada batin. Komunitas itu memiliki kekayaan dan pengalaman batin bersama dengan berbasis nilai-nilai budaya petani gunung.

Komunitas sedang mulai menegakkan langkah menuju perubahan jalan kebudayaan karena beroleh pelajaran penting atas dampak pandemi dan keputusan pemimpin tertingginya. Candi Pendem seakan menjadi simbolik karena penampakannya saat ini di legokan di antara areal pertanian, menjadi tanda bahwa pada masa lampau keadaannya sempat terpendam.

Ia mengamini kehendak Tanto Mendut mundur dari posisi presiden seniman petani, justru supaya komunitas tersebut tidak terpaku atau bahkan merasa mapan kepada hal yang wadak. Namun, lebih berolah substansi nilai-nilai budaya dalam batin petani gunung.

"Dalam pandemi kayak gini menyadarkan kita bangunan-bangunan yang gede ini, fungsinya ora sepiroa (tidak seberapa). Semua akan meninggalkan bangunan yang wadak. Tetapi yang utama substansi, hakikat. Bahasa Jawa-nya galih. Spirit, daya hidup," katanya.

Selama ini, Komunitas Lima Gunung dalam rumusannya ibarat kesenian sebagai realisme, sedangkan ke depan bertransformasi menjadi realisme-magis. Komunitas yang kalis justru karena memperkuat kehidupan batin.

Transformasi dari wadak ke batin, barangkali memang tidak segera mudah dipahami warga Komunitas Lima Gunung yang umumnya kalangan seniman petani desa.

Tetapi, itulah pelajaran nilai budaya sedang mereka serap, yang justru untuk memperkuat komunitas dari terpaan multidampak pandemi global. Boleh jadi komunitas lainnya juga.

Baca juga: Kontak erat peduli pandemi untuk "rem-gas" yang pas
Baca juga: Festival Lima Gunung 2020 pamerkan wayang karya maestro Rastika
Baca juga: Bagi Komunitas Lima Gunung, pandemi bukan halangan berkarya

Pewarta : M. Hari Atmoko
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024