Magelang (ANTARA) - Kalangan seniman petani kawasan Gunung Merbabu Kabupaten Magelang, Jawa Tengah mendapatkan dukungan jejaring di sejumlah tempat, menjalani ritual berbalut performa seni di bebatuan sungai di dusun setempat.
Ada sejumlah lokasi ritual mereka di jalur irigasi pertanian warga di Sungai Gendu Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan, Kecamatan Pakis itu, yakni Gerojokan Sekablak, Gua Landak, dan batu kali dengan tekstur nampak keras dan padat, serta warna hitam, bernama "Tapak Jaran Sembrani".
Tentang narasi atas empat legokan batu membentuk imajinasi tentang tapak kuda itu, melekat dalam benak warga. Bukan sekadar cerita rakyat dalam tradisi tutur, tetapi sampai sekarang masih menjadi bagian cara lokal mereka menautkan keyakinan menyelesaikan masalah kesehatan.
Di tengah ritual di tempat itu pada Sabtu (7/11) siang, tiga sesepuh warga yang masing-masing mengenakan pakaian adat Jawa, Mbah Jumo (67), Mbah Darto (70), dan Slamet Suharno (53), menyajikan rangkaian cerita rakyat dan nilai kearifan lokal atas "Tapak Jaran Sembrani".
Mereka yang mengikuti ritual, jumlahnya terbatas karena pandemi COVID-19. Selain menyimak para sesepuh bertutur tentang "Tapak Jaran Sembrani", mereka juga hadir menjadi bagian nuansa performa seni yang disuguhkan para seniman.
Pementasan kesenian dilakukan, antara lain seniman Sanggar Dhom Sunthil Warangan pimpinan Handoko, beberapa penari dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, seniman Kota Solo Gundala Seta, dan beberapa grup kesenian lainnya, seperti Sanggar Kraton Kencono (Kabupaten Magelang dan Sanggar Pitaloka (Kota Magelang).
Sajian performa seni mereka dalam ritual itu, terasa menyatu dengan lingkungan alam sungai bererimbun pohon dan kicauan saling bersahutan burung di alam bebas, ditimpali bunyian perkusi, luwesnya sejumlah seniman muda menyajikan gerak tarian, dan taburan kembang mawar.
Sinar Matahari yang menembus rerimbunan daun pepohonan di awal musim hujan tahun ini, menjadikan "Tapak Jaran Sembarni" terlihat terang dan terasa berhawa hangat.
Cerita rakyat "Tapak Jaran Sembrani" disajikan tiga sesepuh warga setempat melalui tuturan berbahasa Jawa diiringi sejumlah tembang Jawa. Ceritanya tentang seorang bidadari mandi di Gerojokan Sekablak. Lingkungan alur sungai dengan air terjun setinggi sekitar lima meter itu sebagai dunia gaib dijaga landak yang tinggal di ceruk, beberapa meter di samping gerojokan yang kemudian bernama Gua Landak.
Untuk kembali ke kayangan setelah rampung mandi, sang bidadari dijemput kuda sembrani berparas ayu dengan mendarat di bebatuan Sungai Gendu. Ketika "take off" atau beranjak terbang, si kuda meninggalkan jejak berupa empat lubang di bebatuan sungai. Warga setempat melihat empat lubang dengan letak berdekatan mirip bekas lutut dan kaki kuda, masing-masing dua lubang.
Hingga saat ini, lubang-lubang batuan selalu terisi air meskipun air sungai tidak sedang mengalir deras. Warga memanfaatkan air dari lubang-lubang batu itu untuk menyembuhkan belek, panas badan, dan penyakit ringan lainnya.
"'Nilar tombo petilasan belek, awak panas. Menawi sampun mantun, tiyang nyukani upah-upahan, boreh. Menika naluri saking simbah-simbah'," ujar Mbah Jumo usai memimpin ritual.
Pengertian bebas kalimat Jawa itu, cerita secara turun temurun tentang kuda sembrani meninggalkan jejak kaki yang bisa menampung air. Air berkhasiat menyembuhkan sakit belek di mata, panas badan, dan lainnya. Setelah warga sembuh, lalu memberikan boreh berupa bunga kenanga dan mawar warna merah serta putih di tapak itu.
Oleh karena saat ini sedang pandemi COVID-19, semua yang hadir di "Tapak Jaran Sembrani", ajak para sesepuh untuk membangun semangat prihatin, waspada virus, dan berdoa agar masyarakat sejagat segera terbebas dari kesulitan hidup, terutama selalu sehat, sehingga bisa tetap bekerja sebaik mungkin dengan adaptasi kebiasaan baru serta taat protokol kesehatan.
"Jangan sampai lengah, agar terbebas dari musibah," ungkap Mbak Darto.
Sejumlah seniman dan sesepuh warga Warangan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah di kawasan Gunung Merbabu melakukan rangkaian ritual dan performa seni di sekitar bebatuan sungai "Tapak Jaran Sembrani", Sabtu (7/11/2020). (ANTARA/Hari Atmoko)
Berbagai cerita rakyat dan narasi tentang suatu laku ritual bisa ditelusuri logikanya serta tidak menutup pintu untuk pemaknaan secara aktual, seperti halnya dalam ritual "Tapak Jaran Sembrani" disampaikan kewaspadaan penularan virus dan ketahanan menghadapi pandemi.
Ritual "Tapak Jaran Sembrani" hanyalah sebagian kecil dari tebaran cerita-cerita rakyat dan ungkapan-ungkapan simbolis budaya di berbagai tempat di tanah Nusantara yang memancarkan kemampuan digdaya bangsa untuk mencapai tujuan dan menghadapi tantangan bersama.
Oleh karena itu, dalam kisah batu tapak itu misalnya, warga awam mungkin hanya sampai tataran mengumpulkan deretan testimoni bahwa air tertampung di lubang batu berkhasiat menyembuhkan belek. Namun bagi para penggenggam keilmuan riset, mungkin akan sampai kepada keandalan kandungan air ketika bersemayam di legokan batu, yang ternyata menjadi daya-daya ampuh menghadapi penyebab penyakit.
Contoh lain, terkait dengan tradisi sesaji dalam masyarakat desa atau pemanfaatan empon-empon sebagai bahan baku jamu dalam kaitan dengan khasiat menjaga imunitas tubuh dan penyembuhan dari penyakit. Masyarakat umum mungkin sebatas mengatakan jamu mujarab untuk penyembuhan dari sakit setelah orang mengonsumsi. Jalan penelitian yang intensif tentu membawa kepada daya nalar warga untuk memakai atau mungkin menolak jamu sebagai penyembuh sakit, atau setidaknya penguat imun tubuh.
Demikian pula dengan riset tradisi tutur tentang kearifan lokal dan cerita rakyat, nampaknya ada kaitan dengan ketahanan budaya masyarakat menghadapi tantangan atau situasi sulit, sebagaimana dampak pandemi global virus corona jenis baru saat ini.
Hadapi pandemi
Pekan Kebudayaan Nasional tahun ini, 30 Oktober hingga 30 November 2020, yang digelar secara virtual pun tak lepas dari kehendak mewujudkan bukti bahwa bangsa ini memiliki, menggali, dan sedang menerapkan nilai-nilai budaya ketahanannya untuk menghadapi pandemi.
Ajang tahun kedua pada 2020 yang terkait dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dan Resolusi Kongres Kebudayaan Indonesia pada akhir 2018 itu, mengulukkan tema "Ruang Bersama Untuk Indonesia Bahagia".
Mereka yang terlibat kegiatan itu berasal dari seluruh Indonesia mencapai 4.791 seniman dan pekerja seni, sedangkan agendanya menjangkau 27 tema konferensi, 93 pergelaran, dan pameran 1.477 karya seni visual.
Kegiatannya, seperti kompetisi, konferensi, pameran, dan pergelaran yang tentunya dalam perspektif kebudayaan dan terkait dengan ketahanan lingkungan, pangan, ekonomi, jiwa-raga, dan budaya.
"Dalam konteks kekinian, kita mengangkat mengenai ketahanan budaya. Ketahanan budaya adalah basis menghadapi pandemi. Mengapa? Karena dalam budaya yang begitu kaya, kita menemukan begitu banyak elemen yang membantu kita memperkuat diri," kata Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid.
Diharapkan, PKN tahun ini menjadi bentuk ruang interaksi budaya dalam adaptasi kebiasaan baru, dengan memberikan lebih banyak akses kepada seluruh pemangku kepentingan untuk bersama-sama melakukan upaya pemajuan kebudayaan dan pencapaian strategi kebudayaan nasional.
Melalui Pekan Kebudayaan Nasional tahun ini, Bangsa Indonesia menunjukkan optimisme dan keuletan menghadapi tantangan dengan berpijak kepada memori budaya masyarakat.
Saat membuka secara virtual Pekan Kebudayaan Nasional 2020 pada 31 Oktober lalu, Presiden Joko Widodo, mengemukakan optimismenya mengatasi pandemi karena masyarakat juga terus menerapkan nilai-nilai budaya sebagai efikasi keluar dari situasi hidup sulit, dampak penularan global virus itu.
"Ketika menghadapi pandemi COVID-19, memori budaya masyarakat tangguh bencana kembali hidup. Lebih dari delapan bulan masyarakat terus memupuk rasa solidaritas, gotong royong, dan mendukung langkah-langkah pemerintah dalam mengatasi pandemi," katanya.
Nenek moyang bangsa telah mewariskan nilai-nilai budaya ketangguhan, persahabatan, dan harmoni dengan sesama dan lingkungan, termasuk kearifan lokal.
Generasi penerus bangsa semestinya menggali warisan itu, lalu meneliti, memikirkan, mengkreasi, dan memanfaatkan untuk menghadapi tantangan zamannya. Kalau saat ini, warisan nilai ketahanan budaya dari nenek moyang itu, mujarab sebagai gada menghadapi dampak pandemi. Tentunya!
Ada sejumlah lokasi ritual mereka di jalur irigasi pertanian warga di Sungai Gendu Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan, Kecamatan Pakis itu, yakni Gerojokan Sekablak, Gua Landak, dan batu kali dengan tekstur nampak keras dan padat, serta warna hitam, bernama "Tapak Jaran Sembrani".
Tentang narasi atas empat legokan batu membentuk imajinasi tentang tapak kuda itu, melekat dalam benak warga. Bukan sekadar cerita rakyat dalam tradisi tutur, tetapi sampai sekarang masih menjadi bagian cara lokal mereka menautkan keyakinan menyelesaikan masalah kesehatan.
Di tengah ritual di tempat itu pada Sabtu (7/11) siang, tiga sesepuh warga yang masing-masing mengenakan pakaian adat Jawa, Mbah Jumo (67), Mbah Darto (70), dan Slamet Suharno (53), menyajikan rangkaian cerita rakyat dan nilai kearifan lokal atas "Tapak Jaran Sembrani".
Mereka yang mengikuti ritual, jumlahnya terbatas karena pandemi COVID-19. Selain menyimak para sesepuh bertutur tentang "Tapak Jaran Sembrani", mereka juga hadir menjadi bagian nuansa performa seni yang disuguhkan para seniman.
Pementasan kesenian dilakukan, antara lain seniman Sanggar Dhom Sunthil Warangan pimpinan Handoko, beberapa penari dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, seniman Kota Solo Gundala Seta, dan beberapa grup kesenian lainnya, seperti Sanggar Kraton Kencono (Kabupaten Magelang dan Sanggar Pitaloka (Kota Magelang).
Sajian performa seni mereka dalam ritual itu, terasa menyatu dengan lingkungan alam sungai bererimbun pohon dan kicauan saling bersahutan burung di alam bebas, ditimpali bunyian perkusi, luwesnya sejumlah seniman muda menyajikan gerak tarian, dan taburan kembang mawar.
Sinar Matahari yang menembus rerimbunan daun pepohonan di awal musim hujan tahun ini, menjadikan "Tapak Jaran Sembarni" terlihat terang dan terasa berhawa hangat.
Cerita rakyat "Tapak Jaran Sembrani" disajikan tiga sesepuh warga setempat melalui tuturan berbahasa Jawa diiringi sejumlah tembang Jawa. Ceritanya tentang seorang bidadari mandi di Gerojokan Sekablak. Lingkungan alur sungai dengan air terjun setinggi sekitar lima meter itu sebagai dunia gaib dijaga landak yang tinggal di ceruk, beberapa meter di samping gerojokan yang kemudian bernama Gua Landak.
Untuk kembali ke kayangan setelah rampung mandi, sang bidadari dijemput kuda sembrani berparas ayu dengan mendarat di bebatuan Sungai Gendu. Ketika "take off" atau beranjak terbang, si kuda meninggalkan jejak berupa empat lubang di bebatuan sungai. Warga setempat melihat empat lubang dengan letak berdekatan mirip bekas lutut dan kaki kuda, masing-masing dua lubang.
Hingga saat ini, lubang-lubang batuan selalu terisi air meskipun air sungai tidak sedang mengalir deras. Warga memanfaatkan air dari lubang-lubang batu itu untuk menyembuhkan belek, panas badan, dan penyakit ringan lainnya.
"'Nilar tombo petilasan belek, awak panas. Menawi sampun mantun, tiyang nyukani upah-upahan, boreh. Menika naluri saking simbah-simbah'," ujar Mbah Jumo usai memimpin ritual.
Pengertian bebas kalimat Jawa itu, cerita secara turun temurun tentang kuda sembrani meninggalkan jejak kaki yang bisa menampung air. Air berkhasiat menyembuhkan sakit belek di mata, panas badan, dan lainnya. Setelah warga sembuh, lalu memberikan boreh berupa bunga kenanga dan mawar warna merah serta putih di tapak itu.
Oleh karena saat ini sedang pandemi COVID-19, semua yang hadir di "Tapak Jaran Sembrani", ajak para sesepuh untuk membangun semangat prihatin, waspada virus, dan berdoa agar masyarakat sejagat segera terbebas dari kesulitan hidup, terutama selalu sehat, sehingga bisa tetap bekerja sebaik mungkin dengan adaptasi kebiasaan baru serta taat protokol kesehatan.
"Jangan sampai lengah, agar terbebas dari musibah," ungkap Mbak Darto.
Berbagai cerita rakyat dan narasi tentang suatu laku ritual bisa ditelusuri logikanya serta tidak menutup pintu untuk pemaknaan secara aktual, seperti halnya dalam ritual "Tapak Jaran Sembrani" disampaikan kewaspadaan penularan virus dan ketahanan menghadapi pandemi.
Ritual "Tapak Jaran Sembrani" hanyalah sebagian kecil dari tebaran cerita-cerita rakyat dan ungkapan-ungkapan simbolis budaya di berbagai tempat di tanah Nusantara yang memancarkan kemampuan digdaya bangsa untuk mencapai tujuan dan menghadapi tantangan bersama.
Oleh karena itu, dalam kisah batu tapak itu misalnya, warga awam mungkin hanya sampai tataran mengumpulkan deretan testimoni bahwa air tertampung di lubang batu berkhasiat menyembuhkan belek. Namun bagi para penggenggam keilmuan riset, mungkin akan sampai kepada keandalan kandungan air ketika bersemayam di legokan batu, yang ternyata menjadi daya-daya ampuh menghadapi penyebab penyakit.
Contoh lain, terkait dengan tradisi sesaji dalam masyarakat desa atau pemanfaatan empon-empon sebagai bahan baku jamu dalam kaitan dengan khasiat menjaga imunitas tubuh dan penyembuhan dari penyakit. Masyarakat umum mungkin sebatas mengatakan jamu mujarab untuk penyembuhan dari sakit setelah orang mengonsumsi. Jalan penelitian yang intensif tentu membawa kepada daya nalar warga untuk memakai atau mungkin menolak jamu sebagai penyembuh sakit, atau setidaknya penguat imun tubuh.
Demikian pula dengan riset tradisi tutur tentang kearifan lokal dan cerita rakyat, nampaknya ada kaitan dengan ketahanan budaya masyarakat menghadapi tantangan atau situasi sulit, sebagaimana dampak pandemi global virus corona jenis baru saat ini.
Hadapi pandemi
Pekan Kebudayaan Nasional tahun ini, 30 Oktober hingga 30 November 2020, yang digelar secara virtual pun tak lepas dari kehendak mewujudkan bukti bahwa bangsa ini memiliki, menggali, dan sedang menerapkan nilai-nilai budaya ketahanannya untuk menghadapi pandemi.
Ajang tahun kedua pada 2020 yang terkait dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dan Resolusi Kongres Kebudayaan Indonesia pada akhir 2018 itu, mengulukkan tema "Ruang Bersama Untuk Indonesia Bahagia".
Mereka yang terlibat kegiatan itu berasal dari seluruh Indonesia mencapai 4.791 seniman dan pekerja seni, sedangkan agendanya menjangkau 27 tema konferensi, 93 pergelaran, dan pameran 1.477 karya seni visual.
Kegiatannya, seperti kompetisi, konferensi, pameran, dan pergelaran yang tentunya dalam perspektif kebudayaan dan terkait dengan ketahanan lingkungan, pangan, ekonomi, jiwa-raga, dan budaya.
"Dalam konteks kekinian, kita mengangkat mengenai ketahanan budaya. Ketahanan budaya adalah basis menghadapi pandemi. Mengapa? Karena dalam budaya yang begitu kaya, kita menemukan begitu banyak elemen yang membantu kita memperkuat diri," kata Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid.
Diharapkan, PKN tahun ini menjadi bentuk ruang interaksi budaya dalam adaptasi kebiasaan baru, dengan memberikan lebih banyak akses kepada seluruh pemangku kepentingan untuk bersama-sama melakukan upaya pemajuan kebudayaan dan pencapaian strategi kebudayaan nasional.
Melalui Pekan Kebudayaan Nasional tahun ini, Bangsa Indonesia menunjukkan optimisme dan keuletan menghadapi tantangan dengan berpijak kepada memori budaya masyarakat.
Saat membuka secara virtual Pekan Kebudayaan Nasional 2020 pada 31 Oktober lalu, Presiden Joko Widodo, mengemukakan optimismenya mengatasi pandemi karena masyarakat juga terus menerapkan nilai-nilai budaya sebagai efikasi keluar dari situasi hidup sulit, dampak penularan global virus itu.
"Ketika menghadapi pandemi COVID-19, memori budaya masyarakat tangguh bencana kembali hidup. Lebih dari delapan bulan masyarakat terus memupuk rasa solidaritas, gotong royong, dan mendukung langkah-langkah pemerintah dalam mengatasi pandemi," katanya.
Nenek moyang bangsa telah mewariskan nilai-nilai budaya ketangguhan, persahabatan, dan harmoni dengan sesama dan lingkungan, termasuk kearifan lokal.
Generasi penerus bangsa semestinya menggali warisan itu, lalu meneliti, memikirkan, mengkreasi, dan memanfaatkan untuk menghadapi tantangan zamannya. Kalau saat ini, warisan nilai ketahanan budaya dari nenek moyang itu, mujarab sebagai gada menghadapi dampak pandemi. Tentunya!