Tulungagung (Antaranews Jateng) - Ratusan warga dari berbagai komunitas di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur menggelar tradisi baru Grebek Bhineka Tunggal Ika dengan mementaskan aneka pertunjukan seni budaya dan ditutup dengan ritual tabur bunga di kompleks Candi Gayatri, Selasa.
Kegiatan kali ini dipusatkan di lapangan Boyolangu, dilanjutkan dengan pawai terbatas perwakilan lintaskomunitas budaya dan penganut aliran Kejawen menuju Candi Gayatri yang berjarak kurang dari 200 meter.
Candi Gayatri merupakan situs tempat penyimpanan abu jenazah ratu pertama Kerajaan Majapahit di awal abad XII, Sri Gayatri Rajapatni atau berjuluk Sri Tribuana Tungga Dewi.
"Kami berziarah dan melakukan kegiatan tabur bunga di Candi Gayatri ini merupakan bentuk penghormatan kepada almarhumah selaku leluhur sekaligus pencetus semangat Bhineka Tunggal Ika untuk mempersatukan Nusantara saat itu," kata Ketua Panitia acara Grebek Bhinneka Tunggal Ika, Kriston dikonfirmasi di sela kegiatan.
Acara yang juga dihadiri Plt Bupati Tulungagung Maryoto Bhirowo, Ketua DPD PDIP Jatim Kusnadi, Ketua DPRD Tulungagung Supriyono dan sejumlah pejabat itu diwarnai dengan berbagai pertunjukan budaya, mulai dari seni barongsai, tiban, tari lokal jaranan, pakaian adat temanten hingga peragaan busana adat.
Peserta yang sebagian berasal dari kalangan pondok pesantren juga menampilkan sejumlah produk pangan dan kerajinan unggulan selama gelaran Grebek Bhineka Tunggal Ika yang berlangsung mulai pukul 08.00 WIB hingga 12.00 WIB tersebut.
"Kami bangga karena memiliki Candi Gayatri yang merupakan makam penggagas Bhinneka Tungal Ika," kata Plt Bupati Tulungagung Maryoto Bhirowo dalam pidato sambutannya.
Menurutnya, kegiatan ini memiliki nilai luhur yang harus diberdayakan, terutama berkaitan dengan sejarah sebagai kekayaan negeri yang patut dijaga dan dilestarikan oleh generasi penerus.
"Ke depan kami berharap kegiatan-kegiatan seperti ini bisa terus berlanjut," ucapnya.
Hal ini dimaksudkan agar para pemuda generasi bangsa akan selalu ingat bahwa Indonesia atau Tulungagung yang ada saat ini merupakan perjuangan dari pendahulunya.
"Sejarah itu penting, karena merupakan identitas dan jati diri kita," kata Maryoto.
Ketua Panitia acara Grebeg Bhinneka Tungga Ika, Kriston mengatakan, acara ini merupakan kegiatan yang kedua setelah tahun 2017.
Menurutnya tujuan diadakannya kegiatan ini untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa di Tulungagung yang terdiri atas kemajemukan agama dan budaya tetap bisa menjaga kerukunan dan bersatu.
"Kegiatan ini sekaligus menjawab kegelisahan masyarakat bahwa kita masih tetap rukun dan bersatu," kata Kriston.
Kriston melanjutkan, kegiatan tersebut tidak hanya melibatkan satu atau dua komunitas saja.
Melainkan puluhan komunitas kebudayaan, agama, lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga non pemerintahan yang memiliki komitmen untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan di Tulungagung.
"Ada lebih dari 3 ribu peserta dari pelosok-pelosok Tulungagung yang terlibat dalam kegiatan ini," katanya.
Kriston menjelaskan, sebelum semangat Bhinneka Tunggal Ika digaungkan oleh Mahapatih Gajah Mada, semboyan tersebut juga pernah dilontarkan oleh Sri Gayatri Rajapatmi.
Untuk itu ia berharap hal ini bisa menjadi ikon Tulungagung sebagai kota pemersatu keberagaman.
Kegiatan kali ini dipusatkan di lapangan Boyolangu, dilanjutkan dengan pawai terbatas perwakilan lintaskomunitas budaya dan penganut aliran Kejawen menuju Candi Gayatri yang berjarak kurang dari 200 meter.
Candi Gayatri merupakan situs tempat penyimpanan abu jenazah ratu pertama Kerajaan Majapahit di awal abad XII, Sri Gayatri Rajapatni atau berjuluk Sri Tribuana Tungga Dewi.
"Kami berziarah dan melakukan kegiatan tabur bunga di Candi Gayatri ini merupakan bentuk penghormatan kepada almarhumah selaku leluhur sekaligus pencetus semangat Bhineka Tunggal Ika untuk mempersatukan Nusantara saat itu," kata Ketua Panitia acara Grebek Bhinneka Tunggal Ika, Kriston dikonfirmasi di sela kegiatan.
Acara yang juga dihadiri Plt Bupati Tulungagung Maryoto Bhirowo, Ketua DPD PDIP Jatim Kusnadi, Ketua DPRD Tulungagung Supriyono dan sejumlah pejabat itu diwarnai dengan berbagai pertunjukan budaya, mulai dari seni barongsai, tiban, tari lokal jaranan, pakaian adat temanten hingga peragaan busana adat.
Peserta yang sebagian berasal dari kalangan pondok pesantren juga menampilkan sejumlah produk pangan dan kerajinan unggulan selama gelaran Grebek Bhineka Tunggal Ika yang berlangsung mulai pukul 08.00 WIB hingga 12.00 WIB tersebut.
"Kami bangga karena memiliki Candi Gayatri yang merupakan makam penggagas Bhinneka Tungal Ika," kata Plt Bupati Tulungagung Maryoto Bhirowo dalam pidato sambutannya.
Menurutnya, kegiatan ini memiliki nilai luhur yang harus diberdayakan, terutama berkaitan dengan sejarah sebagai kekayaan negeri yang patut dijaga dan dilestarikan oleh generasi penerus.
"Ke depan kami berharap kegiatan-kegiatan seperti ini bisa terus berlanjut," ucapnya.
Hal ini dimaksudkan agar para pemuda generasi bangsa akan selalu ingat bahwa Indonesia atau Tulungagung yang ada saat ini merupakan perjuangan dari pendahulunya.
"Sejarah itu penting, karena merupakan identitas dan jati diri kita," kata Maryoto.
Ketua Panitia acara Grebeg Bhinneka Tungga Ika, Kriston mengatakan, acara ini merupakan kegiatan yang kedua setelah tahun 2017.
Menurutnya tujuan diadakannya kegiatan ini untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa di Tulungagung yang terdiri atas kemajemukan agama dan budaya tetap bisa menjaga kerukunan dan bersatu.
"Kegiatan ini sekaligus menjawab kegelisahan masyarakat bahwa kita masih tetap rukun dan bersatu," kata Kriston.
Kriston melanjutkan, kegiatan tersebut tidak hanya melibatkan satu atau dua komunitas saja.
Melainkan puluhan komunitas kebudayaan, agama, lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga non pemerintahan yang memiliki komitmen untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan di Tulungagung.
"Ada lebih dari 3 ribu peserta dari pelosok-pelosok Tulungagung yang terlibat dalam kegiatan ini," katanya.
Kriston menjelaskan, sebelum semangat Bhinneka Tunggal Ika digaungkan oleh Mahapatih Gajah Mada, semboyan tersebut juga pernah dilontarkan oleh Sri Gayatri Rajapatmi.
Untuk itu ia berharap hal ini bisa menjadi ikon Tulungagung sebagai kota pemersatu keberagaman.