Semarang (Antaranews Jateng) - Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi atau Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) memandang perlu perlindungan data pribadi dengan undang-undang.
"Pemerintah tidak cukup dengan mengimbau masyarakat untuk hati-hati. Masyarakat memerlukan instrumen undang-undang. Bahkan, penegak hukum juga demikian, tidak hanya cukup imbauan," kata Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (CISSReC) Doktor Pratama Persadha melalui surat elektroniknya kepada Antara di Semarang, Senin petang.
Pakar keamanan siber itu mengemukakan hal itu terkait dengan pernyataan Menkominfo Rudiantara yang meminta masyarakat untuk selalu wawas diri dan hati-hati dalam melindungi data pribadinya.
Imbuaan itu terkait dengan banyaknya praktik penyimpangan penggunaan data pribadi masyarakat. Bahkan, kata Pratama, yang paling ramai adalah penyalahgunaan nomor induk kependudukan (NIK) dan kartu keluarga (KK), bahkan satu NIK bisa didaftarkan sampai lebih dari 2.000.000 nomor seluler prabayar.
Setelah pemberlakuan wajib registrasi, menurut dia, belum ada angka pasti berapa penurunan tingkat penipuan menggunakan short message service (SMS) dan panggilan telepon.
Di Indonesia, katanya lagi, penipuan lewat SMS dan telepon paling marak, mengingat mudahnya membeli nomor baru, ditambah dengan praktik jual beli data pribadi, mulai dari nomor telepon, alamat surat elektronik (email), sampai nomor NIK dan KK.
Pratama melihat ada kekurangan fundamental di Tanah Air terkait dengan perlindungan data pribadi. Oleh karena itu, keberadaan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi mutlak pada era serbadigital seperti saat ini.
Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi mencuat karena banyaknya penyalahgunaan NIK dan KK dalam praktik registrasi nomor seluler prabayar. Padahal, menurut Pratama, UU tersebut ditujukan lebih luas lagi, tidak hanya mengatur keamanan data terkait dengan nomor seluler.
Menurut dia, praktik yang sudah jamak salah satunya adalah pengumpulan data pribadi masyarakat di lembaga keuangan.
"Bentuk instrumen yang memaksa para pengumpul itu untuk tidak menyalahgunakan. Hal ini harus tegas, jelas, dan dalam bentuk UU, jadi sangat kuat," kata pria asal Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
"Pemerintah tidak cukup dengan mengimbau masyarakat untuk hati-hati. Masyarakat memerlukan instrumen undang-undang. Bahkan, penegak hukum juga demikian, tidak hanya cukup imbauan," kata Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (CISSReC) Doktor Pratama Persadha melalui surat elektroniknya kepada Antara di Semarang, Senin petang.
Pakar keamanan siber itu mengemukakan hal itu terkait dengan pernyataan Menkominfo Rudiantara yang meminta masyarakat untuk selalu wawas diri dan hati-hati dalam melindungi data pribadinya.
Imbuaan itu terkait dengan banyaknya praktik penyimpangan penggunaan data pribadi masyarakat. Bahkan, kata Pratama, yang paling ramai adalah penyalahgunaan nomor induk kependudukan (NIK) dan kartu keluarga (KK), bahkan satu NIK bisa didaftarkan sampai lebih dari 2.000.000 nomor seluler prabayar.
Setelah pemberlakuan wajib registrasi, menurut dia, belum ada angka pasti berapa penurunan tingkat penipuan menggunakan short message service (SMS) dan panggilan telepon.
Di Indonesia, katanya lagi, penipuan lewat SMS dan telepon paling marak, mengingat mudahnya membeli nomor baru, ditambah dengan praktik jual beli data pribadi, mulai dari nomor telepon, alamat surat elektronik (email), sampai nomor NIK dan KK.
Pratama melihat ada kekurangan fundamental di Tanah Air terkait dengan perlindungan data pribadi. Oleh karena itu, keberadaan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi mutlak pada era serbadigital seperti saat ini.
Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi mencuat karena banyaknya penyalahgunaan NIK dan KK dalam praktik registrasi nomor seluler prabayar. Padahal, menurut Pratama, UU tersebut ditujukan lebih luas lagi, tidak hanya mengatur keamanan data terkait dengan nomor seluler.
Menurut dia, praktik yang sudah jamak salah satunya adalah pengumpulan data pribadi masyarakat di lembaga keuangan.
"Bentuk instrumen yang memaksa para pengumpul itu untuk tidak menyalahgunakan. Hal ini harus tegas, jelas, dan dalam bentuk UU, jadi sangat kuat," kata pria asal Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.