Semarang, ANTARA JATENG - Anggota Komisi B DPRD Provinsi Jawa Tengah Riyono mengkritisi pembatalan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 47 Tahun 2017 tentang penetapan harga acuan pembelian di petani dan harga acuan penjualan di konsumen.
"Mendag ceroboh dan asal dalam membuat peraturan, kaidahnya secara hukum dan ekonomi sangat dangkal sehingga peraturan itu membuat petani semakin sengsara," katanya di Semarang, Selasa.
Pemicunya adalah protes dari pengusaha dan petani kecil yang sangat di rugikan tentang harga eceran tertinggi (HET) beras yang ditetapkan Rp9.000 per kilogram.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera itu menyesalkan pembatalan Permendag Nomor 47/M-DAG/PER/7/2017 yang dan menunjukkan ketidakpahaman pemerintah dalam mengelola beras.
Menurut dia, selama ini harga pokok pembelian (HPP) mengatur soal harga gabah dan beras yang dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia dalam bentuk instruksi presiden.
"Kelemahannya selalu saja inpres terlambat ditetapkan, sedangkan panen sudah terjadi sehingga mengakibatkan petani rugi dan Bulog menjadi kesulitan dalam membeli gabah petani," ujarnya.
Selain itu, kata Riyono, seringkali HPP ditetapkan dengan harga yang jauh dari harapan petani dan dan ini jelas merugikan sehingga petani menjual hasil panen ke tengkulak yang membeli dengan harga lebih tinggi.
"Pembatalan permendag ini harus menjadi pelajaran bagi setiap menteri agar berhati-hati kalau membuat peraturan, jangan gegabah dalam membuat kebijakan apalagi ini soal beras yang memiliki dampak luas bagi rakyat dan perekonomian nasional," kata pria yang juga menjabat Wakil Ketua Bidang Petani dan Nelayan Dewan Pengurus Pusat (DPP) PKS ini.
Permendag Nomor 47 Tahun 2017 merupakan perubahan atas Permendag No. 27/2017. Di dalam Permendag 47 ada penyisipan Pasal 5a yang mengatur harga acuan penjualan beras di tingkat konsumen, dan juga berfungsi sebagai harga eceran tertinggi, serta beras yang dimaksud adalah beras medium dan premium.
Adapun di dalam Permendag 27, harga acuan penjualan beras di tingkat konsumen adalah Rp9.500/kg, sedangkan di Permendag 47 Tahun 2017 yang tidak jadi diberlakukan adalah Rp9.000/kg.
"Mendag ceroboh dan asal dalam membuat peraturan, kaidahnya secara hukum dan ekonomi sangat dangkal sehingga peraturan itu membuat petani semakin sengsara," katanya di Semarang, Selasa.
Pemicunya adalah protes dari pengusaha dan petani kecil yang sangat di rugikan tentang harga eceran tertinggi (HET) beras yang ditetapkan Rp9.000 per kilogram.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera itu menyesalkan pembatalan Permendag Nomor 47/M-DAG/PER/7/2017 yang dan menunjukkan ketidakpahaman pemerintah dalam mengelola beras.
Menurut dia, selama ini harga pokok pembelian (HPP) mengatur soal harga gabah dan beras yang dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia dalam bentuk instruksi presiden.
"Kelemahannya selalu saja inpres terlambat ditetapkan, sedangkan panen sudah terjadi sehingga mengakibatkan petani rugi dan Bulog menjadi kesulitan dalam membeli gabah petani," ujarnya.
Selain itu, kata Riyono, seringkali HPP ditetapkan dengan harga yang jauh dari harapan petani dan dan ini jelas merugikan sehingga petani menjual hasil panen ke tengkulak yang membeli dengan harga lebih tinggi.
"Pembatalan permendag ini harus menjadi pelajaran bagi setiap menteri agar berhati-hati kalau membuat peraturan, jangan gegabah dalam membuat kebijakan apalagi ini soal beras yang memiliki dampak luas bagi rakyat dan perekonomian nasional," kata pria yang juga menjabat Wakil Ketua Bidang Petani dan Nelayan Dewan Pengurus Pusat (DPP) PKS ini.
Permendag Nomor 47 Tahun 2017 merupakan perubahan atas Permendag No. 27/2017. Di dalam Permendag 47 ada penyisipan Pasal 5a yang mengatur harga acuan penjualan beras di tingkat konsumen, dan juga berfungsi sebagai harga eceran tertinggi, serta beras yang dimaksud adalah beras medium dan premium.
Adapun di dalam Permendag 27, harga acuan penjualan beras di tingkat konsumen adalah Rp9.500/kg, sedangkan di Permendag 47 Tahun 2017 yang tidak jadi diberlakukan adalah Rp9.000/kg.