"Kejahatan narkotika dan psikotropika berkembang sangat cepat dengan jaringan internasionalnya, sehingga perlu UU cepat tanggap. Kalau masuk KUHP jadi tidak fleksibel dan lama ditangani," ujar purnawirawan brigadir jenderal polisi itu dalam diskusi BNN dan Persatuan Wartawan Indonesia, di Jakarta, Rabu.
Perempuan pertama di Indonesia yang meraih pangkat jenderal itu mengemukakan, jika kejahatan narkoba dan psikotropika diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), maka akan sulit dan lama sekali bila dilakukan revisi menghadapi tren kejahtan baru.
"Setahu saya RUU KUHP sudah 30 tahun ingin direvisi, ternyata sampai sekarang belum beres juga. Bahkan, banyak polemik dalam prosesnya," katanya.
Ia mengemukakan, belakangan ini kejahatan narkoba dan psikotropika semakin menyatu dengan kejahatan terorisme berteknologi siber, yang disebut narco terrorism dan narco cyber terrorism.
"Contoh kasus terhadap Fadli Sadamah, seorang teroris yang berkenalan dengan penjahar narkoba di lembaga pemasyarakatan. Saat bebas, Fadli punya jaringan narkoba di Malaysia untuk membiayai aksi teror baru, antara lain beli senapan AK-47 di Thailand Selatan," ujarnya.
Senjata hasil penjualan narkoba dari Fadli itulah yang digunakan latihan ala militer di Provinsi Aceh. Fadli kemudian tertangkap polisi saat terlibat aksi pembobolan bank CIMB Niaga di Medan beberapa tahun lalu.
Adapun kasus narco cyber terrorism, menurut dia, juga dilakukan kelompok hackers yang terpantau bekerja sama dengan sindikat narkoba yang menjebol akun perbankan online yang berencana melakukan aksi teror di Bali.
"Beruntung polisi dapat segera mengungkap kasus ini. Namun, kita tidak boleh lengah karena tren canggih semacam ini akan terus berkembang," ujarnya.
Masalahnya, menurut dia, dalam RUU KUHP yang saat ini dibahas di DPR akan kesulitan mengantisipasi tren kejahatan yang modusnya berkembang cepat, seperti halnya kejahatan narkoba, psikotropika, terorisme dan korupsi.
Apalagi, UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika sudah secara khusus mencantumkan pasal-pasal pidana. Bahkan, menurut dia, UU tersebut lebih cepat prosesmya bila ingin direvisi.
"RUU KUHP sebaiknya mencantumkan hal strategis dalam kaitan kejahatan umum, adapun kejahatan khusus dan sangat berbahaya, seperti kejahatan narkoba maupun psikotropika tidak usah masuk, dan tetap di undang-undang khusus," demikian Mandagi.
Perempuan pertama di Indonesia yang meraih pangkat jenderal itu mengemukakan, jika kejahatan narkoba dan psikotropika diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), maka akan sulit dan lama sekali bila dilakukan revisi menghadapi tren kejahtan baru.
"Setahu saya RUU KUHP sudah 30 tahun ingin direvisi, ternyata sampai sekarang belum beres juga. Bahkan, banyak polemik dalam prosesnya," katanya.
Ia mengemukakan, belakangan ini kejahatan narkoba dan psikotropika semakin menyatu dengan kejahatan terorisme berteknologi siber, yang disebut narco terrorism dan narco cyber terrorism.
"Contoh kasus terhadap Fadli Sadamah, seorang teroris yang berkenalan dengan penjahar narkoba di lembaga pemasyarakatan. Saat bebas, Fadli punya jaringan narkoba di Malaysia untuk membiayai aksi teror baru, antara lain beli senapan AK-47 di Thailand Selatan," ujarnya.
Senjata hasil penjualan narkoba dari Fadli itulah yang digunakan latihan ala militer di Provinsi Aceh. Fadli kemudian tertangkap polisi saat terlibat aksi pembobolan bank CIMB Niaga di Medan beberapa tahun lalu.
Adapun kasus narco cyber terrorism, menurut dia, juga dilakukan kelompok hackers yang terpantau bekerja sama dengan sindikat narkoba yang menjebol akun perbankan online yang berencana melakukan aksi teror di Bali.
"Beruntung polisi dapat segera mengungkap kasus ini. Namun, kita tidak boleh lengah karena tren canggih semacam ini akan terus berkembang," ujarnya.
Masalahnya, menurut dia, dalam RUU KUHP yang saat ini dibahas di DPR akan kesulitan mengantisipasi tren kejahatan yang modusnya berkembang cepat, seperti halnya kejahatan narkoba, psikotropika, terorisme dan korupsi.
Apalagi, UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika sudah secara khusus mencantumkan pasal-pasal pidana. Bahkan, menurut dia, UU tersebut lebih cepat prosesmya bila ingin direvisi.
"RUU KUHP sebaiknya mencantumkan hal strategis dalam kaitan kejahatan umum, adapun kejahatan khusus dan sangat berbahaya, seperti kejahatan narkoba maupun psikotropika tidak usah masuk, dan tetap di undang-undang khusus," demikian Mandagi.