Yang lebih menyedihkan, para pengelola sekolah sepertinya sudah tak risih lagi untuk menuliskan persyaratan administratif yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan proses belajar mengajar, kecuali bertalian dengan uang.
Sebuah SMAN di Semarang berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dalam daftar ulang penerimaan peserta didik baru mengumumkan: Siswa harus membawa rekening listrik, rekening telepon, dan rekening PDAM, selain membawa fotokopi kartu keluarga.
Terlalu gampang menebak kepentingan sekolah mewajibkan siswa membawa rekening listrik, telepon, dan PDAM ketika daftar ulang. Sebentar lagi sekolah bersama komite sekolah akan menentukan besaran sumbangan pengembangan institusi (SPI).
Yang menjadi pertanyaan, sudah begitu rapuhnya sisi etis para pengelola sekolah, termasuk sekolah negeri, sehingga tidak malu menyuruh siswa membawa rekening listrik, telepon, dan rekening PDAM?
Rekening-rekening tersebut lazim digunakan oleh bank atau lembaga pembiayaan sebagai syarat nasabah yang akan pinjam uang atau mau kredit kendaraan bermotor.
"Maaf, ini sekolah negeri atau perusahaan 'leasing' (pembiayaan)," gerutu orang tua siswa kala melihat pengumuman tersebut di papan tulis dalam kelas, tempat registrasi ulang siswa baru di sebuah SMAN di Semarang.
Kesadaran masyarakat untuk mengalokasikan anggaran pendidikan untuk anak-anaknya sebenarnya semakin tinggi. Mereka sudah menyiapkan dana untuk sekolah. Namun, masyarakat tidak rela bila mereka dijadikan sapi perah.
Praktik jual kain seragam kepada siswa baru tetap saja terjadi, termasuk di sekolah-sekolah negeri. Cara berbisnisnya pun sungguh kurang etis karena sekolah hanya mau cari gampang mencari untung.
Disebut pakaian seragam, namun sebenarnya mereka (atas nama koperasi sekolah) menjual bahan seragam sekolah dengan harga jauh di atas harga pasar.
Jadi, orang tua siswa masih harus mengeluarkan ongkos jahit pakaian seragam ratusan ribu rupiah setelah menebus paket bahan seragam sekitar Rp850.000.
Slamet, pedagang makanan keliling, sampai Minggu (29/7) malam pusing tujuh keliling karena SMPN tempat anaknya diterima sebagai siswa baru, mengharuskan siswa baru membeli bahan seragam senilai Rp800.000. "Saya tawar untuk mencicilnya tidak boleh. Harus dibayar satu paket," keluhya.
Bisnis dengan cara jalan pintas itu memang menggiurkan. Bukan saja amat mudah (tidak kreatif) dan pasti menangguk untung besar, namun juga nyaris tanpa risiko.
Akan tetapi, apakah moral bisnis seperti itukah yang hendak ditularkan pengelola sekolah kepada ribuan anak didiknya? Jawaban lisan tentu saja tidak, namun praktik jual bahan seragam sekolah tersebut sudah berlangsung bertahun-tahun.
Di tengah praktik penyelenggaraan negara yang masih banyak diwarnai kasus korupsi, lembaga pendidikan sebagai salah satu institusi pembentuk karakter anak bangsa, seharusnya berjuang mati-matian menjaga nilai-nilai moral dan etika, bukan malah larut dalam arus.
Menjadi pendidik itu baik. Begitu pula menjadi pedagang. Namun, tidaklah elok menjadi pendidik sekaligus pedagang.