Pekalongan (ANTARA) - Dewasa ini, arus informasi begitu deras, sementara batas antara fakta dan opini kerap kabur. Riset internasional menunjukkan publik dan murid masih kesulitan membedakan. Studi Pew Research Center mendapati banyak responden keliru mengklasifikasikan pernyataan faktual dan opini.
Dalam PISA 2022, skor membaca rata-rata negara OECD turun sepuluh poin dari 2018, dan hanya sekitar 7 persen siswa mencapai Level 5 membaca, yaitu level yang mencakup kemampuan membedakan fakta dan opini berdasarkan petunjuk implisit pada isi atau sumber teks. Angka ini menandakan keterampilan memilah informasi masih menjadi tantangan nyata di ruang kelas.
Untuk menjawabnya, diterapkan prinsip MIKiR yang dikembangkan oleh Tanoto Foundation, yaitu Mengalami, Interaksi, Komunikasi, dan Refleksi, dengan koran cetak sebagai sumber utama agar proses belajar kontekstual dan bermakna. Tujuan pembelajaran dirumuskan jelas, yakni kemampuan mengidentifikasi fakta, opini, dan asumsi dalam artikel media. Bahan ajar disiapkan antara lain koran atau surat kabar, spidol warna, lembar kerja, dan kertas plano.
Pelaksanaan mengikuti alur MIKiR secara terstruktur. Pada tahap Mengalami, pembelajaran diawali oleh pemantik berupa potongan judul berita yang kontras, kemudian murid membaca artikel utuh dan menandai kalimat yang mereka duga sebagai fakta, opini, atau asumsi dengan warna berbeda.
Pada tahap Interaksi, mereka berdiskusi dalam kelompok kecil untuk membandingkan temuan, menguji alasan, serta mencari rujukan kalimat pendukung pada teks yang sama. Pada tahap Komunikasi, kelompok mempresentasikan satu contoh terbaik untuk tiap kategori beserta alasan yang dapat diverifikasi. Umpan balik diberikan tepat waktu agar miskonsepsi tidak berlarut.
Pada tahap Refleksi, setiap peserta didik menuliskan satu pemahaman yang menguat dan satu strategi membaca yang akan digunakan pada kesempatan berikutnya, sehingga kebiasaan membaca kritis mulai terbentuk.
Hasil pembelajaran menunjukkan peningkatan kepercayaan diri dan ketelitian ketika mengklasifikasikan informasi. Kalimat yang dinilai sebagai fakta semakin konsisten disertai data atau pernyataan yang dapat diverifikasi, sedangkan pernyataan yang bersifat penilaian atau dugaan dikenali sebagai opini atau asumsi.
Kesan murid memperkuat capaian tersebut. “Saya merasa senang karena dapat dengan mudah membedakan kalimat fakta, opini, dan asumsi,” ujar Roykhan, kelas 9. Pernyataan ini sejalan dengan pengamatan selama proses pembelajaran, yaitu meningkatnya kemampuan menjelaskan alasan dan menunjukkan rujukan teks saat mempertahankan klaim.
Evaluasi menyimpulkan bahwa penerapan prinsip MIKiR dengan dukungan bahan ajar kontekstual, alur belajar aktif dan kolaboratif, serta penilaian formatif singkat pada tiap sesi efektif meningkatkan ketelitian membaca. Ke depan, variasi panjang artikel dan diferensiasi tingkat kompleksitas tugas akan ditingkatkan untuk menyesuaikan kecepatan baca yang beragam. Penguatan kegiatan refleksi akan dipertahankan agar kebiasaan membaca kritis tumbuh berkelanjutan. Praktik ini mudah direplikasi, biayanya rendah, dan relevan bagi berbagai kondisi sekolah, sehingga layak dijadikan rujukan bagi siapa pun yang ingin menumbuhkan literasi informasi di tengah arus berita yang terus bergerak.
*Guru Bahasa Indonesia SMPN 8 Pekalongan
Fasilitator Tanoto Foundation

