Temanggung (ANTARA) - Direktur Jenderal (Dirjen) Bimbingan Masyarakat (Bimas) Buddha Kementerian Agama (Kemenag), Supriyadi menyampaikan tradisi membaca kitab suci tentu bukan hanya sebatas warisan spiritual.
"Namun, juga dapat menjadi fondasi moral dan budaya yang memperkuat jati diri umat beragama," katanya di Magelang, Jumat.
Ia menyampaikan hal tersebut pada acara Indonesia Tipitaka Chanting dan Asalha Mahapuja 2569/2025 di Taman Lumbini kompleks Candi Borobudur Kabupaten Magelang.
"Kita dapat dengan menggelorakan tradisi ini, kita turut menanamkan kembali semangat untuk memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kitab suci dengan baik," katanya.
Ia menyampaikan pembacaan Tipitaka ini juga dapat dimaknai sebagai bentuk pelatihan dan penguatan atas keyakinan yang ada dalam diri.
"Membaca kitab suci tidak hanya sebagai kewajiban rohani, yang tentu ada kaitannya relasi antara Tuhan dengan kita, namun sekali lagi, ingin saya katakan kalau pembacaan Tipitaka ini merupakan sarana untuk memperkuat keyakinan, memperdalam pemahaman darma," katanya.
Selain itu, katanya, pembacaan kitab suci membangun ketenangan dan kejernihan dalam batin, itulah kata kunci tradisi membaca kitab suci, bukan sebatas warisan spiritual
"Kalau semua umat Buddha dan masyarakat Indonesia memiliki kebijaksanaan yang baik, tentu kita akan bisa mewujudkan kehidupan yang rukun, damai dan harmonis, dan itulah harapan yang ingin dibangun agar proses pembangunan bangsa dapat berjalan dengan baik dan lancar," katanya.

Dirjen: Tradisi membaca kitab suci bukan sebatas warisan spiritual


Direktur Jenderal (Dirjen) Bimas Buddha Kementerian Agama Supriyadi berfoto bersama panitia Indonesia Tipitaka Chanting dan Asalha Mahapuja 2569/2025 di Taman Lumbini kompleks Candi Borobudur Kabupaten Magelang, Jumat (4/7). ANTARA/Heru Suyitno