Klaten (ANTARA) - Air merupakan sumber kehidupan bagi seluruh makhluk, baik manusia, hewan, maupun tumbuhan. Sebagian orang beruntung karena tinggal dekat dengan mata air. Namun demikian, tidak sedikit pula yang kurang beruntung, karena hidup jauh dari sumber air.
Salah satu desa yang sempat mengalami kesulitan air hingga berpuluh-puluh tahun lamanya adalah Desa Bunder, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Meskipun Kabupaten Klaten dijuluki Kota Seribu Umbul karena di daerah ini banyak terdapat sumber mata air atau umbul, tapi ada beberapa desa yang masih rawan kekeringan jika musim kemarau, salah satunya Desa Bunder.
Untuk mengakses sumber mata air, warga setempat harus berjalan hingga 4 km menuju sumur terdekat, di desa tetangga. Di sana bukan berarti stok air melimpah. Mereka harus berbagi dengan warga lain. Sementara mobil tangki pengangkut air bersih saat itu belum bisa mengakses Desa Bunder karena jembatan penghubung hanya selebar 1 meter.
Oleh karena itu, bagi masyarakat setempat, hujan adalah anugerah. Mereka bisa mengumpulkan air sebanyak-banyaknya saat musim hujan tiba. Air hujan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan minum, masak, dan kebutuhan ternak.
Kendati begitu, tidak jarang masyarakat setempat mengalami sakit karena mengkonsumsi air hujan. Walaupun sudah dimasak, kandungan asam yang cukup tinggi pada air hujan dapat memicu munculnya sejumlah penyakit.
Harapan untuk bisa mengkonsumsi air yang lebih sehat pun muncul ketika seorang rohaniwan Katolik bernama Romo Vincentius Kirjito Pr yang akrab disapa Romo Kirjito datang ke desa tersebut.
Romo Kirjito yang bertugas di wilayah Lereng Merapi pada tahun 2000, memulai observasi. Pada saat itu, di Desa Bunder tidak ditemukan sumber air. Melihat fakta tersebut, ia berkeinginan untuk meneliti dan mendapatkan sumber mata air alternatif. Romo Kirjito melakukan konservasi air dan memanen air hujan.
Ia juga mengajak masyarakat sekitar untuk ikut menjaga ekosistem alam, termasuk menjaga sumber air. Melalui uji yang sederhana, dia mulai mengukur keasaman air dan total zat padat terlarut (Total Dissolved Solid/TDS). Melihat hasil yang baik dari air hujan usai melewati pengolahan elektrolisis, maka mulailah lebih serius untuk mendorong masyarakat menggunakan air hujan.
Sementara itu, bagi Sunarno (63) dan warga lain, Romo Kirjito adalah pahlawan karena membantu mereka menciptakan air sehat dengan teknik elektrolisis. Pada tahun 2014, Romo Kirjito memberikan pelatihan kepada masyarakat tentang pemanfaatan air hujan tersebut. Romo Kirjito memiliki banyak jemaat yang tinggal di kawasan atas atau jauh dari sumber mata air, seperti halnya di Desa Bunder.
Awalnya, pengolahan menggunakan elektrolisis tersebut menggunakan air sumur, namun karena keterbatasan air yang ada akhirnya pengolahan lebih banyak menggunakan bahan baku air hujan.
Dengan instalasi