Semarang (ANTARA) - Kuncup bunga itu akan mekar atau justru bisa layu, menjadi perumpamaan yang pas untuk jiwa anak-anak di sekolah terhadap perilaku perundungan atau bullying.
Perundungan tersebut tidak hanya kekerasan fisik, namun juga bisa berupa verbal, juga sosial baik di dunia nyata dan maya yang dilakukan perorangan atau kelompok yang membuat seseorang merasa tidak nyaman, sakit hati, dan tertekan.
“Memanggil tidak sesuai nama,” kata Gery Valentino Firtson, siswa kelas lima sebuah SD di Kota Semarang ini memberikan contoh tindakan yang masuk dalam kategori perundungan.
Contoh lain perundungan yang biasa terjadi di lingkungan sekolah yakni korban disuruh-suruh oleh murid lain, mendapat ancaman, diejek atau dicela, dikucilkan, sampai merusak barang yang menjadi kesayangan korban, atau hukuman fisik dalam penegakan kedisiplinan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat pada 2020, adanya 119 kasus perundungan terhadap anak. Jumlah itu melonjak dari tahun-tahun sebelumnya yang berkisar 30-60 kasus per tahun.
Baca juga: KPAI kecam perundungan murid di Sragen
Dampak bagi Siswa
Perundungan, mengakibatkan beragam dampak pada korban dalam hal ini siswa di antaranya, kurang percaya diri dan hal itu bisa mempengaruhi hasil belajar, serta hubungan dengan sesama siswa
Siswa menjadi malu dan tidak berani mempresentasikan hasil diskusi atau kegiatan keterampilan lainnya pada pembelajaran.
Dampak yang lebih berat, siswa merasa tidak semangat atau bahkan tidak mau berangkat sekolah, sehingga bolos dan itu sangat merugikan karena tidak menerima pembelajaran dan pendidikan. Hasil akhir penilaian pun menjadi buruk.
Program Penilaian Pelajar Indonesia 2018 menyimpulkan paparan yang lebih besar terhadap perundungan memiliki kaitan dengan kinerja membaca yang lebih rendah.
Beragam dampak yang muncul layaknya bom waktu baik itu bagi siswa maupun sekolah, maka perlu dilakukan langkah cepat dalam penanganannya baik oleh guru atau warga sekolah lainnya.
Baca juga: Siswa di Demak ikuti workshop implementasi sekolah bebas perundungan
Upaya penanganan
Besarnya dampak yang dihasilkan dari perundungan perlu menjadi perhatian semua pihak, baik dari sekolah dan masyarakat sekitar.
Di SDN Sendangmulyo 02 Semarang, para komite sekolah dan paguyuban orang tua menyadari bahayanya perundungan dan sebagai langkah antisipasi, mereka membuat Kampanye Stop Bulliying yang diimplementasikan dalam berbagai kegiatan seperti penyuluhan, imbauan yang disampaikan dalam apel pagi sekolah,serta membagikan binder buku dengan cover bergambar dan tulisan stop bulliying.
Pada saat apel pagi, SDN Sendangmulyo 02 juga tidak jarang mengundang polisi Kantibnas Sendangmulyo sebagai pembina upacara untuk memberikan penyuluhan dan himbuan tentang stop bullying di lingkungan sekolah.
Guru juga ambil bagian dengn melakukan penekanan secara langsung apabila mendapati bullying antarsiswa dan juga bisa mengkaitkan nilai-nilai pelajaran PKn saling menghargai sesama teman sebagai sarana edukasi.
Muhamad Ali Rozikin guru kelas 5C SDN Sedangmulyo 02 menilai Kampanye Stop Bulliying yang dilakukan secara bersama-sama tersebut sangat tepat.
“Iya bulliying seperti bom yang bisa meledak dan berdampak buruk, misal memanggil tidak sesuai nama asli, itu lama-kelamaan bisa membawa dampak bagi psikologi anak, anak menjadi kurang percaya diri, dan lainnya. Selain itu juga bisa menjadi pemicu pertengkaran antar siswa dan menjadikan lingkungan sekolah tidak kondusif,” kata Ali.
Ali mengakui dengan kerja sama yang baik antarwarga sekolah, para komite sekolah, dan paguyuban orang tua, di SDN Sedangmulyo 02 tidak ada kasus perundungan, sehingga proses belajar mengajar semakin maksimal, serta suasana belajar menyenangkan bagi siswa.
Beragam upaya tersebut diharapkan bisa menghasilkan anak didik tumbuh dengan kepercayaan yang mantap, berkarakter Pancasila, dan kuncup bunga sebagai perumpamaan jiwa anak dapat mekar dengan sempurna.
Baca juga: Beda "bullying" dengan sebatas bercanda menurut psikolog
*Penulis: Muhamad Ali Rozikin
Guru Sekolah Mitra Program PINTAR
Tanoto Foundation