Jakarta (ANTARA) - Telah pulang seorang sahabat Margiono. Innalillahi wa inna ilaihi raji'un -- sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali --.
Kabar duka kami terima dari keluarga Margiono dan menyebar cepat ke berbagai Group WhatsApp. Margiono meninggal, Selasa (1/2/22) pukul 09.45 di RSPP Modular, Jakarta, dalam usia 62 tahun. Beberapa hari sebelumnya, kami menerima kabar Margiono dirawat karena COVID-19.
Margiono -- biasa disapa MG -- Ketua Umum PWI Pusat dua periode (2008-2013 dan 2014-2019). Saat ini menjabat sebagai Ketua Penasihat PWI Pusat periode kepengurusan Ketua Umum Atal S. Depari.
Semasa hidup, Margiono dikenal sebagai wartawan yang bersikap kritis. Harian Rakyat Merdeka yang dipimpinnya berkali-kali diajukan ke pengadilan karena pemberitaan, termasuk pada masa Megawati sebagai Presiden.
Jauh sebelumnya, ketika di Majalah D&R, surat izin majalah ini dicabut karena menampilkan sampul bergambar Presiden Soeharto berpakaian raja dalam kartu king.
Saya mengenal secara pribadi Margiono saat kami sama-sama dalam rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kunjungan perdananya sebagai Presiden RI ke Malaysia dan Singapura, 2004.
Setahun kemudian, kami ikut rombongan Presiden ke Markas Umum PBB di New York, September 2005. Presiden menyampaikan pidato tentang reformasi PBB. Kami menginap di Hotel Millenium, seberang Markas PBB.
Setelah itu kami sering bertemu. Margiono dipilih sebagai Ketua Umum PWI Pusat dalam Kongres PWI di Banda Aceh, Juli 2008. Saat itu, saya Ketua Panitia Pusat Kongres.
Pembawaanya selalu tenang dengan canda segar. Setiap Hari Pers Nasional (HPN) saat memimpin PWI, pidato Margiono di hadapan Presiden RI dan undangan, selalu segar dengan candaan. MG tidak pernah menggunakan teks dalam setiap pidatonya. Ini mungkin karena kebiasaannya, selain sebagai wartawan, juga seorang dalang wayang kulit.
Soal tanpa teks pidato ini, saya mengalami sedikit persoalan. Setelah terpilih sebagai Ketua Umum PWI di Banda Aceh, Presiden SBY akan menerima semua peserta kongres di Istana. Sebagai ketua panitia, saya berkali-kali dihubungi Sekretariat Negara meminta dikirimkan teks pidato MG. Saya sampaikan ke MG, namun sampai malam teks pidato tidak juga muncul. Akhirnya, atas persetujuan MG, saya buat sendiri.
Dan, saat acara siangnya, MG tetap pidato tanpa teks, yang tentu beda yang disampaikannya dengan yang saya buat. Alhamdulillah semua berjalan lancar. Ini bagian dari banyak kenangan indah dengan MG.
Pergilah sahabat, kami pun sedang menunggu waktu tiba.
Semoga Allah melapangkan jalannya menuju "Jannatun Naim. Aamiin yaa Robbal'Alamin".
Asro Kamal Rokan, wartawan senior