Hakim bebaskan konglomerat Samin Tan dari dakwaan gratifikasi
Jakarta (ANTARA) - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta membebaskan konglomerat pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal Tbk (BLEM) Samin Tan dari semua dakwaan.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Samin Tan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan alternatif pertama maupun alternatif kedua. Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan penuntut umum," kata Ketua Majelis Hakim Panji Surono dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Dalam perkara ini Samin Tan didakwa memberikan uang kepada Eni Maulani Saragih selaku anggota Komisi VII DPR periode 2014-2019 seluruhnya Rp5 miliar dalam tiga tahap. Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut Samin Tan untuk divonis 3 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan.
Tujuan pemberian gratifikasi itu adalah agar Eni Maulani Saragih mau membantu permasalahan pemutusan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi 3 antara PT AKT dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Kalimantan Tengah.
"Memerintahkan terdakwa segera dibebaskan dari tahanan. Memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan harkat, dan martabatnya," tambah Hakim Panji Surono.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim yang terdiri atas Panji Surono, Teguh Santoso, dan Sukartono menyatakan bahwa perbuatan pemberi gratifikasi belum diatur dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Terdakwa Samin Tan selaku pemberi gratifikasi kepada Eni Maulani Saragih selaku anggota DPR belum diatur dalam peraturan perundang-perundangan, yang diatur adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dalam batas 30 hari tidak melaporkan ke KPK sesuai Pasal 12 B sehingga karena Eni Maulani tidak melaporkan gratifikasi maka diancam dalam Pasal 12 B," ungkap Hakim Teguh Santosa.
Menurut Majelis Hakim, Pasal 12 B UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 bukan merupakan delik suap tapi merupakan delik gratifikasi maka sangat tidak mungkin dalam gratifikasi itu mengancam pidana bagi yang memberikan.
"Sejak awal UU KPK dibentuk gratifikasi tidak dirancang untuk juga menjadi tindak pidana suap, gratifikasi menjadi perbuatan yang dilarang terjadi saat penerima gratifikasi tidak melaporkan hingga lewat tenggat waktu yang ditentukan UU," tambah Hakim Teguh.
Perbuatan melawan hukum yang dilakukan Eni Maulani karena tidak melaporkan gratifikasi yang dia terima.
"Sifat melawan hukum penerimaan gratifikasi ini ada dalam diri si penerima bukan dalam diri si pemberi. Sikap melawan hukum ini ditunjukkan kepada penerimanya hal inilah yang membedakan antara gratifikasi dan suap," ungkap Hakim Teguh.
Delik gratifikasi, menurut hakim, menjadi sempurna ketika penyelenggara negara tersebut, yaitu Eni Maulani Saragih tidak melaporkan menerima sesuatu dalam waktu 30 hari sejak pemberian sesuatu diterima sebagaimana diatur dalam Pasal 12 B.
"Menimbang karena belum diatur dalam peraturan perundangan maka dikaitkan dengan pasal 1 ayat 1 KUHAP menyatakan pelaku perbuatan tidak akan dipidana kecuali dengan peraturan perundangan yang sudah ada maka ketentuan Pasal 12 B tidak ditujukan kepada pemberi sesuatu dan kepadanya tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya," jelas hakim.
Sementara dalam putusan utusan PN Tipikor pada PN Jakarta Pusat Nomor: 100/Pid.Sus/TPK/2018/PN.Jkt Pst tanggal 1 Maret 2019 untuk Eni Maulani Saragih divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan ditambah kewajiban untuk membayar uang pengganti sebesar Rp5,87 miliar dan 40 ribu dolar Singapura karena terbukti menerima Rp10,35 miliar 40 ribu dolar Singapura, salah satunya menerima gratifikasi dari Samin Tan sejumlah Rp5 miliar.
"Menimbang dalam putusan dimana eni maulani diputus melanggar pasal 12 huruf B ayat 1 dimana Eni menerima pemberian dari Samin Tan sejumlah Rp5 miliar oleh karenanya terdakwa Samin Tan yang telah memberikan uang ke Eni Maulani Saragih tidak mungkin dimintakan pertanggungjawaban pidananya. Karena terdakwa dibebaskan maka harus dipulihkan harkat dan martabatnya," ungkap hakim.
Hakim juga menjelaskan bahwa Samin Tan adalah korban dari Eni Maulani Saragih.
"Terdakwa Samin Tan adalah korban dari Eni Maulani Saragih yang meminta uang untuk membiayai pencalonan suaminya sebagai calon kepala daerah di kabupaten Temanggung Jawa Tengah," kata hakim.
Eni Maulani Saragih dinilai tidak punya kewenangan untuk mencabut Surat Keputusan Menteri ESDM No.3174K/30/MEM/2017 mengenai terminasi Perjanjian Karya Pengusahaan Tambang Batubara (PKP2B) untuk PT Asmin Kolaindo Tuhup (AKT) yang merupakan anak perusahaan PT BLEM, yang punya kewenangan adalah Menteri ESDM sehingga terdakwa memberikan uang kepada Eni maulani sebagai korban pemerasan.
Atas putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum KPK langsung menyatakan kasasi.
"Kami menyatakan kasasi," kata JPU KPK Ronald F Worotikan.
Sedangkan penasihat hukum Samin Tan, Yadi Noviadi Yusuf menyatakan bersyukur atas putusan itu.
"Alhamdulillah terima kasih majelis hakim mendengar itu membaca putusan bebas. Jujur kita terkejut ya tapi karena hakim berani menerima argumentasi kita, kita pakai akademisi, tidak praktisi kita lebih menerangkan bagaimana sifat melawan hukum. Kita tunggu saja nanti upaya hukum dari jaksa," kata Yadi.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Samin Tan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan alternatif pertama maupun alternatif kedua. Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan penuntut umum," kata Ketua Majelis Hakim Panji Surono dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Dalam perkara ini Samin Tan didakwa memberikan uang kepada Eni Maulani Saragih selaku anggota Komisi VII DPR periode 2014-2019 seluruhnya Rp5 miliar dalam tiga tahap. Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut Samin Tan untuk divonis 3 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan.
Tujuan pemberian gratifikasi itu adalah agar Eni Maulani Saragih mau membantu permasalahan pemutusan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi 3 antara PT AKT dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Kalimantan Tengah.
"Memerintahkan terdakwa segera dibebaskan dari tahanan. Memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan harkat, dan martabatnya," tambah Hakim Panji Surono.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim yang terdiri atas Panji Surono, Teguh Santoso, dan Sukartono menyatakan bahwa perbuatan pemberi gratifikasi belum diatur dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Terdakwa Samin Tan selaku pemberi gratifikasi kepada Eni Maulani Saragih selaku anggota DPR belum diatur dalam peraturan perundang-perundangan, yang diatur adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dalam batas 30 hari tidak melaporkan ke KPK sesuai Pasal 12 B sehingga karena Eni Maulani tidak melaporkan gratifikasi maka diancam dalam Pasal 12 B," ungkap Hakim Teguh Santosa.
Menurut Majelis Hakim, Pasal 12 B UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 bukan merupakan delik suap tapi merupakan delik gratifikasi maka sangat tidak mungkin dalam gratifikasi itu mengancam pidana bagi yang memberikan.
"Sejak awal UU KPK dibentuk gratifikasi tidak dirancang untuk juga menjadi tindak pidana suap, gratifikasi menjadi perbuatan yang dilarang terjadi saat penerima gratifikasi tidak melaporkan hingga lewat tenggat waktu yang ditentukan UU," tambah Hakim Teguh.
Perbuatan melawan hukum yang dilakukan Eni Maulani karena tidak melaporkan gratifikasi yang dia terima.
"Sifat melawan hukum penerimaan gratifikasi ini ada dalam diri si penerima bukan dalam diri si pemberi. Sikap melawan hukum ini ditunjukkan kepada penerimanya hal inilah yang membedakan antara gratifikasi dan suap," ungkap Hakim Teguh.
Delik gratifikasi, menurut hakim, menjadi sempurna ketika penyelenggara negara tersebut, yaitu Eni Maulani Saragih tidak melaporkan menerima sesuatu dalam waktu 30 hari sejak pemberian sesuatu diterima sebagaimana diatur dalam Pasal 12 B.
"Menimbang karena belum diatur dalam peraturan perundangan maka dikaitkan dengan pasal 1 ayat 1 KUHAP menyatakan pelaku perbuatan tidak akan dipidana kecuali dengan peraturan perundangan yang sudah ada maka ketentuan Pasal 12 B tidak ditujukan kepada pemberi sesuatu dan kepadanya tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya," jelas hakim.
Sementara dalam putusan utusan PN Tipikor pada PN Jakarta Pusat Nomor: 100/Pid.Sus/TPK/2018/PN.Jkt Pst tanggal 1 Maret 2019 untuk Eni Maulani Saragih divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan ditambah kewajiban untuk membayar uang pengganti sebesar Rp5,87 miliar dan 40 ribu dolar Singapura karena terbukti menerima Rp10,35 miliar 40 ribu dolar Singapura, salah satunya menerima gratifikasi dari Samin Tan sejumlah Rp5 miliar.
"Menimbang dalam putusan dimana eni maulani diputus melanggar pasal 12 huruf B ayat 1 dimana Eni menerima pemberian dari Samin Tan sejumlah Rp5 miliar oleh karenanya terdakwa Samin Tan yang telah memberikan uang ke Eni Maulani Saragih tidak mungkin dimintakan pertanggungjawaban pidananya. Karena terdakwa dibebaskan maka harus dipulihkan harkat dan martabatnya," ungkap hakim.
Hakim juga menjelaskan bahwa Samin Tan adalah korban dari Eni Maulani Saragih.
"Terdakwa Samin Tan adalah korban dari Eni Maulani Saragih yang meminta uang untuk membiayai pencalonan suaminya sebagai calon kepala daerah di kabupaten Temanggung Jawa Tengah," kata hakim.
Eni Maulani Saragih dinilai tidak punya kewenangan untuk mencabut Surat Keputusan Menteri ESDM No.3174K/30/MEM/2017 mengenai terminasi Perjanjian Karya Pengusahaan Tambang Batubara (PKP2B) untuk PT Asmin Kolaindo Tuhup (AKT) yang merupakan anak perusahaan PT BLEM, yang punya kewenangan adalah Menteri ESDM sehingga terdakwa memberikan uang kepada Eni maulani sebagai korban pemerasan.
Atas putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum KPK langsung menyatakan kasasi.
"Kami menyatakan kasasi," kata JPU KPK Ronald F Worotikan.
Sedangkan penasihat hukum Samin Tan, Yadi Noviadi Yusuf menyatakan bersyukur atas putusan itu.
"Alhamdulillah terima kasih majelis hakim mendengar itu membaca putusan bebas. Jujur kita terkejut ya tapi karena hakim berani menerima argumentasi kita, kita pakai akademisi, tidak praktisi kita lebih menerangkan bagaimana sifat melawan hukum. Kita tunggu saja nanti upaya hukum dari jaksa," kata Yadi.