Jakarta (ANTARA) - Indonesia mengusulkan pengaturan penggunaan hak veto di Dewan Keamanan (DK) PBB daripada wacana penghapusan hak yang dimiliki oleh lima negara yaitu Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Rusia, dan China itu.
Menurut Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri Febrian A Ruddyard, penghapusan hak veto dianggap tidak realistis karena akan mengubah isi Piagam PBB yang perubahannya sendiri harus berdasarkan kesepakatan dan ratifikasi dari kelima negara P5 tersebut.
“Menurut saya, yang lebih masuk akal adalah mengatur penggunaan veto kira-kira di isu apa saja veto ini tidak boleh dipakai,” kata Febrian dalam seminar daring mengenai Presidensi Indonesia di DK PBB, Rabu.
Dalam hal ini, larangan penggunaan veto mungkin dapat diatur untuk pelanggaran berat seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, serta agresi.
Selain itu, yang juga dapat diatur dalam hak veto adalah alasan yang melatarbelakangi penggunaannya.
Pasalnya, selama ini negara-negara yang memiliki hak veto memiliki hak prerogatif untuk tidak menjelaskan alasan di balik keputusannya untuk melakukan veto.
“Sekali lagi, menghapuskan veto saya rasa bukan suatu posisi yang realistis, karena tidak mungkin negara P5 meratifikasi adanya perubahan (Piagam PBB) untuk melucuti vetonya sendiri,” Febrian menegaskan.
Wakil Tetap RI untuk PBB di New York Dian Triansyah Djani menjelaskan bahwa isu ini juga menjadi perhatian bagi Prancis dan Meksiko, yang telah mengajukan inisiatif agar hak veto tidak digunakan untuk isu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Namun, pembahasan mengenai hak veto sebagai bagian dari reformasi DK PBB kini terhambat akibat pandemi COVID-19 yang mempersulit pertemuan tatap muka di antara anggota DK.
“Jadi perlu ditunda lagi pembahasannya,” kata Dubes Djani.
Pendapat yang sama disampaikan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana yang menyebut bahwa penghapusan hak veto oleh negara-negara P5 jelas sulit dan tidak akan terjadi dalam waktu singkat.
Namun, wacana penghapusan hak veto diharapkan dapat direalisasikan oleh generasi muda di lima negara tersebut dengan dilandasi pemikiran bahwa penggunaan hak veto di dalam DK PBB sebetulnya tidak adil.
“Merekalah menurut saya akan menjadi prime mover untuk reformasi PBB, bukan kita-kita ini yang di luar negara P5,” kata Hikmahanto.
Selain isu hak veto, reformasi DK PBB juga mencakup empat isu lain yakni kategori keanggotaan DK PBB, jumlah perwakilan dari setiap kawasan, jumlah anggota DK PBB, serta metode kerja DK PBB dengan Sidang Majelis Umum PBB.