Purwokerto (ANTARA) - Konseling siber atau cyber counseling cocok diterapkan pada masa tatanan baru, khususnya bagi peserta didik atau konseli yang ingin mendapatkan bimbingan psikologis dari konselor maupun guru bimbingan konseling, kata psikolog Aurlia Setiyanie.
"Sesuai Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014, bimbingan konseling merupakan usaha bantuan oleh konselor atau guru bimbingan konseling (BK) sesuai dengan tugas pokoknya," kata dia saat menjadi pembicara dalam Webinar "Cyber Counceling Bagi Gen Z Pada Masa New Normal" yang diselenggarakan oleh Universitas Harapan Bangsa (UHB) Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis.
Dalam hal ini, kata dia, konselor atau guru BK bertugas untuk membantu pencapaian tujuan pendidikan nasional, khususnya para peserta didik atau konseli, untuk memaksimalkan perkembangannya secara optimal, sukses, mandiri, sejahtera, dan bahagia dalam kehidupannya.
Akan tetapi, lanjut dia, hal itu tentu bukan perkara yang mudah apabila seorang guru BK disuruh membuat anak didik atau siswanya seperti yang diharapkan dalam tugas pokoknya sebagai konselor.
"Itu bukan perkara yang mudah, saya akui. Tapi ini merupakan hal yang bisa kita raih atau capai. Tentu ini harus melalui proses-proses yang mau kita telateni, kita kerjakan," katanya.
Lebih lanjut, Aurlia mengatakan Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia juga sudah menyampaikan panduan layanan konseling pada masa normal baru di mana layanan bimbingan konseling juga mendukung kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam program perencanaan penyelenggaraan pendidikan serta ikut menerapkan protokol kesehatan
Dengan adanya panduan seperti itu, kata dia, seorang guru BK atau konselor tentu tetap dapat memberikan layanan kepada konseli maupun peserta didik sesuai dengan program layanan yang sudah disusun sebelumnya
"Salah satu cara yang menurut saya paling sesuai untuk sekarang ini, yaitu cyber counseling (konseling siber)," katanya.
Menurut dia, konseling siber adalah salah satu strategi bimbingan dan konseling yang bersifat virtual atau konseling yang berlangsung melalui bantuan internet.
"Untuk melakukan cyber counseling yang perlu dipersiapkan tentunya penguasaan dasar aplikasi komputer dan internet," ujarnya.
Ia mengatakan fungsi konseling siber adalah mengikuti teknologi pada zaman yang selalu berkembang, proses bimbingan dan konseling dapat dilakukan di luar jam kerja, memperoleh informasi yang diinginkan secara cepat, dan waktu akan lebih efisien.
Kendati demikian, dia mengatakan untuk memenuhi fungsi tersebut, konselor mempunyai kode etik tersendiri, yakni melakukan kesepakatan dengan konseli untuk diberlakukannya konseling siber.
Menurut dia, konseling siber itu sudah mulai banyak digunakan, salah satunya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Rupadi di Semarang.
Dalam hal ini, dia mengutip pemberitaan salah satu media siber yang menggambarkan peminat layanan konseling siber yang diberikan oleh LBH Rupadi.
"Dalam berita itu disebutkan jumlah konseli yang menggunakan layanan cyber counseling LBH Rupadi didominasi oleh pelajar dan mahasiswa sebanyak 116 orang. Banyak pelajar yang mengeluhkan belajar di rumah secara daring, ujian tengah semester juga secara daring," ujarnya.
Terkait dengan strategi konseling siber dalam menghadapi Gen-Z (generasi setelah Generasi Y/Gen-Y yang didefinisikan sebagai orang-orang yang lahir dalam rentang tahun 1997 sampai 2012, red.) pada masa tatanan normal baru, menurut Aurlia, hal itu dapat dilakukan dengan berbasis website, surel (e-mail), konferensi video, dan telepon.
Ia mengatakan cara menghadapi Gen-Z, di antaranya mengarahkan mereka untuk berpikir cerdas dan kreatif, mengajak mereka untuk melihat konsekuensi baik buruk dari suatu tindakan, serta memotivasi mereka untuk berani mengambil keputusan dan tindakan atas pilihan yang sudah mereka pilih.
Baca juga: Pakar: Ruang siber salah satu solusi "The New Normal"
Baca juga: Pakar sebut ruang siber ancaman eksistensi Pancasila
"Cyber counseling memiliki kelebihan dapat menjangkau secara luas setting layanan konseling. Artinya, dengan cyber counseling dapat menguntungkan konselor dan konseli dari sisi waktu dan finansial, karena proses konseling tak dibatasi ruang dan waktu, kapan dan dimana saja proses konseling dapat dilaksanakan," katanya.
Kendati demikian, dia mengakui adanya kelemahan dalam konseling siber, yakni legal, etik, dan prosedur pelaksanaan.
Dalam hal ini, kata dia, konselor tidak punya cukup perhatian dalam memperhatikan ekspresi wajah, bahasa tubuh konseli dan isyarat verbal, kurangnya dinamika, dan tidak dapat dikontrol secara jelas perilaku-perilaku yang melemahkan dinamika konseling.
"Adaptasi cyber counseling, khususnya dalam hal relevansi dan efektivitas pada masa new normal (normal baru), yakni komunikasii yang efektif tak selalu bertumpu pada komunikasi face to face yang secara konvensional menjadi andalan. Saat ini, konselor sangat dituntut untuk memanfaatkan jasa teknologi dan efisiensi konseling dengan cara yang aman," kata Aurlia.