Divonis bersalah, Imam Nahrawi kecewa atas putusan hakim
Jakarta (ANTARA) - Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi mengaku kecewa atas putusan majelis hakim yang menyatakan ia bersalah dan tidak mempertimbangkan pleidoi diajukannya.
"Terima kasih kepada majelis hakim, pertimbangan-pertimbangan tadi tidak memuat satu pun dari pleidoi kami karena itu kami berdoa kepada Allah SWT semoga yang mulia terjaga reputasinya dan terjaga dari aib-aib yang ada, terima kasih kepada JPU yang sudah menuntut dan seperti yang kami sampaikan tuntutan mirip-mirip dengan persidangan Ulum," kata Imam, di Gedung KPK Jakarta, Senin.
Baca juga: Mantan Menpora Imam Nahrawi divonis 7 tahun bui
Dalam perkara ini, Imam divonis 7 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 3 bulan kurungan karena terbukti menerima suap senilai Rp11,5 miliar dan gratifikasi sebesar Rp18,348 miliar dari sejumlah pejabat Kemenpora dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
Sebelumnya, Imam dalam nota pembelaannya (pleidoi) mengatakan mengajukan diri sebagai pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum (justice collaborator) untuk membongkar aliran dana Rp11,5 miliar yang menurutnya tidak ia nikmati.
"Kami meminta agar yang mulia menindaklanjuti Rp11,5 miliar aliran karena saya demi Allah demi Rassulullah tidak menerima Rp11,5 miliar itu. Beri kesempatan saya memperdalam dan saya harus beristighfar dan minta pertolongan Allah, kami maafkan JPU, penyelidik, penyidik, pimpinan KPK dan majelis yang mulia untuk jadi pelajaran," ujar Imam.
Baca juga: Permohonan "justice collaborator" Imam Nahrawi ditolak
Imam pun meminta waktu pikir-pikir selama 7 hari.
"Kami akan pikir-pikir dan tentu kami berusaha keras agar Rp11,5 miliar dana KONI ini bisa kita bongkar bersama-sama," ujar Imam.
Dalam dakwaan pertama, Imam Nahrawi bersama mantan asisten pribadinya Miftahul Ulum dinilai terbukti menerima uang seluruhnya berjumlah Rp11,5 miliar dari Sekretaris Jenderal KONI Ending Fuad Hamidy dan Bendahara Umum KONI Johnny E. Awuy.
Tujuan pemberian suap itu adalah untuk mempercepat proses persetujuan dan pencairan Bantuan Dana Hibah yang diajukan oleh KONI Pusat kepada Kemenpora tahun kegiatan 2018.
Pada proposal pertama, KONI mengajukan proposal pengawasan dan pendampingan sejumlah Rp51,592 miliar. Kedua, terkait proposal dukungan KONI Pusat dalam pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi tahun 2018 dengan usulan dana Rp16,462 miliar dan diubah lagi menjadi Rp27,5 miliar.
"Hubungan kedekatan Miftahul Ulum dan terdakwa Imam Nahrawi dan disposisi terdakwa menimbulkan keyakinan majelis bahwa uang dari KONI tersebut sudah diterima terdakwa," kata anggota majelis Saifuddin Zuhri.
Selanjutnya dalam dakwaan kedua, Imam Nahrawi bersama-sama Ulum didakwa menerima gratifikasi senilai total Rp8,35 miliar yang berasal dari sejumlah pihak.
Baca juga: Jaksa KPK: Imam Nahrawi tak pernah menolak uang yang sudah diterima
Pertama, penerimaan Rp300 juta dari Ending Fuad Hamidy. Uang itu diminta Ulum kepada Sekretaris Menpora pada 2015, Alfitra Salamm untuk membiayai kegiatan Muktamar NU di Jombang. Uang Rp300 juta diberikan pada 6 Agustus 2015 di satu rumah di Jombang oleh Alfitra Salamm kepada Ulum di hadapan Imam.
Kedua, gratifikasi sebesar Rp4,948 miliar sebagai tambahan operasional Menpora RI dari Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (Prima) Kemenpora 2015-2016 Lina Nur Hasanah. Uang digunakan antara lain untuk membayar tagihan kartu kredit Imam, perjalanan ke Melbourne, pembayaran tiket masuk F1 rombongan Kemenpora pada 19-20 Maret 2016, membayar acara buka puasa, membayar tagihan pakaian Imam, hingga membayar tagihan kartu kredit Ulum.
Ketiga, penerimaan gratifikasi sejumlah Rp2 miliar sebagai pembayaran jasa desain Konsultan Arsitek Kantor Budipradono Architecs dari Lina Nurhasanah untuk merenovasi rumah pribadi Imam di Cipayung, Jakarta Timur, desain interior Hatice Boutique and Cafe di Kemang, desain asrama untuk santri, pendopo dan lapangan bulu tangkis di tanah seluas 3.022 meter persegi di Cipedak, Jagakarsa.
Keempat, gratifikasi sejumlah Rp1 miliar dari Edward Taufan Pandjaitan alias Ucok selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Program Satlak Prima 2016-2017. Uang diserahkan pada Agustus 2018 melalui bantuan pebulutangkis Taufik Hidayat di rumah Taufik di Jalan Wijaya Kebayoran Baru.
Kelima, gratifikasi sebesar Rp400 juta dari Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON) periode tahun 2017-2018 Supriyono sebagai uang honor untuk kegiatan Satlak Prima.
Terkait perkara ini, Miftahul Ulum selaku mantan asisten pribadi mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan pada 15 Juni 2020 lalu.
"Terima kasih kepada majelis hakim, pertimbangan-pertimbangan tadi tidak memuat satu pun dari pleidoi kami karena itu kami berdoa kepada Allah SWT semoga yang mulia terjaga reputasinya dan terjaga dari aib-aib yang ada, terima kasih kepada JPU yang sudah menuntut dan seperti yang kami sampaikan tuntutan mirip-mirip dengan persidangan Ulum," kata Imam, di Gedung KPK Jakarta, Senin.
Baca juga: Mantan Menpora Imam Nahrawi divonis 7 tahun bui
Dalam perkara ini, Imam divonis 7 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 3 bulan kurungan karena terbukti menerima suap senilai Rp11,5 miliar dan gratifikasi sebesar Rp18,348 miliar dari sejumlah pejabat Kemenpora dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
Sebelumnya, Imam dalam nota pembelaannya (pleidoi) mengatakan mengajukan diri sebagai pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum (justice collaborator) untuk membongkar aliran dana Rp11,5 miliar yang menurutnya tidak ia nikmati.
"Kami meminta agar yang mulia menindaklanjuti Rp11,5 miliar aliran karena saya demi Allah demi Rassulullah tidak menerima Rp11,5 miliar itu. Beri kesempatan saya memperdalam dan saya harus beristighfar dan minta pertolongan Allah, kami maafkan JPU, penyelidik, penyidik, pimpinan KPK dan majelis yang mulia untuk jadi pelajaran," ujar Imam.
Baca juga: Permohonan "justice collaborator" Imam Nahrawi ditolak
Imam pun meminta waktu pikir-pikir selama 7 hari.
"Kami akan pikir-pikir dan tentu kami berusaha keras agar Rp11,5 miliar dana KONI ini bisa kita bongkar bersama-sama," ujar Imam.
Dalam dakwaan pertama, Imam Nahrawi bersama mantan asisten pribadinya Miftahul Ulum dinilai terbukti menerima uang seluruhnya berjumlah Rp11,5 miliar dari Sekretaris Jenderal KONI Ending Fuad Hamidy dan Bendahara Umum KONI Johnny E. Awuy.
Tujuan pemberian suap itu adalah untuk mempercepat proses persetujuan dan pencairan Bantuan Dana Hibah yang diajukan oleh KONI Pusat kepada Kemenpora tahun kegiatan 2018.
Pada proposal pertama, KONI mengajukan proposal pengawasan dan pendampingan sejumlah Rp51,592 miliar. Kedua, terkait proposal dukungan KONI Pusat dalam pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi tahun 2018 dengan usulan dana Rp16,462 miliar dan diubah lagi menjadi Rp27,5 miliar.
"Hubungan kedekatan Miftahul Ulum dan terdakwa Imam Nahrawi dan disposisi terdakwa menimbulkan keyakinan majelis bahwa uang dari KONI tersebut sudah diterima terdakwa," kata anggota majelis Saifuddin Zuhri.
Selanjutnya dalam dakwaan kedua, Imam Nahrawi bersama-sama Ulum didakwa menerima gratifikasi senilai total Rp8,35 miliar yang berasal dari sejumlah pihak.
Baca juga: Jaksa KPK: Imam Nahrawi tak pernah menolak uang yang sudah diterima
Pertama, penerimaan Rp300 juta dari Ending Fuad Hamidy. Uang itu diminta Ulum kepada Sekretaris Menpora pada 2015, Alfitra Salamm untuk membiayai kegiatan Muktamar NU di Jombang. Uang Rp300 juta diberikan pada 6 Agustus 2015 di satu rumah di Jombang oleh Alfitra Salamm kepada Ulum di hadapan Imam.
Kedua, gratifikasi sebesar Rp4,948 miliar sebagai tambahan operasional Menpora RI dari Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (Prima) Kemenpora 2015-2016 Lina Nur Hasanah. Uang digunakan antara lain untuk membayar tagihan kartu kredit Imam, perjalanan ke Melbourne, pembayaran tiket masuk F1 rombongan Kemenpora pada 19-20 Maret 2016, membayar acara buka puasa, membayar tagihan pakaian Imam, hingga membayar tagihan kartu kredit Ulum.
Ketiga, penerimaan gratifikasi sejumlah Rp2 miliar sebagai pembayaran jasa desain Konsultan Arsitek Kantor Budipradono Architecs dari Lina Nurhasanah untuk merenovasi rumah pribadi Imam di Cipayung, Jakarta Timur, desain interior Hatice Boutique and Cafe di Kemang, desain asrama untuk santri, pendopo dan lapangan bulu tangkis di tanah seluas 3.022 meter persegi di Cipedak, Jagakarsa.
Keempat, gratifikasi sejumlah Rp1 miliar dari Edward Taufan Pandjaitan alias Ucok selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Program Satlak Prima 2016-2017. Uang diserahkan pada Agustus 2018 melalui bantuan pebulutangkis Taufik Hidayat di rumah Taufik di Jalan Wijaya Kebayoran Baru.
Kelima, gratifikasi sebesar Rp400 juta dari Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON) periode tahun 2017-2018 Supriyono sebagai uang honor untuk kegiatan Satlak Prima.
Terkait perkara ini, Miftahul Ulum selaku mantan asisten pribadi mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan pada 15 Juni 2020 lalu.