Semarang (ANTARA) - Kota Semarang sudah sepekan menerapkan kebijakan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM). Memang tidak seketat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Masih banyak industri dan kegiatan bisnis di Ibu Kota Jawa Tengah ini menjalankan usahanya. Arus lalu lintas juga masih cukup ramai.
Aktivitas masyarakat memang menurun tajam sejak wabah COVID-19 merebak termasuk di Kota Semarang yang memiliki kasus COVID-19 terbanyak di Jateng.
Per 3 Mei 2020, jumlah pasien positif COVID-19 di Kota Semarang tercatat 248 orang, 112 pasien di antaranya berhasil disembuhkan, sedangkan yang meninggal mencapai 30 pasien.
Menyimak jumlah pasien yang berhasil disembuhkan, cukup menggembirakan karena mencapai 45 persen lebih. Namun jumlah kematiannya juga tinggi karena mencapai 12 persen lebih, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan persentase angka kematian nasional, sekitar 7,5 persen (per 3 Mei 2020).
Apresiasi patut disampaikan kepada paramedis yang tanpa lelah dan gentar tetap melayani pasien COVID-19 dengan segala risiko profesinya.
Kebijakan pemerintah membatasi kegiatan sudah seharusnya dipatuhi setiap warga. Begitu pula kepatuhan menjalankan protokol kesehatan pencegahan penularan virus berbahaya tersebut, mulai dari jaga jarak aman, sesering mungkin cuci tangan, pakai masker, hingga tidak keluar rumah kecuali ada keperluan sangat penting.
Namun dalam praktiknya, cukup banyak warga yang nekat melanggar protokol tersebut. Kerumunan masih dijumpai di berbagai titik. Beberapa tempat ibadah juga masih ada menyelenggarakan kegiatan yang melibatkan banyak orang. Padahal organisasi keagamaan seperti MUI, Muhammadiyah, dan NU sudah minta kepada umat Islam untuk salat tarawih di rumah. MUI juga minta muslimin menggantii shalat Jumat dengan shalat zuhur di rumah.
Setiap sore menjelang buka puasa, pemandangannya tidak terlalu jauh berbeda dibanding di masan normal. Di sejumlah pinggir jalan banyak pedagang tiban berjualan. Sayangnya, tidak sedikit pedagang dan pembeli mengabaikan protokol pencegahan COVID-19. Mereka tidak pakai masker. Juga tidak ada pembatasan jarak, bahkan yang terjadi malah kerumunan di beberapa tempat jualan.
Rasanya sulit kalau hanya mengandalkan aparat menertibkannya karena pada saat Ramadhan seperti sekarang ini, jumlah pedagang tiban sangat banyak. Betapa pun, keberadaan mereka juga menjadi katup penyelamat ekonomi di tengah makin banyaknya pekerja yang dirumahkan atau di-PHK.
Yang harus dilakukan pemerintah kota/kabupaten adalah memastikan mereka berjualan secara benar di tengah wabah COVID-19. Pemda harus memberi panduan berjualan aman kepada pedagang tiban, misalnya, dengan memberi garis aman antara pedagang dengan pembeli serta memastikan semuanya mengenakan masker.
Sekali lagi, Ramadhan 2020 merupakan momentum bagi banyak warga yang baru saja kehilangan pekerjaan atau pendapatan merosot untuk mencari uang. Jelang buka puasa, bagi mereka merupakan waktu yang berharga untuk memperoleh penghasilan agar bisa bertahan hidup.
Namun, jangan sampai ruang dan waktu tersebut juga menjadi ajang penularan COVID-19. Sudah saatnya aparat turun langsung memberi panduan berjualan aman sekaligus memastikan protokol tersebut dijalankan.
Cara Pemkot Salatiga memberi kotak dan garis berjualan secara aman di jalan layak dijadikan panduan agar ekonomi rakyat kecil tetap berputar, namun juga memberi rasa aman bagi pedagang dan konsumen.
Lebih dari itu, pedagang dan pembeli harus disiplin menerapkan jaga jarak, pakai masker, hingga cuci tangan dengan sabun.
Kedisiplinan memang jadi kunci pencegahan penularan COVID-19. Masih terlalu lama menunggu vaksin dan obat yang secara definitif diakui efektif mengatasi COVID-19.
Baca juga: Awas tidak pakai masker, warga Banyumas didenda Rp50 ribu
Baca juga: Kesadaran pedagang pasar tradisional di Solo untuk pakai masker meningkat