Semarang (ANTARA) - Pakar keamanan siber dari CISSReC Doktor Pratama Persadha memandang penting Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) segera menjadi undang-undang, mengingat Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah data yang sangat besar.
"RUU PDP tidak hanya mengatur online atau data dalam jaringan (daring), tetapi juga offline atau data luar jaringan (luring)," kata Pratama Persadha kepada ANTARA di Semarang, Selasa, ketika merespons usulan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate terkait dengan kedaulatan data masuk dalam RUU PDP.
Menurut Pratama, RUU PDP menjadi sangat krusial karena munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) yang membuat data warga Indonesia dan data yang berasal tanah air bisa ditaruh di luar negeri.
Baca juga: Pakar: Taruh data di LN bisa jadi senjata untuk serang Indonesia
Dikatakan pula bahwa rezim kedaulatan data ditujukan agar data bisa "dilindungi dan melindungi" dirinya sendiri. Namun, secara definisi kedaulatan data masih tarik ulur, apakah kedaulatan data direpresentasikan sebagai hak dan kemampuan setiap individu untuk mengelola datanya, atau lebih bersifat sentralistik, yakni semua data menjadi kewenangan negara untuk mengaturnya.
Bila melihat General Data Protection Regulation (GDPR), semacam UU PDP milik Uni Eropa, kata Pratama, kedaulatan data diartikan sebagai kewenangan individu untuk mengontrol datanya. Terkait dengan GDPR ini, muncul kasus cambridge analytica saat seorang warga Eropa bernama David ingin meminta datanya dari Facebook (FB).
Dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini mengemukakan bahwa kedaulatan data juga tentang bagaimana melakukan transfer data yang sebenarnya di Eropa cukup fleksibel.
"Data warga Uni Eropa bisa ditransfer ke negara yang memiliki kualifikasi perlindungan data yang sama dengan GDPR," kata Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC.
Ia mengutarakan bahwa pengaturan di Indonesia bisa mengambil jalan tengah, yakni memberikan kontrol terhadap warga negara untuk mengelola datanya. Pada saat yang sama, negara diberikan kesempatan untuk melakukan pengaturan dan kualifikasi data mana saja yang boleh dan tidak boleh ditaruh di luar Indonesia.
Baca juga: Pratama: Keamanan siber perlu jadi agenda utama pemerintah
Sebelum PP PSTE, menurut Pratama, ada keinginan untuk melokalisasi data, seperti di Cina dan Vietnam. Hal ini dari segi keamanan sangat baik dan menumbuhkan industri data center. Namun, kondisi pasar tanah air, banyak pelaku bisnis digital membutuhkan fleksibilitas sehingga muncul PP No. 71/2019.
"Untuk tetap mengamankan data tanah air, memang RUU PDP menjadi solusi, salah satunya dengan memasukkan pasal kedaulatan data di RUU tersebut," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Baca juga: Pakar: Kominfo perlu siapkan regulasi terkait masyarakat produsen konten
Berita Terkait
Mahasiswa UI uji UU Pilkada ke MK, pileg jangan ajang "test the water"
Sabtu, 2 Maret 2024 16:11 Wib
LPS: UU P2SK membuat masyarakat lebih terlindungi
Kamis, 1 Februari 2024 8:21 Wib
Perempuan pembuang bayi di Gunungpati dijerat UU Perlindungan Anak
Rabu, 13 Desember 2023 21:28 Wib
Pemkab Wonosobo sosialisasikan UU Pelindungan PMI
Jumat, 1 Desember 2023 6:52 Wib
Pemkab Kudus sosialisasikan UU Cukai kepada babinsa/bhabinkamtibmas
Kamis, 9 November 2023 15:41 Wib
Ganjar dorong UU Ponpes segera dilaksanakan
Selasa, 7 November 2023 8:50 Wib
Gibran tanggapi keputusan MK : Wis clear ya
Senin, 16 Oktober 2023 13:45 Wib
Kemenkes buka masukan publik tanggapi aturan turunan UU Kesehatan
Kamis, 14 September 2023 8:30 Wib