Semarang (ANTARA) - Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah, Khafid Sirotudin, menilai terdapat diskriminasi penerapan peraturan berkaitan dengan pajak terhadap rokok dan tembakau.
"Rokok ini kena pajak ganda. Kena di industrinya, kena lagi di penjualannya," kata Khafid di Semarang, Minggu.
Padahal, menurut dia, kontribusi rokok dan tembakau terhadap penerimaan negara cukup besar, mencapai sekitar Rp150 triliun per tahun.
Sementara, lanjut dia, yang kembali ke masyarakat hanya 2 persen.
Lebih parah lagi, kata politikus Partai Amanat Nasional ini, sudah tertempel stigma di masyarakat jika merokok termasuk sebagai "kejahatan".
Dengan kontribusi besar terhadap negara, kata dia, maka pemerintah harus memberikan hak yang layak kepada konsumen rokok, misalnya melalui penyediaan kawasan merokok yang layak.
Baca juga: Industri Pengolahan Penyumbang Terbesar Pajak di Jateng
Pendapat senada juga disampaikan Sekretaris Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum PWNU Yogyakarta Gugun El Guyanie.
Ia menilai gerakan anti-rokok telah menyusup hingga norma hukum.
"Akibatnya cukai dipungut, pajak daerah juga dipungut," kata doaen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.
Ia menilai terdapat ketidakadilan karena adanya satu objek pajak yang dipungut dua kali.
"Tidak ada produk yang dikenai pungutan seberat rokok," tambahnya.
Gugun juga menyoroti penyusunan peraturan daerah tentang kawasan tanpa rokok yang hanya meniru antara satu wilayah dengan yang lain.
"Kenapa dalam hal perda kawasan tanpa rokok semua daerah sama, tinggal 'copy paste', hanya ganti judulnya," katanya.
Baca juga: Penerimaan Pajak dari Industri Rokok Turun Drastis