Semarang (Antaranews Jateng) - Perkembangan industri yang menerapkan teknologi digital terus meningkat dan tidak dapat dipungkiri yang memberikan dampak luar biasa bagi tenaga kerja, terutama pemutusan hubungan kerja (PHK) atau atas kesadaran sendiri, karena tekanan beban kerja.
Hasil penelitian kualitatif yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2018 mencatat kebutuhan akan pekerja di industri garmen terus menyusut sejak penerapan teknologi digital bahkan hingga 50 persen. Perusahaan yang biasanya butuh 300 pekerja setiap giliran atau shift, menjadi hanya 150 pekerja per shift.
Kementerian Ketenagakerjaan juga mencatat 9.822 tenaga kerja mengalami PHK di sepanjang tahun 2017, sebanyak 5.107 pekerja di antaranya di sektor industri manufaktur dan dasar kimia serta 1.082 pekerja di sektor perdagangan, jasa, dan investasi.
Para pekerja dengan keterampilan rendah terus terkikis oleh kehadiran otomatisasi dan komputerisasi yang tinggi. Contoh yang kasat mata di lapangan yang kerap ditemui seperti di jalan tol yang biasanya dilayani petugas, kini seluruhnya menggunakan komputer.
Para pekerja yang mengalami PHK semakin lengkap kekurangannya karena mereka tidak memiliki talenta cukup karena tidak pernah ada pelatihan bagi mereka. Mereka pun akhirnya banyak yang memilih bekerja di sektor informal seperti sebagai pengojek.
Di sisi lain, sebenarnya banyak peluang bagi para pekerja, karena banyak perusahaan berteknologi tinggi, salah satunya Amazon, tengah berburu pekerja dengan talenta untuk mengerjakan berbagai bidang di tempat baru. Perburuan tenaga kerja penuh talenta pun, salah satunya juga menyasar ke Indonesia.
Permasalahannya, apakah Indonesia siap menangkap peluang besar tersebut? Tentu menjadi tantangan bagi semua pihak untuk menjawab permasalahan tersebut, tidak hanya bagi pekerja yang harus siap masuk kelas-kelas pelatihan, tetapi ada banyak tugas di sini.
Pemerintah melalui balai latihan kerja (BLK) tentu harus terus memberikan pelatihan berupa bekal ketrampilan kerja dengan menyesuaikan kebutuhan industri saat ini. Hal tersebut sesuai dengan program reorientasi, revitalisasi, dan rebranding di tubuh BLK tidak hanya di jajaran pusat, tetapi juga harus menyentuh di seluruh lini BLK yang ada.
Begitu juga tugas dari akademisi, perguruan tinggi yang ada harus mampu menjawab tantangan kebutuhan dari industri untuk mencetak pekerja yang memiliki talenta, memiliki kompetensi dengan didukung materi kuliah, kurikulum pendidikan, skema pelatihan lengkap dengan sarana dan prasarana yang menyerupai pasar, serta terjun mangang ke industri.
Saat ini, mempersiapkan pekerja dengan talenta unggulan, memiliki karakter, dan keahlihan tertentu hingga bisa masuk ke dunia kerja, menjadi hal yang tidak bisa ditawar lagi.