Kekerasan adalah cara paling primitif dalam "menyelesaikan" sebuah masalah. Penegasan staf pengajar Unsoed Pekalongan, Edi Santoso, itu kiranya perlu diingatkan kembali menyusul terjadinya tindak kekerasan oleh sejumlah polisi dan satpol PP terhadap wartawan ketika meliput unjuk rasa penolakan proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) Baturraden di Alun-Alun Purwokerto, Senin (9/10/2017) malam.
Pada peristiwa tersebut wartawan Metro TV Darbe Tyas dikeroyok dan dianiaya hingga mengalami luka. Kepolisian Resor Banyumas memang sudah menetapkan empat anggotanya sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
Namun, kekerasan yang dialami oleh pekerja media yang dalam menjalankan tugas untuk melayani kepentingan publik tersebut bukan merupakan yang pertama. Bahkan, bisa jadi bukan yang terakhir pula bila penghormatan terhadap profesi lain masih terus diabaikan.
Insiden tersebut sekaligus menunjukkan bahwa kesepakatan yang sudah dibuat antara Polri dengan Dewan Pers agar polisi melindungi jurnalis yang tengah menjalankan tugas tidak selalu dipatuhi ketika terjadi insiden di lapangan.
Segenap organisasi pewarta, PWI, AJI, dan IJTI mengecam tindakan kekerasan aparat terhadap wartawan. Namun, sekali lagi, kecaman itu bakal hanya menghiasi ruang-ruang media setelah insiden tersebut bila aparat di tingkat bawah tidak diberi pemahaman arti tugas profesi wartawan.
Hubungan kerja antara polisi dengan wartawan sejatinya bersifat simbiosis mutualisma karena dalam menjalankan profesinya keduanya saling diuntungkan. Hasil kerja polisi bisa diketahui publik melalui media. Pekerja media pun mendapatkan informasi dari sumber resmi kepolisian.
Hampir setiap hari media memberitakan peristiwa dengan sumber dari kepolisian di berbagai tingkatan, mulai dari polsek hingga Mabes Polri. Oleh karena itu, terasa ganjil bila kemitraan profesional yang puluhan tahun terjalin di semua level tersebut masih saja dinodai oleh kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah oknum terhadap pekerja media. Wartawan pun, seperti halnya profesi legal lain, dalam menjalankan tugasnya juga dilindungi oleh undang-undang sehingga sudah selayaknya profesi lain menempatkan mereka sebagai mitra.
Aliansi Jurnalis Independen ( AJI) dalam laporannya menyebutkan kasus kekerasan terhadap jurnalis oleh berbagai pihak meningkat tajam sejak 2015 hingga 2016. Pada 2014 tercatat 42 kasus kekerasan. Lalu pada 2015 meningkat menjadi 44 kasus, dan pada 2016 naik melonjak menjadi 78 kasus.
Sebagai negara demokrasi, "penyelesaian" masalah dengan cara-cara primitif seperti disampaikan Edi Santoso, sudah saatnya disudahi. Media sebagai salah satu pilar demokrasi, memiliki tugas mulia seperti halnya profesi dan institusi negara lain, yakni membangun peradaban manusia yang lebih mulia. ***